BAB 11-12

1081 Kata
BAB 11 Minggu, 07 Juni 20xx Hari ini suamiku libur bekerja. Aku pun mengajak-nya untuk berbelanja keperluan calon bayi kami. Tentu saja suamiku sangat antusias karena ini anak pertamanya. Dia terlihat sangat senang saat memilih pakaian dan keperluan bayi. Aku bisa melihat kebahagiaan terpancar di wajahnya. Dokter Ardian membaca buku diary milik Nadia dengan menitikkan air mata. Saat ini, ia sangat merindukan istri yang setiap hari menemani hari-harinya itu. Ia pun menatap tempat tidur yang ada di sampingnya, tampaklah kenangan saat Nadia berbaring dan tersenyum padanya. Biasanya Nadia akan berbaring sembari mengelus perutnya yang buncit dan mengajak bicara janin yang ada di dalam kandungannya. Kemudian Dokter Ardian membelai bantal yang biasa dipakai Nadia. Ia mencium bau bantal itu. Wangi rambut dan tubuh Nadia masih melekat di bantal itu. Ia pun mengambil bantal itu lalu meremas dan memeluknya. “Kenapa kamu pergi secepat ini?” gumam Dokter Ardian dengan tubuh bergetar dan menangis di bantal itu. “Rasanya baru kemarin kita menikah. Aku sangat bahagia saat menikah denganmu. Aku selalu berharap kita akan bahagia selamanya dan menua bersama-sama, tapi kenapa kamu meninggalkanku? Sekarang aku sendiri di sini. Aku merindukanmu, Sayang …. Aku ingin memelukmu. Aku harus mencarimu ke mana?” lirih Dokter Ardian dengan berlinang air mata. Saat ini, Dokter Ardian terlihat sangat rapuh. Ia tidak pernah menunjukkan kesedihannya pada orang lain. Di luar, ketika bertemu dengan banyak orang, ia akan berusaha terlihat tegar dan tersenyum ramah. Namun, ketika sedang sendiri seperti saat ini, ia akan menangis meluahkan isi hatinya. Dokter Ardian pun melanjutkan membaca buku diary Nadia. Di sebuah halaman, Nadia menulis beberapa nama calon anaknya. Ia ingin berdiskusi dengan Dokter Ardian. Namun, saat itu Dokter Ardian sangat sibuk dan selalu pulang malam. Akhirnya Nadia pun memutuskan untuk berdiskusi setelah anaknya lahir. Sayangnya, Yang Maha Kuasa memanggilnya sebelum berdiskusi dengan suaminya. Akhirnya, Dokter Ardian pun memilih sebuah nama yang ditulis Nadia di buku diary-nya. Nizam, yang artinya laki-laki yang tegas, gagah, dan pemimpin yang pemberani. “Nizam Raditya. Apa kamu menyukainya, Sayang?” gumam Dokter Ardian seolah-olah berbicara dengan Nadia. Berdiskusi pun sekarang sudah terlambat. Istri Dokter Ardian sudah pergi untuk selama-lamanya. Dokter Ardian sangat menyesal karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya yang menjadi dokter kandungan, sehingga ia jarang bercengkerama dengan istrinya. Istrinya pun tidak pernah mengeluh. Ia selalu menyambut Dokter Ardian dengan senyuman ketika pulang dari bekerja. Ia selalu menyiapkan air hangat dan pakaian bersih ketika Dokter Ardian pulang. Setelah mandi, kopi dan camilan sudah tersedia di atas meja. “Bagaimana pekerjaan kamu hari ini, Mas? Apakah kamu lelah?” Itulah pertanyaan yang dilontarkan Nadia setiap harinya. Setelah itu ia akan memijat bahu Dokter Ardian sambil mendengarkan cerita Dokter Ardian. Sekarang, semua itu tidak ada lagi. Semua Dokter Ardian kerjakan sendiri. Dokter Ardian memandang jam yang tergantung di dinding kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.15. Ia pun beranjak bangkit dari duduknya lalu membuka pintu kamarnya dan keluar. Kemudian ia pergi ke kamar Citra yang kebetulan pintunya terbuka lebar. Di sana terlihat Citra sedang menggendong bayi Dokter Ardian dengan posisi tegak. “Apa dia belum tidur?” tanya Dokter Ardian seraya menghampiri Citra dan memandang bayinya. “Belum, Dok. Dia baru saja minum s**u. Saya sedang berusaha membuatnya bersendawa supaya tidak gumoh,” jawab Citra. *** BAB 12 “Sini, biar saya saja yang menggendongnya. Kamu bisa istirahat sejenak,” ujar Dokter Ardian seraya mengambil alih bayinya dari tangan Citra. “Tidak usah, Dok. Biar saya saja. Dokter saja yang istirahat karena besok harus bekerja,” tolak Citra merasa tidak enak. Bagaimana pun ia dibayar untuk menjaga bayi itu. “Besok tanggal merah. Saya libur bekerja,” balas Dokter Ardian. Ia tahu, Citra tidak pernah tidur ketika malam hari karena harus bergadang menjaga anaknya yang tidak tidur di malam hari. Citra pun baru tahu kalau besok tanggal merah. Ia terlalu sibuk mengurus bayi Dokter Ardian, sehingga ia sampai lupa mengecek kalender dan merawat diri. “Oh iya, mulai sekarang, kamu bisa memanggilnya Nizam. Namanya Nizam Raditya,” imbuh Dokter Ardian. “Iya, Dok,” balas Citra dengan tersenyum. *** Dua bulan berlalu Hari ini adalah hari Minggu. Kedua orang tua Dokter Ardian sedang datang berkunjung. Seminggu sekali mereka selalu berkunjung untuk melihat cucunya, yaitu Nizam. Begitu juga dengan orang tua almarhumah Nadia, mereka juga berkunjung untuk menengok cucu mereka. Tidak lupa dengan Widia, hampir setiap hari ia datang ke rumah Dokter Ardian. Karena ia bekerja dengan cara membuka toko online, sehingga ia bebas berkeliaran kapan pun. Sekarang, mereka semua sedang berkumpul di ruang tengah bersama-sama. Begitu juga dengan Dokter Ardian sambil memangku Nizam di pangkuannya. Pak Aryo pun mulai membuka pembicaraan. “Yan, sudah dua bulan lebih Nadia pergi,” tutur Pak Aryo seraya menatap Dokter Ardian. “Lalu?” tanya Dokter Ardian seraya membalas tatapan Pak Aryo. “Apa kamu tidak ingin mencari penggantinya?” tanya Pak Aryo. “Tidak, Pa,” jawab Dokter Ardian singkat. “Apa kamu tidak kasihan pada Nizam? Dia juga butuh seorang ibu nantinya. Kamu sibuk bekerja dan selalu meninggalkannya. Dia akan kekurangan kasih sayang, Yan,” ujar Pak Aryo seraya memandang dan menunjuk ke arah Nizam. Dokter Ardian terdiam saat mendengar penuturan Pak Aryo. Ia pun menatap wajah Nizam yang masih bayi. Ia juga membenarkan kata-kata Pak Aryo. “Bagaimana, Yan?” tanya Pak Aryo menunggu jawaban dari Dokter Ardian. Mata Dokter Ardian pun memindai semua keluarga yang ada di ruangan itu. Begitu juga dengan mereka. Mereka semua menatap Dokter Ardian sembari menunggu jawaban. “Ardian belum memikirkannya, Pa,” jawab Dokter Ardian. “Nadia dan Widia bersaudara. Mereka masih mempunyai hubungan darah. Kamu bisa menikah dengannya, Yan. Dia adalah Tante kandung Nizam. Dia bisa menggantikan Nadia sebagai ibu Nizam,” imbuh Pak Aryo dengan menunjuk Widia. Widia yang mendengar penuturan Pak Aryo pun tersenyum dan tersipu malu. Wajahnya memanas menahan tawa kebahagiaan. Ini adalah hal yang dinantikannya selama ini. Dokter Ardian menatap Widia yang tengah tersenyum senang. Ketika ditatap Dokter Ardian, Widia pun menahan senyum kebahagiaannya kembali. “Ardian akan memikirkannya lagi, Pa,” balas Dokter Ardian seraya bangkit dari duduknya lalu menaiki anak tangga menuju ke lantai dua untuk menidurkan Nizam. “Yan, pembicaraan kita belum selesai!” cegah Pak Aryo. “Ardian harus menidurkan Nizam dulu, Pa!” sahut Dokter Ardian tanpa menoleh ke belakang dan tetap melanjutkan langkah kakinya. Nadia baru pergi dua bulan yang lalu. Bagaimana bisa aku menikah lagi? pikir Dokter Ardian. Ia masih belum bisa melupakan Nadia. Apalagi ia tahu bahwa Widia tidak menyayangi Nizam. Semua sikap Widia hanyalah pura-pura. Ia tidak mau gegabah mencarikan ibu untuk Nizam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN