BAB 17-18

1083 Kata
BAB17 Saat akan berganti pakaian di dalam kamar, ia pun teringat akan kamera CCTV yang ada di dalam kamarnya. Ia melirik kamera itu lalu mengambil pakaian dari dalam almari. Setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi lagi untuk berganti pakaian. Ia tidak mau Dokter Ardian melihat tubuhnya yang telanjang melalui kamera CCTV yang ada di dalam kamarnya. Setelah berganti pakaian, Citra keluar dari dalam kamarnya dan turun menuju meja makan. Sedangkan Nizam, sudah ia titipkan pada Bik Yati sebelum mandi. Di meja makan, Dokter Ardian sudah menunggu Citra untuk sarapan bersama seperti biasanya. Namun, kali ini ada rasa canggung di antara mereka karena sudah berstatus suami istri. Citra bingung harus bersikap bagaimana. Mau menyiapkan makanan, tapi sudah disiapkan Bik Yati semua. Begitu juga dengan Dokter Ardian, ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan pada Citra yang kini sudah menjadi istrinya. “Mm ….” Dokter Ardian dan Citra hendak membuka pembicaraan hampir bersamaan setelah menghabiskan makanannya. “Dokter saja duluan,” tukas Citra dengan canggung. “Enggak. Kamu saja yang duluan,” balas Dokter Ardian. “Dokter, nggak kerja?” tanya Citra saat melihat Dokter Ardian memakai pakaian santai rumahan. “Nggak. Saya sengaja mengambil cuti beberapa hari karena pernikahan kemarin,” jawab Dokter Ardian singkat lalu beranjak bangkit dari kursinya dan pergi naik ke lantai dua. Citra melihat kepergian Dokter Ardian dengan menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. Entah kenapa ketika berbicara dengan Dokter Ardian sekarang membuat jantungnya berdebar-debar tidak seperti biasanya. Seusai makan, Citra menghampiri Bik Yati yang tengah menggendong Nizam di kamarnya. Setelahitu ia mengajak Nizam pergi ke halaman depan rumah untuk menyuapinya. Ketika Citra sedang asyik bercanda dengan Nizam, tiba-tiba masuk sebuah mobil dan berhenti di carport rumah Dokter Ardian. Tidak lama kemudian keluarlah Widia dari dalam mobil itu dan menghampiri Citra yang sedang bercanda dengan Nizam. Tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Citra setelah Widia menarik bahunya. Citra pun segera memegangi pipinya yang terasa kebas. “Kenapa Mbak Widia menampar saya?” tanya Citra dengan mata berkaca-kaca. “’Kenapa’ kamu bilang?” bentak Widia lalu menarik rambut Citra hingga kepala Citra mendongak. “Salah kamu adalah karena sudah berani menikah dengan calon suamiku,” bisik Widia di telinga Citra lalu melepaskan rambut Citra yang ditariknya dengan kasar. Nizam pun menangis karena mendengar suara keras Widia. Ia juga tidak suka dengan Widia. Widia selalu kasar dan tidak sayang padanya. Bayi pun bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik. “Widia!” seru Dokter Ardian dari ambang pintu ruang tamu. Widia pun segera menoleh ke arah sumber suara dan tampaklah Dokter Ardian yang berjalan ke arahnya. “Apa yang kamu lakukan?!” tanya Dokter Ardian dengan marah. Sedari tadi ia mengamati Citra yang tengah menyuapi dan bercanda dengan Nizam dari balkon lantai dua. Hingga tiba-tiba Widia datang dan menampar Citra. Semua itu Dokter Ardian lihat sedari tadi. Tadinya ia mengira Widia akan mengambil barangnya yang tertinggal. Karena itu ia tidak segera turun karena malas bertemu dengan Widia. Ketika melihat Widia tiba-tiba menampar Citra, ia tersentak kaget dan segera turun meskipun sudah terlambat. “Kak Ardian di rumah?” tanya Widia dengan gugup. Ia mengira Dokter Ardian sedang bekerja hari ini. Karena itu ia datang untuk meluapkan emosinya pada Citra. *** BAB 18 “Ya, aku di rumah. Memangnya kenapa?” balas Dokter Ardian dengan tegas. Citra pun bergegas masuk ke dalam rumah dengan mengajak Nizam yang menangis. “Tadinya … aku mau menjenguk Nizam. Aku rindu padanya, tapi pengasuh itu melarangku untuk menyentuhnya, Kak …,” tutur Widia beralasan seraya bergelayut manja di lengan Dokter Ardian. Dokter Ardian pun mengibaskan tangannya yang dipegang Widia. “Dia bukan pengasuh Nizam. Sekarang dia istriku sekaligus Mamanya Nizam,” balas Dokter Ardian yang berhasil membuat hati Widia semakin sakit. “Mulai sekarang kamu harus bisa menghormatinya,” imbuh Dokter Ardian lalu berbalik hendak masuk ke dalam rumah. “Kak, kenapa kamu lebih memilih dia dari pada aku?” tanya Widia dengan lemah. Matanya pun mulai berkaca-kaca. Dokter Ardian menghentikan langkah kakinya tanpa menoleh ke belakang. “Karena kamu tidak pantas menjadi Ibunya Nizam,” jawab Dokter Ardian lalu bergegas masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya. Widia pun semakin geram. Bibirnya mengerucut dan menghentakkan kakinya ke tanah dengan keras. “b******k!” umpat Widia lalu masuk ke dalam mobil dan membanting pintu mobilnya. Setelah itu ia pergi dari rumah Dokter Ardian. Sementara itu, Dokter Ardian mencari Citra di dalam rumah. Hingga akhirnya ia menemukan Citra yang tengah berbaring miring membelakangi pintu di atas tempat tidurnya. “Boleh saya masuk?” tanya Dokter Ardian seraya mengetuk pintu kamar Citra yang tengah terbuka. Citra tidak menjawabnya. Namun, Dokter Ardian tetap melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Citra dan duduk di tepi tempat tidurnya. Isak tangis Citra pun mulai terdengar. “Kenapa kamu menangis?” tanya Dokter Ardian seraya menarik lengan Citra supaya menghadap ke arahnya. Namun, Citra tetap kekeh pada posisinya dengan mengeratkan pelukan tangannya pada tubuh Nizam. Dokter Ardian pun menarik paksa lengan Citra hingga akhirnya tampaklah memar pada pipi kiri Citra. Citra tampak malu-malu tidak berani menatap Dokter Ardian. Setelah itu Dokter Ardian keluar dari dalam kamar Citra dan pergi ke dapur. Tidak lama kemudian Dokter Ardian kembali ke dalam kamar Citra dengan membawa baskom berisi es batu, handuk bersih, dan salep di tangannya. Ia memasukkan es batu itu ke dalam handuk dan hendak mengompres pipi Citra yang memar. “Saya bisa melakukannya sendiri,” ujar Citra seraya meraih handuk itu dari tangan Dokter Ardian. Namun, Dokter Ardian enggan untuk memberikannya. “Biar saya saja yang melakukannya,” tukas Dokter Ardian dengan memegang erat handuk itu. Citra pun diam seribu bahasa hingga Dokter Ardian mengoleskan salep pereda nyeri dan lebam pada pipi kirinya. “Kenapa Dokter menikahi saya?” tanya Citra tiba-tiba saat Dokter Ardian hendak pergi dari kamarnya untuk membawa baskom kembali ke dapur. Dokter Ardian pun menghentikan langkah kakinya. “Karena saya tidak ada waktu untuk mencari yang lain,” jawab Dokter Ardian lalu pergi meninggalkan kamar Citra. Citra pun menggigit bagian dalam bibir bawahnya yang bergetar menahan tangis setelah mendengar jawaban Dokter Ardian. Setelah keluar dari dalam kamar Citra, Dokter Ardian pergi ke rumah Pak Aryo untuk menjelaskan semuanya. Ia tidak mau semua orang salah paham pada Citra dan mengamuk seperti Widia. Kejadian hari ini sudah membuat Dokter Ardian sangat khawatir akan keselamatan Citra. Untung saja dirinya tidak pergi bekerja hari ini. Andaikan ia tidak ada di rumah, entah bagaimana nasib Citra sekarang. Ia tidak menyangka Widia akan berbuat kasar seperti itu pada Citra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN