Siska :
Menit berganti jam. Hari berlalu begitu saja. Hingga tak terasa empat hari sudah aku tinggal di apartemen Andra, dan itu artinya sudah dua hari ini aku tidak bertemu dengannya.
Ada setitik rasa yang mendesak, berharap bisa bertemu dengannya dalam waktu cepat. Ah, apa mungkin ini rindu? Entahlah.
Aku hanya bisa memandangi wajahnya dari foto yang terpampang di salah satu sisi kamar. Sungguh, semakin sering aku melihatnya, semakin menguatkan aku tentang persepsi laki-laki tampan itu.
Hah, keberuntungan apa yang menimpaku ini?
Aku terenyak dari lamunan kala mendengar dering dari ponsel. Pasti itu Dicky. Sudah dua hari ini dia mengantarkan makanan untukku, pagi, siang dan sore.
"Halo!"
"Aku baru keluar dari lift."
"Ah, ya." Kututup sambungan dan segera menuju pintu. Aku sudah mengerti maksudnya, Dicky hanya tidak ingin agar harus mengetuk pintu lebih dulu.
Benar saja, tak lama setelah pintu terbuka dia sudah ada di hadapanku. Dicky memberikan paper bag khas berlogo makanan cepat saji, aku menerimanya sambil tersenyum lalu mengucapkan terima kasih.
"Sedang tidak sibuk?" tanyaku ketika melihatnya masih berdiri. Biasanya dia akan langsung berpamitan.
"Tidak terlalu sebenarnya," sahutnya santai.
"Kalau begitu temani saja aku makan," usulku.
"Oke. Baiklah, Nona. Aku punya satu jam sebelum pulang ke rumah."
Aku pun membuka lebar pintu. Menutupnya lagi setelah Dicky duduk.
"Sudah makan?" tanyaku sambil membuka bingkisan makanan.
"Belum, nanti di rumah."
"Oh ...."
Dicky tampak sibuk dengan ponselnya, sedang aku pun sibuk dengan makan malamku.
"Oya, sampai kapan kamu akan mengirimiku makanan seperti ini? Tiga kali sehari. Apa tidak cape?" tanyaku di sela menyantap makanan.
"Tentu saja sesuai perintah Andra. Bukankah dia melarangmu keluar?"
Aku mengangguk beberapa kali. "Apa dia memang seperti itu?"
"Seperti apa?"
"Agak dingin dan galak." Aku bergidik.
Dicky tertawa. "Tapi dia baik, dan suka menolong."
Aku menggendikkan bahu. Memang benar, dia baik. Hanya butuh sepuluh menit untuk menghabiskan paket ayam goreng beserta kentang dan minumannya. Aku mengusap perut setelah merasa kenyang.
"Jadi, Andra itu siapa kamu?" Aku menyandarkan punggung.
"Bukannya Andra sudah bilang, aku sahabatnya."
"Sahabat? Bukan bos?"
"Memang kelihatannya aku seperti pesuruh dia?"
Aku meringis.
"Aku sama sepertimu, terlalu banyak mendapat pertolongan darinya. Membuatku sulit untuk menolak." Dicky tersenyum.
Aku mendesah. Pasrah sudah, keingintahuanku tak terjawab.
Dicky tertawa. "Sudahlah, nanti juga kamu tau siapa dia!" Dicky bangkit dan menepuk pundakku. "Aku pulang dulu. Ingat, tutup kembali dan kunci pintunya."
Aku mengerucutkan bibir, sebal.
***
Hari ke lima di apartemen, sekaligus hari ke tiga belum bertemu lagi dengan Andra.
Jenuh mulai menyerang. Kuputuskan untuk membersihkan setiap sudut ruang apartemen, mencuci sprei beserta selimut. Bahkan aku merapikan baju dalam lemari. Sebenarnya agak takut dia marah, tapi ... apalagi yang harus aku lakukan.
Dicky menertawakan juga mengejek saat melihat aku sedang membersihkan ruang tengah.
"Andra biasa memakai jasa ART panggilan," ucapnya.
"Ya sudah, anggap saja aku ART itu."
Dicky malah tertawa.
Malam mulai menyapa. Aku menghibur diri dengan menonton televisi. Hingga tak terasa mataku terpejam.
Suara-suara langkah kaki membuatku terjaga. Aku mengucek mata, melihat ke sekeliling.
"Apa aku mengganggu tidurmu?"
Aku menoleh ke belakang. "Mas Andra! Kapan pulang?" Aku menurunkan kaki, menghadapnya yang juga duduk di sofa sebelah.
"Baru juga berapa menit," sahutnya sambil meletakkan secangkir kopi di meja.
Aku melirik jam dinding, pukul sembilan malam lebih lima belas menit.
"Kupikir salah masuk apartemen," ucapnya sambil membuka sebungkus rokok.
Aku edarkan pandangan. Padahal tidak ada satu pun benda yang berpindah posisi, tapi kenapa dia menyadarinya?
"Aku bosan, bingung harus ngapain," sahutku sambil memperhatikan gerak-geriknya yang sedang menyulut rokok.
"Hmm," timpalnya sambil membuang asap ke udara.
"Mas Andra, ngerokok?"
"Kadang-kadang," jawabnya tak acuh. "Aku bawain kamu oleh-oleh," sambungnya.
"Enggak usah repot-repot, yang kemarin juga masih banyak."
Andra tersenyum samar.
Ya ampun! Kenapa sulit sekali melihatnya tertawa. Namun, setidaknya ini lebih baik. Gaya bicaranya kali ini tampak lebih akrab.
"Aku enggak lama, kok. Bentar lagi juga pulang. Kalau mau tidur, di kamar aja!"
"Pulang ke mana?"
"Rumah orang tuaku."
"Oh. Kupikir ...."
Andra mendelik.
Mau mengatakan rumah istri, tapi terasa berat. Bahkan sampai sekarang aku belum tahu dia sudah berkeluarga atau belum?
***
Aku terbangun setelah merasakan hangat menerpa wajah. Sudah siang ternyata. Kulirik jam, menunjukkan angka sembilan.
Semalam tak terasa aku tertidur setelah membuka oleh-oleh pemberian Andra. Dia memberiku baju, sepatu, tas dan beberapa pernak-pernik khas Bali.
Mungkin karena masih tersisa letih setelah membereskan rumah, aku tidur begitu saja. Bahkan aku tidak tahu jam berapa dia pergi dari apartemen.
-
Segelas air kuteguk kembali. Entah yang keberapa. Demi menahan rasa lapar. Ah, ke mana Dicky? Ini sudah jam tiga sore dan dia belum mengantarkan jatah makan siangku, bahkan ini hampir menuju waktu makan malam.
Aku duduk menonton televisi, berusaha mengusir rasa lapar. Walau itu tidak mungkin. Kenapa terasa janggal? Apartemen mewah, milik seorang kaya dan tampan, tapi tidak ada makanan di dalam kulkasnya. Apa mungkin karena dia jarang ke sini?
Saat tengah asyik melamun, terdengar pintu diketuk. Senang bukan kepalang, segera kubuka.
"Dicky! Aku sudah lapar! Mana makan--"
"Ini bukan waktunya makan! Cepat ganti baju, siap-siap. Kita keluar!"
"Apa?"
Masih diliputi tanda tanya, tapi Dicky tidak memberi jeda sedikit pun. Aku bergegas masuk ke kamar, mengganti baju, menyambar salah satu tas berikut ponsel.
"Ke mana, sih?" tanyaku yang kesekian kalinya, tapi Dicky masih belum menjawab.
Aku duduk dengan gelisah. Belum lagi lapar yang mendera. Hingga akhirnya mobil memasuki parkiran. Saat kulihat, ternyata hotel mewah.
Ah, kenapa rasanya agak takut melihat hotel seperti ini?
"Kenapa ... kita ke hotel?" Aku menoleh ke arah Dicky, setelah mobil berhenti.
Dia malah mengembuskan napas, lalu bersandar. "Jam berapa sekarang?"
"Hampir jam lima sore," sahutku pelan.
"Hah, baguslah!" Dicky mendesah.
"Dicky! Kenapa kita ke sini?"
Kali ini dia menoleh, lalu tersenyum. "Andra mau tunangan. Sore ini, jam lima."
"Hah, tunangan? Terus aku mau ngapain dibawa ke sini? Apa ...." Aku merunduk, tersadar. Mungkin aku disuruh pergi dari apartemennya.
"Tunggu saja, nanti juga tau." Dicky merogoh ponselnya.
"Masalahnya, aku lapar, Dicky," lirihku.
"Astaga! Aku lupa. Seharian tadi aku sibuk, sampai akhirnya Andra meneleponku, memberi kabar mengejutkan ini." Dicky memasukkan ponselnya. "Tunggu di sini. Aku cari makanan dulu!"
Baru saja Dicky keluar, terlihat seseorang berlari dari kejauhan.
"d**k!"
"Hei, Dra!"
Mereka terlihat berbincang sebentar, lalu berpelukan. Sampai akhirnya gantian Andra yang masuk ke dalam mobil sedang Dicky berjalan ke arah lobby hotel.
"Kok, kalian ...?" Aku bertanya heran.
"Welcome to my world!" Andra tertawa sekejap. Lalu dia melajukan mobil di atas kecepatan rata-rata.
Sepanjang jalan aku hanya terdiam. Entah kebingungan keberapa kali yang aku alami selama kurang dari seminggu ini?
Andra pun tampaknya tak terlalu peduli. Dia terus melajukan mobil dengan sedikit mengebut. Baru berubah pelan, setelah masuk kawasan bandara.
"Mau jemput siapa?" tanyaku penasaran.
"Bukan jemput, tapi berangkat."
"Kamu mau pergi. Terus aku gimana?"
"Kamu ikut aku," sahutnya datar.
"Ke mana?"
Andra tak menjawab.
Mobil berhenti. Andra memintaku turun.
Aku berjalan di sampingnya dengan gerak lesu.
"Kenapa?"
Aku mendesah. "Lapar. Belum makan dari siang."
"Astaga! Aku lupa. Ayo!" Andra menarik lenganku.
-
"Kenyang?"
Aku tersenyum, lalu mengangguk. "Kenyang banget!"
Andra tertawa, dan aku terdiam. Rasanya, terkesima melihat tawa pertamanya. Sayang tawanya terhenti. Dia menarik tisu, dan mengarahkannya pada wajahku.
"Keliatan banget laparnya. Belepotan!" Kembali dia terkikik.
"Ih, kamu!"
"Kalau udah beres, kita berangkat. Pesawat bentar lagi take on."
"Hah, pesawat? Emang mau ke mana?"
"Ikut. Nanti juga tau."
Tak sanggup aku membantah. Karena nyatanya melihat dia yang sekarang itu lebih menyenangkan. Entah kenapa, bahkan sulit untuk berkata tidak padanya.
Pesawat terbang perlahan. Jantungku mulai berdegub kencang. Ini pertama kalinya aku naik pesawat. Aku takut mabuk.
"Ini sebenarnya mau ke mana, sih?"
"Bali."
"Lho, bukannya kemarin habis dari sana?"
"Kemarin kerja, kalau sekarang ..." Dia melirikku.
Aku melebarkan mata.
"Kabur!" Lagi-lagi dia tertawa. Sepertinya dia tengah bahagia.
"Kabur dari pertunangan, kok, seneng?"
"Ini kedua kalinya aku kabur, dan usahaku sukses."
"Dua kali?"
Andra mengangguk.
"Kenapa?"
"Enggak ada rasa. Mereka semua pilihan Mami," sahutnya dengan pandangan lurus ke depan.
"Kamu dijodohin?"
"Iya. Makanya aku kabur." Andra menyandarkan tubuh. Lalu menguap, tampaknya dia keletihan.
"Semalam jam berapa keluar dari apartemen?"
"Abis kamu tidur, ya, aku keluar. Cuma ... enggak langsung pulang."
"Ke mana dulu emang?"
Tak terdengar suaranya lagi. Hanya ada dengkuran halus.
Kenapa aku merasa, dia itu lelaki misterius?
-
Hampir aku terhunyung, Andra dengan segera menahan tubuhku.
"Kenapa?" tanyanya.
"Pusing. Sepertinya, mabuk pesawat," sahutku sambil memijat pelipis.
"Kenapa tadi enggak minta obat anti mabuk?"
"Lupa ...."
"Sini!" Andra menarik lenganku. Menyuruh duduk di kursi besi yang berjajar di bandara.
Terasa pijatan di pundak. "Enakan?"
"Lumayan," jawabku pelan.
"Ayo, kita ke hotel. Lanjutin istirahatnya di sana, aku udah ngantuk."
Aku mengangguk.
Dari Bandara Ngurah Rai kami naik taksi menuju sebuah hotel yang lumayan mewah. Aku terus mengikuti langkah Andra, pun hingga masuk ke kamar hotel.
"Kamar aku mana?"
"Di sini."
"Kamu?"
"Di sini."
"Kita sekamar?"
"Ada masalah?" tanyanya sambil mendorong pintu.
Aku memutar pandangan, mengingat kemarin pun kami sempat tidur dalam satu apartemen. Akhirnya aku menggelengkan kepala.
"Masuk!" perintahnya.
Aku pun melangkah lebih dalam. Andra mengunci pintu. Aku masih berdiri menatap hotel berukuran president room, ranjang size king, lengkap dengan televisi, kulkas dan balkon menghadap laut.
Andra membaringkan tubuh di atas kasur. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah tak bersuara. Mungkin kelelahan. Tidurnya di pesawat tadi pun hanya sebentar.
Aku berjalan ke arah balkon. Menatap lautan lepas di tengah kegelapan. Tidak percaya rasanya, bisa berada di sini.
***
Suara dua orang bercakap-cakap membuatku terjaga. Aku mengerjapkan mata. Kenapa ... aku ada di atas kasur? Bukannya semalam aku tidur di kursi.
"Hai, morning! Let's to breakfast!"
Aku menoleh. Andra membawa banyak potongan sandwich dalam piring besar juga satu teko jus jeruk.
Aku bangun dan menghampirinya yang duduk di kursi balkon. "Semalam aku tidur di kursi. Kenapa--"
"Aku yang pindahin. Enggak enak banget lihat kamu tidur peluk-peluk lutut," paparnya. Lalu menggigit sarapannya.
"Oh ...." Aku tersenyum kecil, merasa tak enak hati.
"Ayo, sarapan! Habis ini kita jalan-jalan ke pantai."
"Pantai?"
Andra mengangguk. Aku mengambil satu sandwich dan menyantapnya dengan perasaan semringah.
Benar saja, setelah sarapan selesai Andra membawaku ke pantai. Bahkan dia menyempatkan mengajak ke toko baju, memilihkan satu jumsuit tanpa lengan. Juga celana pendek dan kaos untuknya.
Sambil berjalan-jalan aku bercerita tentang awal kedatanganku di Jakarta. Andra mendengarkan dengan seksama. Begitu pun saat aku memutuskan untuk menjadi wanita penggilan.
"Hebat. Kamu perempuan kuat," ujarnya di akhiri senyum.
"Aku berusaha kuat," timpalku.
"Bagaimana caranya, agar hidupmu selalu penuh dengan semangat?"
"Berpikir positif, dan jangan terlalu menganggap berat masalah," terangku.
"Aku salut sama kegigihan kamu."
Aku tersenyum. "Mau tau caranya mengumpulkan semangat?"
"Gimana?"
"Sini!" Kutarik lengannya menuju pesisir pantai.
Dia hanya terdiam melihat tingkahku.
"Kamu rentangkan tangan, hirup udara dalam-dalam. Lalu ... aaaaaaa ...!"
Andra terkesiap. "Harus teriak?"
"Tentu saja. Dengan begitu maka semua bebanmu akan hilang!"
"Oke, aku coba." Andra mulai merentangkan tangan. Melakukan semua yang aku tunjukkan. "Aaaaaaaa ...!"
"Gimana?"
"Iya, agak lega, ya? Seperti ... membuang semua kepenatan hidup."
"Ayo, ulang!" ajakku.
Kami pun melakukan hal itu berulang-ulang.
Hari ini aku tahu sesuatu. Andra memang memiliki sikap yang bisa berubah-ubah.
Setelah puas bermain air dan pasir, kami menikmati makan siang di kedai sea food. Ini tak pernah terbayang dalam hidupku, benar-benar liburan paling berkesan.
"Hei, saosnya belepotan!" Andra memberikan selembar tisu.
Aku meringis.
"Apa memang seperti itu cara makanmu?"
"Mungkin pengaruh makanannya enak," dalihku.
"Habis ini mau ke mana lagi?"
"Aku mau ke hotel saja, ngantuk."
Andra mengangguk.
"Enggak apa 'kan, kalau aku enggak nemenin kamu jalan-jalan?"
"Aku juga udah cape, mau tidur," ucap Andra sambil mengambil kartu dari dompetnya. Lalu memanggil pelayan.
"Mas, boleh aku nanya sesuatu?"
"Apa?" tanyanya tak acuh.
"Yang kemarin, itu ... apa tidak terlalu berlebihan?"
Andra melirikku, memberi instruksi pada pelayan. "Yang mana?" tanyanya kemudian.
"ATM dan kartu kredit," lirihku.
"Apa uangnya kurang?" Andra masih tetap tak peduli pada perkataanku. "Terima kasih," ucapnya pada pelayan. Kembali menatapku. "Bukannya orang tuamu butuh itu?" Kali ini nada suaranya terdengar lebih serius.
"Itu terlalu besar. Sampai sekarang aku belum berani menjawab pertanyaan mereka."
"Apa susahnya? Bilang saja kamu bekerja. Gampang, 'kan?"
"Pekerjaan apa yang digaji sebesar itu, Mas?"
Andra terdiam, tampak berpikir. "Kamu kerja sama aku," pungkasnya.
"Kerja apa?"
Lagi dia terdiam. "Kita ke hotel dulu, nanti kita bicarakan."
Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
-
Suara debur ombak begitu jelas terdengar. Aku bangkit dan mencari Andra di balkon. Ke mana dia?
Tadi saat sampai hotel dia membaringkan tubuh di sofa, sedang aku tidur di kasur. Sebenarnya siapa yang membiayai jalan-jalan ini?
Kucari di seluruh kamar hotel. Tidak ada. Ya sudah, aku menonton televisi saja. Saat mengempaskan tubuh di sofa, ada sesuatu yang mengganjal. Tas Andra ternyata. Aku pindahkan ke atas meja, isinya malah berjatuhan.
Kuambil segera dan membereskannya, tapi ... ada sesuatu yang membuatku terkejut. KTP-ku ada padanya. Kenapa bisa?
Aku ingat, saat di bank Dicky hanya memberikan dua kartu. ATM dan kartu kredit, tapi KTP-ku?
Kulihat kembali tumpukan berkas itu. "Buku Nikah?" Kedua mataku terbelalak.
Bertambah terkejut saat melihat fotonya. Kenapa fotoku tertempel bersama ... Andra, dalam Buku Nikah?
"Wulan Astari dan Dicky Darmawan?"
"Sedang apa?"
Aku menoleh. Andra sedang berdiri di belakangku.
"Apa ini?"
Andra melengos, berjalan ke arah ranjang.
"Mas Andra! Apa maksudnya?!" Kutahan lengannya.
"Apa, hah?!!" Dia berteriak lebih kencang.
"Pantas dengan mudahnya aku naik pesawat, lalu menginap di hotel ini? Ternyata ...."
"Memangnya kenapa? Bukankah tadi kamu bertanya, apa pekerjaanmu? Ya sudah, jangan banyak berpikir yang macam-macam. Toh, ini lebih baik dari pada kamu menjadi perempuan jalang!"
Aku melepas tanganku, tak percaya dengan perkataannya itu.
Andra berlalu, masuk ke dalam kamar mandi.
-
Malam menyapa. Aku masih duduk di teras balkon. Andra? Dia duduk menonton televisi sambil memakan kacang dan ... minum alkohol. Ternyata, dia tidak benar-benar baik.
Aku menatap langit pekat di ujung sana. Mengingat kembali saat pertama bertemu dengannya. Dia baik, memang baik. Selama bersamanya, dia tidak pernah berbuat kurang ajar padaku. Yang ada malah dia terus memberiku uang, barang dan liburan ini.
Ah, kenapa mendadak aku merasa berdosa padanya?
Mungkin dia memang butuh aku. Entah sebagai teman, atau ....
Aku melangkah cepat menemui Andra.
"Mas ...."
Dia menoleh tak acuh.
"Maaf. Aku ...."
"Hmm."
Aku duduk di kursi lainnya. "Baiklah, aku mau kerja sama kamu. Jadi pembantu pun tak apa, asal aku bisa membalas semua kebaikanmu."
Andra menoleh, lalu menggelengkan kepala dengan senyum tipis.
Apa lagi yang salah?
*****