Siska :
Mobil berhenti tepat di depan gang menuju kosan.
"Terima kasih, Tuan. Saya tidak tau harus membalas kebaikan Tuan dengan cara apa?"
"Tidak apa. Melihatmu lepas dari kejaran orang-orang itu saja aku sudah senang."
Aku melirik ragu. Dia menatapku. "Saya turun. Permisi," pamitku.
Hampir aku melangkah ke dalam gang, tapi dia memanggilku.
"Hei, sebentar!"
Aku berbalik. Dia berjalan mendekatiku, melepas jas di tubuhnya dan memakaikan padaku. "Tidak usah, Tuan. Sebentar lagi saya sampai."
Namun, dia tetap meletakkan jasnya di atas bahuku. "Tidak apa. Udaranya sangat dingin," ucapnya lembut.
Aku merunduk. Agak malu sebenarnya. Orang asing ini ... terlalu baik.
Lelaki berambut cepak itu menarik sesuatu dari dompetnya. "Ini kartu namaku. Hubungi aku jika seandainya mereka mengejarmu lagi."
Aku menerimanya, lalu menganggukan kepala. Berbalik dan pergi meninggalkannya.
Sesampainya di kosan, aku merebahkan tubuh letih ini. Menatap selembar kartu nama, membayangkan wajah sang rupawan. Hmm, siapalah aku yang berani bermimpi lebih?
***
"Siska! Buka pintunya!!!"
Aku terenyak dari tidur. Karena kelelahan, tanpa terasa aku terlelap begitu saja, bahkan masih memakai gaun dan jas lelaki penolong itu.
"Siska! Buka cepat!" Terdengar teriakan lagi.
Itu suara Mami Lidya. Astaga, bagaimana ini?
"Mungkin dia belum pulang ke sini, Mam!"
"Lalu kalau bukan ke sini, ke mana larinya perempuan bodoh itu?!"
Aku meringkuk di sudut kamar, dengan seluruh tubuh gemetar.
Hingga mataku tertuju pada satu benda. Segera aku meraihnya, kartu nama berwarna hitam dengan tulisan berwarna emas.
"Reyandra Pratama Wirata?"
Agak ragu untuk menelepon, mengingat saat ini baru pukul tiga pagi, tapi ... suara-suara di luar sana?
Kusambar ponsel di atas meja, menekan nomor-nomor sesuai angka di kartu nama itu. Tersambung. Hanya saja lama sekali Tuan itu mengangkat teleponku.
"Dobrak pintunya! Kita lihat apa dia ada di dalam atau tidak?!" Mami Lidya kembali berteriak.
Akhirnya, pintu terbuka. Aku semakin tertekan rasa takut, mengeratkan pelukan pada tubuh sendiri.
"Bawa perempuan sial ini. Cepat!!!" perintah perempuan bergaun ungu itu.
"Tidak, Mam! Tolong saya! Saya minta maaf--" ucapanku terhenti saat mendengar dering dari ponsel di samping. "Halo, Tuan! Bisa tolong saya--"
"b******k! Dasar perempuan s****l ...! Masih berani meminta tolong?!" teriak Mami Lidya sambil merebut ponsel dari tanganku, lalu melemparnya begitu saja.
Aku meratap iba, tapi sia-sia. Bahkan bersimpuh di kedua kakinya, semua percuma. Aku diseret. Dibawa paksa masuk ke dalam mobil. Menangis, meminta ampun. Semua tak berguna. Perempuan paruh baya itu mengabaikanku.
Hingga akhirnya mereka membawaku masuk ke dalam kafe bagian belakang. Mengurungku di sebuah ruang gelap.
"Ini balasan untuk orang-orang yang berani bermain api denganku! Rasakan!!!"
Dan ... plak.
Aku meringis menahan sakit di pipi kanan. Demi apapun, baru pertama kalinya aku ditampar seperti ini.
Ternyata, tak sampai di situ. Mami Lidya kembali menamparku, bahkan hingga aku tak kuasa lagi menahan rasa sakitnya.
***
Aku mengerjap, saat merasakan ada secercah cahaya menimpa wajah. Rupanya ada seseorang yang membuka pintu.
Dalam keadaan setengah sadar, aku memperhatikan secara seksama. Siapa pria itu? Rasanya tidak asing.
"Dia yang kamu cari?"
"Lepaskan dia!"
Tawa menggelegar, didominasi suara perempuan. Pasti suara Mami Lidya. Selang berapa detik dia menghampiriku, melepas ikatan di kedua tangan yang entah sejak kapan menjerat lenganku.
Aku ditarik untuk berdiri, lalu diseret paksa. Dan akhirnya tubuhku didorong. Apa daya, tenaga habis tak bisa melawan. Sebelum tubuhku ambruk, sesuatu menahanku.
Hingga terasa kepala ini bersandar pada ... ada detak jantung, juga harum yang pernah kucium. Ya, harum yang sama dengan jas di tubuhku.
Napasku terasa berat dengan kepala menahan denyut tak tertahan, tapi sepasang tangan mendekap tubuhku erat, bahkan memintaku agar tenggelam ke dalam pelukannya.
"Berapa?"
"Yang jelas harus sebanding dengan kerugian yang aku alami!"
"Dicky!"
Dalam keremangan cahaya, tampak seorang lelaki membawa tas. Membuka resletingnya, dan uang pun mulai berhamburan dari tangannya. Bahkan uang itu berterbangan ke udara.
Lagi-lagi terdengar suara tawa menggema. Perempuan itu pasti merasa bahagia sekarang.
Suara tawa mulai terdengar samar, seiring kedua mata yang tak kuasa untuk terbuka. Aku lemas, tapi masih sempat kurasakan saat tubuh ini terangkat.
***
Aku menyipitkan mata. Sinarnya terlalu menyilaukan. Di mana ini? Ruangan besar, harum ... dan kasur empuk. Apa aku berada di hotel lagi? Astaga!
"Sudah bangun ternyata?"
Aku berusaha bangkit, hanya saja tubuhku masih terlalu lemah.
"Tidak apa, tidur lagi." Lelaki itu membantuku berbaring kembali.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, berusaha tersadar dari rasa ini. Apa aku mimpi? Kurasa aku masih tertidur. "Aku di mana?" bisikku.
"Di tempatku," sahutnya sambil merapikan helai rambut yang menutupi wajah.
Ah, ternyata bukan mimpi! Kini wajah itu ada di depan mata. Mata sayu dengan bola mata hitam, berhias alis tebal, hidung mancung dan bibir yang menebar aroma mint. Wajah putih bersih dengan rambut hitam.
Apa mungkin dia malaikat yang dikirimkan Tuhan padaku?
"Lukamu cukup parah, tapi aku sudah mengobatinya."
"Te-terima kasih," ucapku gugup. "Kalau begitu saya harus segera pulang." Aku berusaha bangkit kembali.
Namun, ah ... tak ada tenaga sedikit pun.
"Sudah kubilang, beristirahatlah!" Kali ini suaranya berubah tegas.
Aku menarik napas, lalu mengangguk.
Lelaki itu mengembuskan napas berat, lalu mengerlingkan mata. "Tunggu di sini!"
Aku tatap punggungnya yang berlalu menuju pintu di ujung sana. Secara tak langsung mataku mulai menjelajah ke sekeliling. Kamar yang terbilang cukup bagus dan mewah, melihat setiap sudutnya yang berhias barang dan perabot berkelas.
Apa dia membawaku ke rumahnya? Pikiranku masih melayang ke sana ke mari. Memikirkan kejadian kemarin, tadi malam dan sekarang.
Ah, tragedi itu benar-benar sudah berakhir. Agak senang, karena tidak harus lagi merasakan kamar pengap dan tamparan Mami Lidya.
Derap langkah mendekat. Rupanya dia sudah kembali, dengan nampan di tangannya. Dia menarik kursi, duduk di samping ranjang.
"Susunya kujamin enak, tapi nasi gorengnya aku tidak yakin," ucapnya sambil menyimpan nampan di atas meja. Lalu dia memberi isyarat padaku agar bangun, membenahi bantal di belakang punggung agar aku bisa bersandar.
"Makanlah!"
Aku menerima dengan gerak ragu. Agak malu untuk menerimanya, tapi perut yang sudah berdemo sejak semalam tak bisa kukendalikan. Aku menyuapkan sendok demi sendok ke dalam mulut, dan dia masih duduk di sampingku. Walau kini terlihat sibuk dengan ponsel pintar di tangannya.
Tak butuh waktu lama untuk menghabiskannya, dalam beberapa menit piring di tangan sudah bersih. Aku berusaha menggapai gelas di meja, tapi Tuan itu bergerak cepat saat menyadari tingkahku.
Dia mengambil piring di tanganku, lalu menyerahkan gelas berisi s**u coklat itu.
"Terima kasih," ucapku setelah berhasil menghabiskan satu gelas s**u tanpa jeda.
Dia tersenyum kecil, kemudian mengambil gelas dari tanganku dan menyimpan kembali di atas meja. Tangannya kembali bergerak, kali ini dia meraih tisu di ujung meja. Tanpa kutahu dia akan membersihkan sekitar bibirku. Apa aku makan dan minum terlalu cepat?
"Apa nasi gorengnya enak?"
"Agak asin sebenarnya, lalu bawang gorengnya terlalu gosong."
Dia berdecak, melempar tisu ke tempat sampah di sudut kamar.
"Siapa yang memasak?" tanyaku ragu.
"Aku, tapi ternyata memang tidak berbakat."
"Oh, kupikir Anda memiliki pembantu."
"Aku tinggal sendiri," sahutnya dengan nada datar.
"Maaf ...."
"Mmm."
Baru kusadari, ternyata lelaki ini sungguh sangat dingin. Tidak aneh, lelaki tampan dan kaya biasanya memang bersikap seperti itu.
Dia berdiri, membawa nampan di meja.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Maaf, Tuan. Jam berapa sekarang?"
"Jam sepuluh malam," jawabnya sambil melirik ke arah jendela.
Astaga! Kenapa bisa aku tidak menyadarinya?
"Kamu pingsan lama sekali. Istirahat saja lagi," sambungnya.
"Tapi saya sudah terlalu lama tidur, Tuan. Kalau boleh, saya ... ingin menumpang mandi saja."
"Boleh. Kamar mandinya di sana," tunjuknya ke arah pintu. "Mandilah sesukamu." Lalu dia melangkah kembali ke luar kamar.
Setelah memastikan tubuhku kuat, aku berusaha bangkit. Walau kaki masih terasa lemah, tapi rasa lengket dan gerah di tubuh membuatku tidak nyaman.
Kusempatkan menengok ke arah jendela saat melangkah menuju kamar mandi. Di bawah terlihat kendaraan berlalu-lalang, juga deretan gedung pencakar langit dengan gemerlap cahaya yang menghiasi malam. Ternyata ini apartemen.
Kubuka pintu kamar mandi. Menelan ludah setelah melihat isinya. Besar dan tampak nyaman sekali sepertinya.
Kututup pintu, menguncinya dan bergegas membuka baju. Walau ruangannya besar tapi tetap saja bagiku asing. Hanya dalam lima menit aku sudah selesai mandi. Kebingungan sendiri, mana handuknya?
Terdengar langkah kaki. Bagaimana ini?
Lalu suara ketukan pintu. Ah, tidak!
"Hei, aku lupa. Di dalam tidak ada handuk, 'kan?"
"I-iya, Tuan," sahutku dengan nada bergetar.
"Ini handuknya!"
Aku menarik napas. Sudahlah, Siska! Siapa dia dan siapa kamu? Mana mungkin dia tertarik padamu?
Perlahan kubuka pintu. Tangannya terulur memberikan handuk. Kuraih segera dan menutup pintu kembali.
Setelah selesai melilitkan handuk di tubuh, aku keluar dengan perasaan was-was. Namun ternyata, dia sudah tak ada.
"Pakai saja dulu bajuku."
Aku berputar. Dia berdiri di ambang pintu. Repleks aku menarik handuk yang hanya menutupi setengah paha, dan tangan atas yang berusaha menutupi d**a.
"Itu," tunjuknya ke arah ranjang.
Aku mengangguk segera.
"Kalau masih butuh yang lain, aku ada di ruang tengah," ujarnya.
"Iya. Terima kasih banyak, Tuan." Kusempatkan berterima kasih kembali.
Dia mengangguk, menatapku dari atas sampai bawah. Lalu berbalik melangkah, menutup pintu.
Aku bernapas lega. Bergerak cepat menuju ranjang, memilih beberapa kaos yang dia sediakan. Sayangnya, ukurannya besar-besar. Bahkan celana pendek yang dia pinjamkan semua terasa longgar di pinggang.
Huft, bagaimama ini?
Kuputuskan memakai kaos putih berukuran XL yang panjangnya sampai paha. Untuk celana, terpaksa aku pakai kembali hot pants bekas semalam.
Aku berkaca, menatap wajah dengan beberapa memar di pipi kanan dan kiri. Ya ampun, kejam sekali perempuan itu. Setelah merapikan rambut aku segera keluar kamar.
Tampak lelaki berkaos biru dan celana jeans pendek itu duduk santai di atas sofa. Kuhampiri dia, duduk di sofa yang lain. "Maaf merepotkan, Tuan," ucapku sambil menarik kaos yang terangkat ke atas.
Dia menoleh, menurunkan kaki yang tersilang di atas meja. "Sama-sama," sahutnya. Lalu kembali mengarahkan kedua mata pada layar televisi.
Agak bingung entah harus berbicara apa lagi?
"Anda tinggal sendiri?"
"Bukankah tadi sudah kukatakan, aku tinggal sendirian," sahutnya tanpa menoleh.
Astaga! Dia sombong atau memang memiki sifat kaku sedingin es. "Sekali lagi, aku ucapkan terima kasih, Tu--"
"Sudah berapa kali kamu mengucapkan terima kasih?"
Aku merunduk. Bisa kulihat dia bergerak membaringkan tubuhnya, dengan tangan menekan-nekan remote. Entah acara apa yang dia tonton, dari tadi tidak jelas.
"Hei, boleh aku minta sesuatu?"
Aku menatapnya segera. "A-apa itu, Tuan?"
"Jangan panggil Tuan."
"Ah, ya. Baik, Pak ... Rey ... Rey ...." Aku mencoba mengingat nama di kartu itu.
"Reyandra. Kamu bisa panggil aku Andra, cukup Andra saja."
"Oh, baiklah Pak ... Andra."
"Jangan panggil Pak juga, terlalu formal."
"Ba-baiklah. Kalau begitu ... Ma-Mas ... Mas Andra."
Dia mendongkak, menatapku. Lalu mengembuskan napas dan berdecak.
Apa mungkin dia kesal?
Bagaimana aku tidak salah tingkah seperti ini. Ini kali pertama aku berduaan bersama laki-laki selama ... entah berapa jam. Kemarin malam saja bersama lelaki botak dan buncit itu, baru beberapa menit aku sudah ketakutan.
Aku mendesah. Menyadari lika-liku hidup yang menimpaku dalam hitungan bulan. Hanya demi uang ... uang? Aku teringat pada ....
"Tu ... ah, maksud saya Mas Andra. Berapa uang yang harus saya ganti sebagai tebusan pada Mami Lidya?"
Dia tampak berpikir. "Mmm, aku enggak hitung."
Oh, ya ampun. Bagaimana ini? Jumlahnya pasti tidak sedikit. Walau pun dalam keadaan setengah sadar aku tahu jelas bagaimana uang itu berhamburan.
"B-besok, saya janji akan pulang. Saya akan cari pekerjaan untuk mengganti--"
"Kerja apa?" selanya.
Aku terdiam.
"Menjadi perempuan panggilan lagi?"
Kali ini mataku mulai menghangat. Terasa perih, mengingat kecerobohanku.
Dia bangkit, lalu berjalan ke arah lemari. Membuka salah satu laci dan mengambil sebuah kotak berwarna putih. Duduk kembali, dan memintaku mendekat dengan lambaian tangan.
Mau tak mau aku berpindah duduk karena melihat sorot tajamnya.
Andra, namanya Andra. Dia membuka kotak bertuliskan P3K. Mengambil sejumput kapas lalu meneteskan alkohol ke atasnya. Satu tangannya menarik daguku.
"Kamu masih muda, hidup sendiri di kota seperti ini harus memiliki nyali besar. Jika mau bertahan hidup jangan setengah-setengah. Sekali kamu kotor, kotorlah sekalian, tapi jika ingin menjadi perempuan terhormat, jauhi dunia itu."
Aku mendengar rentetan kalimatnya itu dengan menahan perih di sudut bibir yang dia bersihkan. Kenapa nada bicaranya terkesan seperti petuah atau nasihat?
"Kalau ingin menjadi jalang, kenapa semalam harus kabur?" tukasnya.
Dia menatap wajahku, lebih mengarah pada memar dan luka. Kemudian membereskan kotak obat.
"Sebenarnya ... jika bukan karena orang tua saya yang membutuhkan banyak uang, saya enggan melakukan hal itu. Kemarin saya sempat putus asa, hingga akhirnya menerima usulan teman untuk menjadi ... wanita panggilan." Aku meremas jemari gugup.
Andra memiringkan kepala. "Tau siapa lelaki yang semalam booking kamu?"
Aku menggeleng.
"Dia lelaki hidung belang kelas kakap. Setiap minggu berusaha mencari kepuasan bersama gadis muda sepertimu."
"Mas Andra kenal dia?"
"Dia salah satu relasiku. Semalam kami menghadiri sebuah perayaan, dan kulihat dia masuk ke kamar ... ada kamu di dalamnya."
Aku tersenyum kelu mengingat kejadian itu.
"Oya, tentang tempat kosmu. Sebaiknya jangan kembali jika tidak ingin tertangkap lagi oleh anak buah si g***o sialan itu."
Aku mengernyitkan kening.
"Aku sudah suruh polisi untuk menggerebek kafenya. Kemungkinan, mereka tau siapa dalangnya."
Aku menggigit bibir.
"Aku atau kamu," sambungnya.
Lalu menelan ludah. "Kalau begitu, saya harus tinggal di mana?" tanyaku dengan suara parau.
"Untuk sementara kamu tinggal saja di sini. Tenang saja, kamu pasti aman." Andra membaringkan tubuhnya. "Tidur saja di kamar, biar aku tidur di sini."
Aku mengelilingkan pandangan. Tinggal di sini?
***
Kurenggangkan otot-otot yang kaku, merasakan udara segar dari kaca jendela yang baru kubuka. Ah, nyaman sekali rasanya tidurku. Begitu nyenyak dan pulas. Entah karena kondisi tubuh yang kurang baik selama seharian kemarin, atau memang aku tidur di atas kasur empuk itu. Seperti keajaiban. Berbulan-bulan tidur di atas kasur tipis dalam ruangan kecil yang lebih layak disebut gubuk.
Setelah mencuci wajah, aku keluar kamar. Bermaksud mencari Andra.
"Mas Andra! Mas Andra!" Kutelusuri seluruh ruangan, tapi tidak ada. Saat kutarik handel pintu, terkunci.
Bagaimana ini?
Di tengah tanda tanya, kedua mata menangkap sebuah penampakan.
"Wah, apa itu buat aku?" Aku berjalan mendekati meja makan. Ada roti isi dan s**u coklat. Sepertinya Andra tahu kalau aku lapar. Kuambil piring porselen itu, sehelai kertas terselip di bawahnya.
"Hari ini aku ada pekerjaan di Bali. Ingat kata-kataku, jangan pergi ke mana-mana sendiri. Jam sepuluh nanti ada orang yang akan menjemputmu, ikutlah bersamanya. Dia sahabatku."
Menjemput? Memangnya mau ke mana?
Kulihat jam dinding di ruang tengah. Sudah menunjukkan angka delapan. Lalu menatap ujung kaki, lutut, perut dan tubuh sendiri.
Apa dia punya baju perempuan?
-
Aku berhasil menghabiskan potongan sandwich hanya dalam beberapa menit, dan segelas s**u tandas dalam hitungan detik.
Masih jam sembilan. Waktu terasa lambat untuk sampai pada pukul sepuluh. Aku penasaran, apa maksud pesannya itu? Dia memintaku tidak pergi, tapi menyuruhku ikut bersama sahabatnya. Hatiku mengatakan, jika dia bukan orang jahat. Bisa kulihat dari sikap dan perilakunya.
Baiklah, turuti saja dulu kemauannya. Anggap saja sebagai balas budi.
-
"Permisi!"
Aku terenyak, dengan cepat mengikat rambut. Setelah membuka pintu kamar, seorang lelaki berdiri di samping sofa. Tampaknya seumuran dengan Andra.
"Mmm, siapa, ya?" tanyaku sedikit takut.
"Hei, kenalkan aku Dicky. Aku diminta Andra untuk menjemputmu."
Berpikir sebentar. Aku ingat, Andra menyebut nama Dicky saat di kafe itu. Baru setelah itu aku yakin.
"Oh, ya. Tadi dia meninggalkan pesan." Aku menganggukkan kepala, setelah melihatnya dari atas ke bawah lalu kembali ke atas. "Kalau boleh tau, mau pergi ke mana?" lanjutku.
"Nanti juga kamu tau," sahutnya santai. "Hei, apa kamu mau pergi dengan penampilan seperti itu?"
Aku berhenti melangkah. "Aku sudah mencari di lemari Andra. Tidak ada baju perempuan."
Dia tertawa. Tampaknya dia berbeda jauh dengan Andra. Dicky terlihat agak ramah. Dicky berjalan menghampiriku. "Ini, pakailah! Andra yang belikan." Tangannya terulur memberikan sebuah tas belanja.
"Apa ini?'
"Baju untukmu. Pakai, mudah-mudahan cocok."
Aku mengangguk, lalu meraihnya. "Aku masuk kamar dulu."
"Ya." Dicky berbalik dan duduk santai di sofa ruang tamu.
Setelah di kamar, kubuka isi tas di tangan. Sebuah dress berwarna biru langit, lengkap dengan sepatu dan underwear. Apa maksudnya?
Tak urung kupakai juga, karena sebenarnya sangat membutuhkan celana dan bra yang ada di dalam. Yang kupakai di badan sudah tak nyaman, mungkin karena sudah dua hari kupakai tanpa mencucinya.
Aku keluar setelah merasa berdandan pantas.
"Sudah?" Dicky berdiri.
Aku mengangguk. Dicky menatapku dari atas hingga bawah, lalu tersenyum simpul.
"Kenapa? Ada yang salah?" Aku mulai merasa tak enak.
"Tidak ada. Ayo, nanti keburu siang!" ajaknya sambil berjalan ke arah pintu.
Aku menatap takjub setiap sudut gedung tempat aku tidur selama dua malam ini. Benar-benar tidak menyangka.
"Selamat pagi, Pak Dicky!"
"Pagi!" Lelaki berjas coklat muda itu menepuk pundak Pak Security.
Sempat kulihat security itu menatapku, aku berpaling segera.
"Arah sini!" Dicky memberi isyarat agar aku mengikutinya.
Aku terus melangkah mengikuti lelaki itu. Hingga kami berhenti di samping sebuah mobil berwarna merah. Dicky membuka pintu depan, lalu menyuruhku masuk.
Astaga! Mimpi apa aku? Dari kemarin naik mobil bagus terus.
"Ke mana?" tanyaku setelah mobil melaju.
"Pertama kita ke klinik dulu, setelah itu--"
"Pertama?" Aku bertanya heran.
"Dengar Nona Manis, sebaiknya kamu tidak banyak bertanya. Percayalah, aku dan Andra, termasuk pada golongan laki-laki baik."
Aku tertawa menanggapinya. Sikap Dicky lebih hangat dibanding Andra.
Benar saja, Dicky menghentikan mobil di depan klinik. Aku dibawanya masuk untuk mengunjungi dokter spesialis kulit.
"Untuk apa?" tanyaku tidak mengerti.
"Tentu saja untuk mengobati wajahmu. Kamu mau, lukamu itu infeksi, atau mungkin meninggalkan bekas?"
Aku meraba wajah. Benar juga.
Hingga tibalah namaku dipanggil. Dicky menemaniku ke dalam, bahkan dia meminta obat terbaik agar lukaku cepat sembuh.
Setelah selesai dengan pemeriksaan, Dicky membawaku ke sebuah mal ternama di kota. Pikiranku dipenuhi bermacam pertanyaan, hanya saja aku bingung. Mana yang harus dulu kutanyakan?
"Mau makan dulu?" tawar Dicky.
"Mmm, boleh."
"Ayo!" Dicky membawa langkahku ke bagian food counter.
"Pesan yang kamu mau."
"Iya."
Aneh. Bersama Andra dan Dicky, kenapa aku merasa aman? Padahal mereka adalah orang asing bagiku. Tidak seperti saat bersama lelaki hidung belang itu, perasaanku begitu takut.
Setelah acara makan siang selesai, Dicky kembali membawaku berjalan-jalan. Lalu membawaku masuk ke dalam gerai handphone, menyuruhku memilih satu ponsel. Aku cukup tercengang. Apa lagi ini maksudnya?
"Kenapa melamun lagi, Nona?"
Aku terkejut. "Tolong katakan padaku! Apa maksud semua ini?!"
"Hei, pelankan suaramu. Ini tempat umum," bisik Dicky.
"Kamu tau? Kalian, kamu dan Andra. Benar-benar membuat aku bingung."
"Tunggu sebentar." Dicky mengangkat telapak tangannya. Lalu merogoh sesuatu di dalam saku celananya. "Halo, Dra! Lagi apa?"
Apa yang dia lakukan? Kenapa harus menelepon Andra?
"Bicara padanya, aku enggak tau harus ngomong apa?" Dicky melirikku sekilas. "Oke, bentar." Kini dia memberikan ponselnya padaku. "Ini, Andra mau bicara."
"Hah, bicara sama aku?"
"Kenapa? Kamu butuh penjelasan, 'kan?"
"Iya, tapi--"
"Ini."
Aku menerimanya dengan tangan gemetar. Kenapa mendadak menjadi takut begini?
"Ha-ha-halo, Mas Andra!"
"Ada masalah apa?"
"Oh, aku ... saya hanya bingung. Apa maksud dari semua ini? Anda sudah terlalu baik pada saya."
"Untuk itu, turuti saja apa yang Dicky katakan. Dengan begitu, sama artinya kamu membalas kebaikanku. Paham?"
Aku menautkan alis. Benar-benar tidak mengerti. "Tapi, Mas--"
"Aku sedang sibuk. Kita bicarakan lagi jika aku sudah pulang."
Lalu telepon terputus. Aku menyerahkan kembali ponsel pada Dicky. Lelaki itu hanya tertawa pelan.
Kenapa aku merasa dua laki-laki ini sedang mempermainkanku?
Akhirnya demi menjaga situasi agar tidak bertambah rumit, aku turuti semua perintah Dicky. Aku memilih satu ponsel, itupun sempat terjadi perdebatan karena aku menginginkan ponsel dengan harga murah sementara Dicky menyuruhku membeli yang mahal.
Benar-benar sulit kupahami.
Setelah itu, tahu apa yang dilakukan? Aku dibawa ke bank. Dia memberi instruksi pada salah satu karyawan agar membantuku membuka rekening. Bonusnya, Dicky memberikan KTP pada pegawai itu!
Dari mana?
Dua kartu telah kudapatkan ; ATM dan kartu kredit.
"Cek ATM-nya. Setelah itu kirim ke orang tuamu!" perintahnya.
Hampir aku mati berdiri, saat melihat saldo yang tertera.
"Seratus juta?" gumamku tak percaya. Inginnya bertanya lagi, tentang arti semua ini. Baru saja membuka mulut, Dicky sudah mengancam akan menelepon Andra.
Oh, bahaya!
Baiklah, kutelepon saja adikku di kampung. Meminta nomor rekening saudara atau tetangga. Beruntung tetangga terdekat kami mau membantu. Kuputuskan untuk mentransfer setengahnya saja dulu, takut jika bapak dan ibu kaget luar biasa.
"Beres?" Dicky bertanya saat melihatku keluar dari ATM Center.
"Udah. Ke mana lagi sekarang?" tanyaku lesu.
"Belanja. Kamu butuh banyak baju dan sepatu, juga tas. Usahakan jangan sampai ada yang kurang," ujarnya santai.
Apa?!!
*****