Bella dan Rashid masih asik berbincang diselingi tawa renyah keduanya, sambil menikmati pemandangan yang terhampar di hadapan mereka.
Menurut Bella, Rashid sosok yang sangat menyenangkan, humoris dan mempunyai pemikiran yang luas. Bagi Bella, Rashid teman ngobrol yang menyenangkan meski mereka baru kenal.
"Wah, tawa kalian terdengar bahagia sekali!"
Mendengar suara yang berbicara, Rashid, dan Bella langsung berbalik untuk menatap si pemilik suara.
"Halo, Edward, apa kabar?" Rashid memeluk Edward.
"Baik. Bagaimana dengan kabarmu sendiri, Rashid?" Edward menepuk punggung Rashid, matanya menyorot tajam ke arah Bella melewati bahu Rashid.
Bella tidak tahu apa makna tatapan Edward yang bagai ingin mengulitinya. Apakah cemburu, atau hanya sekadar merasa terluka harga diri, karena calon istrinya berduaan dengan pria lain.
"Aku baik, Ed" jawab Rashid.
Edward meraih pinggang Bella, lalu mencium bibir Bella secara atraktif di depan Rashid.bBella tidak dapat menolak meski tangannya sudah di dadanya Edward untuk mendorong Edward agar menjauhinya, tapi tangan Bella malah mengelus lembut dadanya Edward yang bidang.
"Ow! Ada yang diserang rasa rindu tak tertahan rupanya." Rashid berseru sambil tertawa saat melihat apa yang dilakukan Edward pada Bella.
Edward melepaskan ciumannya, tapi tetap memeluk pinggang Bella, memperlihatkan kalau Bella adalah miliknya. Bella tak tahu apakah sikap posesif Edward padanya real, atau sekadar penunjang dari sandiwara mereka di hadapan keluarga Edward.
"Bella ini penyihir, Rashid, kau tahu bagaimana aku kan. Hanya seorang penyihir yang bisa membuatku dilanda rindu," sahut Edward seraya membalas tatapan Bella yang tertuju ke bola matanya.
'Ck, ternyata Edward Khastana bukan hanya pandai menaklukan wanita, tapi pandai berakting juga sepertinya,' batin Bella.
"Kau benar, Ed. Bella memang seperti penyihir, semua isi rumah ini sudah tersihir dengan pesonanya, dan jujur aku akui, aku juga sudah tersihir olehnya. Jadi berhati-hatilah, Ed, jika kamu mengabaikan Bella, maka aku siap untuk jadi pelindungnya." Nada suara Rashid memang terdengar seperti bergurau, tapi Edward merasa ada kesungguhan tersirat pada tatapan mata Rashid.
"Ho, Rashid. Kamu baru bertemu dengan Bella hari ini, tapi kamu sudah terkena sihirnya!" Edward tertawa dengan suara nyaring. Rashid ikut tertawa.
"Bella pasti sangat istimewa bagimu, Ed. Karena dia mampu membuatmu rela melepaskan gelar lajang terseksi mu. Dia mampu membuatmu merasakan rindu, itu artinya dia juga sudah mampu membuatmu jatuh cinta padanya. Kehadirannya menghapus keraguanmu pada cinta, iya kan, Ed?"
Edward mengecup kening Bella.
"Ya dia memang istimewa, dan tentu saja tak akan aku biarkan kamu merebutnya dariku." Edward terkekeh pelan.
"Hhh, baiklah aku kira kalian masih ingin menuntaskan rindu, iya kan. Aku turun duluan. Selamat malam, Ed. Selamat malam, Bella." Rashid pamit pada Edward dan Bella.
"Selamat malam," jawab keduanya bersamaan.
Rashid baru beranjak beberapa langkah laku berhenti dan berbalik menatap Bella.
"Bella, jika Edward mengabaikan kamu, menyakiti hatimu, datanglah padaku. Aku akan memberikan pelajaran kepadanya. Pelajaran yang belum pernah Edward terima dariku." Rashid mengarahkan jari telunjuknya seakan sebuah ancaman kepada Edward.
Bella hanya tersenyum sedang Edward tertawa.
"Kamu tidak mengatakan saat menelpon tadi siang, kalau kamu akan datang malam ini, Ed."
"Kenapa? Merasa terganggu dengan kedatanganku? Merasa tak bisa tebar pesona pada Rashid, karena kehadiranku?" tanya Edward dengan suara dan tatapan sinis.
Bella tertawa.
"Apa kamu merasa cemburu, Ed? Hati-hati, kata orang cemburu tanda cinta, sedangkan kau tak percaya cinta itu ada iya kan?" Nada bicara Bella tak kalah sinis dari Edward.
"Jangan menantang aku, Bella" Edward mendesis dengan perasaan gusar.
Bella tertawa lagi.
"Kamu sangat takut jatuh cinta. Sehingga kamu berkeras menganggap cinta itu semu!"
"Berhenti mengejekku, Bella!" Mata Edward menyambar bola mata Bella.
"Aku ti ... hmmpp!" Bibir Edward menyanbar bibir Bella kasar.
Punggung Bella bersandar di pagar pembatas atap, satu tangan Edward menekan tengkuknya, tangan yang lain memeluk pinggangnya.
Suara kecupan terdengar nyaring. Merasakan kepasrahan Bella, Edward memutar tubuh Bella agar membelakanginya, tangan Edward meraih dagu Bella, melumat bibirnya lagi dengan bernafsu, sementara satu tangannya menyentuh kasar dadanya Bella. Edward meletakan satu telapak kakinya berpijak pada bagian bawah pagar pembatas atap, lalu dinaikannya satu paha Bella ke atas pahanya.
Dengan satu tangannya yang bebas, Edward menyingkap gaun Bella dan menelusup masuk ke balik celana dalam Bella. Bella mendesah dalam hatinya, karena bibir Edward masih menguasai bibirnya. Mata Bella terpejam rapat, merasakan getaran di tubuhnya yang terasa semakin panas.
Tubuh Bella terasa panas, tapi Bella gemetar seperti kedinginan.
'Apakah Edward benar kalau cinta itu tak ada. Apakah benar yang ada di dalam hubungan antara pria dan wanita yang ada hanya nafsu berkedok cinta,' batin Bella.
Kedua belah tangan Bella berpegangan erat pada bibir pagar pembatas atap, untuk menahan agar tubuhnya tak jatuh, karena satu-satunya kaki yang masih berpijak di lantai sudah lemas sejak tadi. Pemandangan indah di hadapan mata tak lagi menarik untuk dinikmati. Bibir mereka asik berpagutan. Tubuh Bella beberapa kali terasa mengejang, dan Bella merasakan sesuatu yang menegang di gesekan Edward di pinggulnya.
"Ini gila, ini terlalu liar! Aku sudah kehilangan akal waras ku karena sentuhannya,' batin Bella.
Bella menyadari ini gila, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menikmati kegilaan ini. Pasrah pada sentuhan Edward dan hal itu membuatnya marah pada dirinya sendiri. Tapi kemarahan itu tak membuatnya cukup kuat untuk menghentikan Edward.
"Kak Ed! Kak Bella!" Suara Nania mengagetkan mereka.
"Maaf mengganggu," ujar Nania. Gadis itu tersipu saat melihat posisi kakak dan calon kakak iparnya.
Edward melepas ciuman, cepat Bella menurunkan pahanya dari paha Edward, dan merapikan gaunnya, setelah Edward menarik telapak tangan dari balik celana dalam Bella.
Wajah Bella merah padam.
"Sangat mengganggu, Sayang" gerutu Edward pada Nania.
"Maaf, Kak, tapi tapi Nenek, Papa, dan Mama memanggil Kakak berdua," jawab Nania dengan suara manja.
"Turunlah kalian lebih dulu, nanti aku menyusul." Edward melangkah ke arah wastafel yang ada di dinding dekat puncak tangga untuk mencuci tangannya yang terasa lengket.
Sementara Bella minta ijin ke kamarnya sebentar, sebelum menemui Nenek dan orang tua Edward. Bella merasa perlu mengganti celana dalamnya yang basah akibat ulah Edward.
Bella dan Edward duduk bersisian menghadapi Nenek dan orang tua Edward.
"Ada apa kami dipanggil?" tanya Edward.
"Kami ingin bertanya, kapan kalian akan mulai mempersiapkan pernikahan kalian?" tanya Papa Edward.
Edward menatap Bella, tatapan mata mereka bertemu.
"Mungkin tahun depan, Papa" jawab Edward.
"Apa?? Tahun depan? Itu terlalu lama Ed! Nenek ingin kalian menikah tahun ini juga!" Mata Nenek melotot ke arah Edward.
Edward menatap Neneknya.
"Jadi Nenek sudah bisa menerima Bella sebagai calon istriku, tanpa ujian menyanyi dan menari?" tanya Edward tak percaya.
"Menyanyi dan menari itu hanya bagian kecil dari persyaratan untuk masuk kedalam keluarga Khastana Ed. Yang utama adalah Bella mampu berbaur dengan semua anggota keluarga dan mereka semua menyukainya," jawab Nenek.
Edward kembali menatap Bella.
Apa yang ia katakan pada Rashid tadi benar, wanita yang tengah duduk di sebelahnya ini adalah penyihir, penyihir cantik yang sudah menyihir anggota keluarganya. Bahkan mampu menyihir nenek.
"Ed! Ya ampun, Ed. Kamu menatap Bella seakan takut dia menguap dan meninggalkanmu," gerutu Nenek.
"Aku terserah Bella saja, kapan dia siap aku nikahi," jawab Edward akhirnya tanpa melepaskan tatapan matanya dari Bella.
Mata Bella membulat, Bella menatap gusar kepada Edward, seakan protes dengan apa yang diucapkan Edward, menyerahkan keputusan tentang pernikahan mereka kepadanya. Itu membuat Bella merasa berada dalam posisi yang sulit.
"Bella, bagaimana menurutmu?" tanya Nenek pada Bella.
Bella menatap Nenek.
"Semua terserah Nenek saja, aku percaya Nenek pasti tahu yang terbaik untuk kami," jawab Bella setelah berpikir.
"Hmmm baiklah. Aku sebenarnya sudah menanyakan kepada ahlinya, kapan hari baik untuk pernikahan kalian, dan itu adalah pada hari Jumat ini," kata-kata Nenek membuat semua mata memandang ke arah Nenek. Mereka sangat terkejut.
"Ibu, hari Jumat tinggal empat hari lagi," kata Papa Edward.
"Aku tahu, Ray. Karena itu pernikahan hanya kita adakan dengan cara sederhana saja. Nanti saat pesta baru kita meriahkan dengan kemeriahan yang luar biasa. Aku rasa waktu tiga bulan cukup untuk kita mempersiapkan pesta itu semeriah mungkin," jawab Nenek.
"Bella. Kata Edward kamu tinggal di panti sejak kecil, tapi aku ingin tahu, mungkin kamu ingin seseorang yang berarti dalam hidupmu untuk datang menghadiri pernikahanmu?" tanya Papa Edward.
Bella menggelengkan kepala, ia sebenarnya ingin Bu Elle bersamanya, tapi untuk apa, ini hanya pernikahan sementara, dan kehadiran Bu Elle pasti akan membuka kedoknya sebagai Bella Rose.
"Baiklah kalau begitu, besok aku akan minta Maheer mengurus semuanya, agar pernikahan bisa dilaksanakan pada hari jumat di rumah ini," kata Papa Edward.
"Bella, dengan waktu yang tersisa kamu harus memantapkan tarian dan nyanyianmu. Karena Nenek ingin kamu menampilkan tarian dan nyanyian di acara pernikahanmu. Tunjukan kalau kamu pantas menjadi bagian dari keluarga Khastana," ujar Nenek pada Bella.
Bella menganggukkan kepala.
"Iya Nek," sahut Bella. Bella yakin ia sudah menguasai semuanya dengan baik, meski baru beberapa hari belajar secara intens.
*