Cahaya matahari pagi mulai menerobos masuk melalui celah ventilasi udara. Ara pun mengernyit perlahan, kemudian membuka matanya pelan. Tatapannya langsung tertuju ke segala penjuru ruangan itu. Sejenak Ara terkejut dengan tempat yang asing, hingga kemudian Ara teringat bahwa itu adalah kamar hotel yang di tempatinya. Ara duduk dari tidurnya sambil menguap lebar.
Ara menggaruk tengkuknya sambil mendesah pelan. “Apakah semua yang terjadi itu hanya mimpi?”
Tidak.
Ara lekas menemukan jawabannya saat dia melihat setelan gaun yang kemarin digunakannya di resepsi pernikahan. Sedetik kemudian tatapan Ara pun beralih pada secarik kertas yang berisi pesan dari Rahid semalam. Ara meneguk ludah. Ternyata Rahid belum juga kembali hingga pagi ini.
“Malam pertama yang mengerikan,” dengkus Ara seraya mengempaskan kembali kepalanya ke atas ranjang.
Sosok lelaki aneh bin misterius itu pun kembali memenuhi ingatan Ara. Bersamaan dengan itu jemari Ara pun terangkat sambil mengelus bibirnya pelan. Sejujurnya itu adalah sebuah ciuman paling ekstrim yang pernah dilakukannya seumur hidup. Bahkan selama tinggal di Australia yang notabene berbudaya bebas, Ara sama sekali tidak pernah melakukan hal gila seperti itu. Sekelebat bayangan lelaki itu pun kembali teringat oleh Ara.
Aneh dan misterius. Itulah dua kata yang bisa mendefenisikan lelaki itu. Akan tetapi ada satu kata yang bisa menggambarkannya secara utuh, yaitu GILA. Lelaki itu benar-benar gila. Ara sudah berusaha mengingat-ingat apakah mungkin dia memang mengenal lelaki itu, tapi sekeras apapun upayanya mengingat, Ara memang tidak menemukannya. Dia tidak mengenal laki-laki itu, tapi di sisi lain Ara merasa pernah melihat lelaki itu sebelum mereka bertemu di kafe malam itu.
Drrrttt... drttt...
Ara dikejutkan dengan handphone-nya yang bergetar pelan. Dia pun meneguk ludah saat melihat nama Rahid tertera di layar ponsel itu. Ara menghela napas sejenak, memegangi dadanya sendiri, barulah kemudian mengangkat panggilan itu dengan raut wajah khawatir.
“H-halo....” sapa Ara dengan suara yang hati-hati.
“Halo Ra... kamu sudah bangun? Jangan lupa sarapan, ya... minta saja pihak hotel untuk mengantarkan sarapan ke kamar.”
Ara pun menghela napas lega karena sepertinya Rahid sudah tidak marah lagi. ‘I-iya, nanti aku akan minta pihak hotel untuk mengantarkan makanan. Tapi... kenapa kamu belum kembali?”
“Hari ini tiba-tiba aku kedatangan client dari Singapura dan setelah itu nanti aku masih harus mengurus kekacauan itu. Sepertinya usaha aku dan Papa kemarin belum cukup untuk membungkam media. Semua benar-benar kacau. Aku tidak habis pikir semua jadi serumit ini,” jelas Rahid.
Ara meneguk ludah. Rasa bersalah kini mulai menjalar di hatinya. “Maafkan aku...,.” ucap Ara kemudian.
Hening.
Rahid terdiam di seberang sana. Ara pun kini menggigit bibirnya sambil meremas selimut di tangannya.
“Hmmm... sudahlah... semua ini pasti akan berlalu. Sekarang kamu hanya perlu bersembunyi untuk sementara waktu. Tidak usah keluar kamar, karena pasti akan ada banyak reporter pemburu berita di sekitar hotel saat ini.”
Ara menelan ludah. “Baiklah... aku tidak akan ke mana-mana, tapi kamu cepat kembali, kan?”
“Nanti aku akan menghubungi kamu lagi ya, rapatnya akan segera dimulai.”
Tut... tut...
Rahid pun memutus panggilan itu tanpa menjawab pertanyaan Ara.
“Bukankah seharusnya dia mengambil cuti beberapa hari untuk pernikahannya?” bisik Ara pelan.
_
Bosan.
Ara sudah merasa sangat bosan. Jarum jam terasa bergerak sangat pelan baginya. Ini benar-benar sebuah pernikahan yang menjadi tragedi. Bagaimana bisa pengantin baru sepertinya terjebak di kamar hotel seorang diri? Ara beralih menatap jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 16.00 sore dan suaminya Rahid masih belum juga kembali ke hotel. Mereka berdua memang sudah membooking hotel dengan fasilitas super mewah itu selama seminggu penuh. Menurut Rahid itu adalah pilihan terbaik sebelum mereka benar-benar bisa pergi bulan madu ke luar negeri.
“Kenapa nomor handphone-nya tidak aktif, sih?” Ara melempar handphone-nya dengan gusar. Katanya tadi Rahid akan kembali menghubunginya, namun no handphone lelaki itu malah tidak dapat di hubungi.”
Ara bangun dari kasurnya dengan gusar, mengikat rambutnya, lalu memasang sebuah masker untuk menutupi wajahnya. “Aku bisa gila kalau hanya seharian berada di ruangan ini,” desis Ara.
Setelah mengganti pakaiannya, Ara pun keluar dari kamarnya dengan mata waspada. Dia sengaja merubah gaya penampilannya untuk mengecoh para wartawan yang mungkin masih ada di kawasan hotel. Namun yang terjadi sebenarnya penampilan Ara itu malah semakin menarik perhatian. Saat ini Ara mengenakan sebuah hodie warna hitam dengan memakai tudungnya. Selain memakai masker, dia juga memakai kacamata hitam yang terlihat kebesaran di wajahnya yang mungil.
Penampilan Ara itu tentu saja menarik perhatian banyak orang. Apalagi gerak-geriknya juga terlihat aneh dan mencurigakan. Dari kamar menuju lift, situasi tampak baik-baik saja. Akan tetapi ketika pintu lift terbuka saat mencapai lobi, Ara terkejut melihat pemandangan di depannya. Ada banyak sekali wartawan yang tersebar di seluruh penjuru lobi yang luas itu. Sebagian ada yang selonjoran duduk di lantai. Sebagian lagi terlihat sibuk dengan kamera mereka dan handphone-nya. Beberapa lainnnya juga terlihat sedang berusaha mengulik informasi dari recepsionis hotel yang tampak sudah kewalahan.
Deg.
Ara meneguk ludah dan merasa bingung. Ingin rasanya dia balik kanan, tapi sebagian dari wartawan itu kini sedang menatap padanya. Jika Ara melarikan diri saat ini juga, tentu mereka semua akan mencurigainya. Ara akhirnya memutuskan untuk lanjut melangkah. Penampilannya yang sangat mencolok it suksed menarik perhatian. Para wartawan itu terlihat saling memberitahu pada teman-temannya yang lain, hingga akhirnya mereka semua terfokus pada Ara.
“Aku harus bagaimana ini?” jerit Ara dalam hatinya.
Setelah satu tarikan napas yang panjang, Ara menatap pintu keluar yang terbuka lebar di depan sana. Ya, dia hanya perlu melangkah dengan tenang sampai ke sana. Ara pun lanjut melangkah. Setiap langkah kakinya diikuti oleh tatapan para wartawan yang sedang menerka-nerka. Sebagian dari mereka mulai berbisik pada temannya. Sebagian lagi mulai berjalan mendekati Ara yang berjalan dengan langkah canggung.
Pintu keluar itu terasa sangat jauh. Ara terus melangkah sambil berharap semua akan baik-baik saja. Saat ini dia hampir mencapai pintu keluar itu. Sedikit lagi. Hanya tinggal beberapa langkah lagi. Jantung Ara berdetak dua kali lebih cepat saat ini. Ara pun menahan napasnya saat melewati gerombolan wartawan yang berada di sekitar pintu masuk itu. Sampai akhirnya Ara berhasil keluar dari sana. Ara menghela napas lega ketika dia sudah berhasil melewati ambang pintu keluar.
“Tunggu...!”
Deg.
Tiba-tiba Ara tersentak karena ada seseorang yang memanggilnya. Langkah Ara mendadak terhenti. Dia mendengar suara derap kaki yang ramai di belakangnya. Ara ingin melarikan diri dari sana, tapi kedua kakinya terasa bagai terpaku ke tanah. Suara derap langkah di belakang sana terdengar semakin dekat, Ara pun menatap panik ke segala penjuru.
“T-tunggu sebentar!” suara hardikan itu kembali terdengar.
Tatapannya pun kini tertuju pada seorang lelaki yang mengenakan kemeja berwarna hijau di depan sana. Dia sedang berdiri di teras hotel sambil menatap handphone-nya.
“Itu mungkin adalah Ara...!”
“Sepertinya itu memang adalah istri dari Rahid Triyatno!”
Ara semakin panik. Tanpa pikir panjang dia pun segera berlari pada lelaki yang tidak dikenalnya itu dan langsung menggandeng lengannya dengan jemari yang bergetar ketakutan.
“T-tolong aku... tolong bawa aku pergi dari sini,” bisik Ara lirih.
Lelaki itu pun menatap heran. Sedangkan Ara kini menunduk ketakutan di balik tudung hodie yang menutupi wajahnya. Lelaki itu lalu berbalik ke belakang dan melihat para wartawan yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Tolong bawa aku pergi dari sini...!” Ara kembali berbisik lirih.
Para wartawan itu kini menatap heran. Lelaki itu pun menatap mereka semua dengan tatapan sadis. Tak lama setelahnya lelaki itu melepaskan tangan Ara dari lengannya.
Deg. Ara pun terkejut. Apakah lelaki itu tidak mau membantunya? Tapi, tunggu... lelaki itu memang melepaskan lengannya dari genggaman Ara, namun dia meraih jemari Ara, lalu menggenggamnya dengan erat. Pemandangan itu pun membuat para wartawan menghela napas putus asa. Sebagian dari mereka mulai kembali berjalan masuk ke dalam hotel. Sebagian lagi masih terlihat curiga dan masih berdiri di sana.
“Ada apa?” sergah lelaki itu dengan suaranya yang terdengar berat.
Para wartawan itu pun tersenyum canggung kemudian bergegas membubarkan diri.
Ara pun menghela napas lega saat dia sudah tidak mendengar suara-suara lagi di belakang sana. Ara menarik tangannya dari genggaman lelaki itu, namun dengan cepat lelaki itu meraih kepala Ara, hingga wajah Ara tersembunyi dibalik ketiaknya itu.
“A-ada apa?” tanya Ara dengan mata melotot.
“Masih ada beberapa orang yang memerhatikan kamu,” jawab lelaki itu.
Ara menelan ludah. “L-lalu bagaimana sekarang? Bawa aku pergi dari sini! Aku mohon,” pinta Ara.
Lelaki itu tersenyum, lalu mereka berdua pun mulai melangkah pergi dari sana. Sepanjang perjalanan, Ara masih berada diapit oleh lelaki bertubuh kekar itu. Mereka berjalan meninggalkan lokasi hotel dan berbelok ke sebuah kawasan pertokoan yang cukup ramai.
“A-apakah mereka sudah pergi?” tanya Ara lagi.
“Belum. Ada tiga orang yang sedang mengikuti kita.”
Ara meringis. Harusnya tadi dia tidak keluar dari kamarnya. Harusnya dia menuruti perkataan Rahid yang memintanya untuk tetap bersembunyi di dalam kamar. Ara bahkan tidak tahu ke mana sekarang dia melangkah. Mereka terus berjalan, lurus, berbelok, menaiki tanjakan, hingga kemudian Ara melihat jalanan di depannya menjadi gelap karena tidak terkena oleh sinar cahaya matahari.
“K-kita mau ke mana?” tanya Ara.
“Bersembunyi.” Jawab lelaki itu singkat.
Langkah kaki mereka berdua pun kini terhenti, tapi Ara masih berada dalam rangkulan lelaki itu. Keheningan menyebar untuk sekian detik sampai kemudian Ara melepaskan dirinya dari lelaki itu.
Ara melihat ke belakangnya, lalu menghela napas lega. “Terima kasih sudah membantu aku,” ucap Ara.
Hening lelaki itu tidak menjawab.
“Apa kamu tidak ingat dengan tempat ini?” tanya lelaki itu.
Deg.
Bola mata Ara tersentak. Dia segera memerhatikan sekelilingnya. Gang sempit yang gelap ini... kawasan yang terhalangi oleh cahaya matahari ini...
Kedua tungkai kaki Ara seketika melemah. Perlahan dia mendongakkan kepala untuk melihat wajah lelaki itu. Ara berharap dugaannya salah. Ara berpikir hal seperti itu tidak mungkin akan terulang kembali, Namun...
Lelaki itu benar-benar dia. Bibir Ara langsung memucat saat lelaki itu menyeringai padanya.
“K-kamu....” Ara berucap terpatah-patah.
Lelaki itu tersenyum, lalu merapatkan tubuhnya lebih dekat lagi kepada Ara. “Iya... ini aku... apakah kamu sudah ingat tempat ini?”
Deg.
Ara menatap nanar. Perlahan lelaki itu pun mendekatkan wajahnya ke telinga Ara seraya tersenyum.
“Aku ingin melakukannya sekali lagi...,” bisik lelaki itu lirih.
_
Bersambung...