PLAK...
Ara melayangkan sebuah tamparan yang keras ke wajah lelaki aneh itu. Suara deru napas Ara terdengar sesak. Dia menatap lelaki itu dengan sorot kebencian yang teramat dalam. Rasa takut mulai dikalahkan oleh rasa amarah yang memuncak. Tidak puas menampar lelaki itu sekali, Ara pun kembali melayangkan tamparan keras untuk yang kedua kalinya.
“Bajingan...! kamu benar-benar manusia b******k!” teriak Ara.
Lelaki itu hanya tersenyum, dia menyentuh pipinya itu sebentar, lalu menatap Ara. “Kenapa kamu mengatakan aku b******n? Aku sudah menyelamatkan kamu dari para wartawan itu.”
Ara menatap nanar. “Aku tidak akan minta bantuan kamu kalau aku tahu siapa kamu dari awal!”
“Lalu ini salah siapa?” tanya lelaki itu lagi.
Deg.
Ara menelan ludah. Lelaki itu malah tertawa.
“Jangan tertawa! Kamu sudah menghancurkan hari bahagia aku! sebenarnya kamu siapa, ha? apa kamu seorang penguntit? Kenapa kamu terus mengikuti aku...!” Ara bertanya dengan bola mata yang sudah memerah.
“Aku tidak pernah mengikuti kamu!” sanggah lelaki itu dengan suara lirih.
Ara menggeleng tak percaya. “Lalu kenapa kamu bisa muncul di pesta resepsi pernikahan aku? lalu kenapa juga kamu ada di hotel tempat aku menginap, ha? kamu tahu perbuatan kamu ini bisa aku laporkan ke polisi! Kamu bisa dipenjara!”
“Aku baru saja keluar dari penjara.” Lelaki itu menjilat bibirnya sendiri dengan tatapan mata yang terlihat menakutkan.
Deg. Ara mundur selangkah, namun lelaki itu juga bergerak maju mendekatinya lagi.
“Aku tidak tahu bahwa itu adalah pesta pernikahan kamu! Dan aku juga tidak tahu bahwa kamu menginap di hotel itu.”
“L-lalu kenapa....” Ara tidak menyelesaikan kalimatnya.
Lelaki itu tersenyum, tatapan matanya berubah lembut. “Takdir.....”
“T-takdir?” tanya Ara.
“Iya... sepertinya kita memang ditakdirkan untuk selalu bertemu,” jawab lelaki itu.
Ara menatap nanar. Lelaki itu tersenyum memamerkan giginya yang rapi. Ara mencoba mengngat-ingat lagi wajah itu. siapakah sebenarnya lelaki ini? apa motif dan tujuannya? Takdir? Ara tentu saja jelas tidak percaya dengan hal konyol seperti itu.
“Kamu gila...!” hardik Ara kemudian, seraya melangkah pergi.
Ara bergegas pergi keluar dari gang sempit itu dengan d**a yang masih bergemuruh. Dia melangkah gusar seiring suara napasnya yang terdengar sesak. Lelehan peluh masih mengalir di lehernya. Ara terus mempercepat langkah, dua tidak tahu ke mana arah tujuannya saat ini, namun yang pasti dia ingin perg dari sana sejauh mungkin.
Tap.
Langkah Ara pun terhenti di persimpangan jalan. Dia memegangi kedua lututnya sejenak, seraya mengatur napas. Ara ingin menyeberang jalan dan menunggu lampu merah menyala. Saat dia sedang asyik memijit betisnya itu, Ara terkejut mendengar suara langkah pelan di belakangnya.
Deg.
“Kamu kenapa masih mengikuti aku, ha...!?” pekik Ara ketakutan.
“Aku tidak mengikuti kamu,” jawab lelaki itu.
Ara menyapu wajahnya dengan telapak tangan, kemudian menatap lelaki itu lekat-lekat. “Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Apa kamu tidak puas telah melecehkan aku dan juga menghancurkan pernikahan aku?”
Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya. “Merusak? Aku bahkan tahu dengan jelas kamu tidak bahagia dengan pernikahan itu.”
Deg.
“Semua terlihat jelas di raut wajahmu yang cantik ini.” lelaki itu berbicara sambil mengelus pipi Ara pelan dengan punggung jemarinya.
Ara langsung menepis tangan itu dengan kasar. “Kurang ajar! Kamu sepertinya tidak waras. Apa kamu punya kelainan ha? dasar manusia m***m.
Lampu sudah berubah merah, Ara pun segera berlari pergi dari sini. Apa yang baru saja dialaminya itu bahkan lebih menyeramkan dari kejaran wartawan saat di lobi hotel. Lelaki itu pun hanya menatap kepergian Ara sambil melipat tangannya di d**a. Sedetik kemudian dia pun tersenyum pelan.
“Sepertinya ini akan sangat menarik,” bisiknya pelan.
_
Matahari sudah hampir sepenuhnya tenggelam, Tetapi Ara masih belum bisa kembali ke kamar hotelnya. Ara sudah lelah bersembunyi dibalik dinding teras lobi hotel itu. Cacing-cacing diperutnya juga mulai berontak. Sialnya lagi Ara juga lupa membawa dompet dan handhone-nya.
“Sial,” bisik Ara pelan.
Ara pun beranjak pergi dan berjalan dengan langkah gontai keluar dari area hotel itu kembali. Saat ini dia sedang kebingungan. Ara bisa saja menyetop taksi dan pulang ke rumah orang tuanya. Tapi hal itu nantinya hanya akan menjadi sebuah permasalahan baru lagi. Papa dan mamanya nanti pasti akan menanyakan banyak hal tentang ini dan itu. Tidak. Pulang ke rumah adalah rencana terburuk dalam situasi seperti ini.
Tiiit... titt...
Ara tersentak kaget saat mendengar suara klakson mobil itu. Dia menoleh hendak memaki pengendara yang sudah membuatnya terkejut itu, namun kemudian Ara tersenyum lega saat melihat sosok yang sedang menjulurkan wajahnya itu.
“Rahid...!”
“Ayo buruan masuk!”
Ara menghela napas lega dan segera masuk ke dalam mobil.
“Kamu dari mana? Bukannya tadi aku sudah melarang kamu untuk keluar hotel,” ucap Rahid sambil melajukan mobilnya kembali.
“Ceritanya panjang... untung ada kamu. Sepertinya kita tidak bisa kembali ke hotel. Para wartawan masih ada di sana,” jawab Ara.
Rahid pun menganggul pelan. “Jangan khawatir... kita akan pergi ke sebuah tempat yang menyenangkan.”
Rupanya Rahid membawa Ara ke sebuah villa milik keluarganya. Lokasi villa itu terletak di pinggiran kota. Ara hanya bisa menatap takjub saat pintu gerbang itu terbuka lebar. Ada banyak penjaga keamanan yang bertugas di sana. Mobil pun terus melaju memasuki area vila. Jalanannya berkelok juga sedikit menanjak. Sepanjang perjalanan terlihat pohon cemara yang terlihat cantik karena pantulan lampu taman yang ada di bawahnya.
Mobil pun berhenti di depan teras villa itu. Rahid pun menatap Ara, lalu mengedipkan sebelah matanya. “Mari kita melakukan apa yang sudah tertunda.”
Deg Ara tersenyum malu. Dia pun bergegas menyusul Rahid yang sudah turun dari mobil. Keduanya langsung beranjak masuk ke dalam villa. Ara pun langsung merasa nyaman begitu menginjakkan kaki di dalamnya. Lantai kayunya terasa hangat. Di ujung sana ada sebuah perapian yang sedang menyala. Villa itu terkesan klasik. Dindingnya berbentuk motig batu bata dengan lantai yang terbuat dari kayu jati yang kuat.
“Ini benar-benar bagus sekali,” ucap Ara sambl berputar menatap keadaan di sekitarnya.
“Kamu suka kan?” tanya Rahid yang langsung melingkarkan tangannya dari belakang Ara.
Ara pun tersenyum malu, lalu menengok ke belakang. Seketika itu juga Rahid menyeringai, lalu mengecup bibir Ara dengan lembut. Mereka berdua tersenyum lagi, kemudian bibir Ara dan Rahid kembali bertaut lebih erat. Jemari Rahid puin mulai bergerak nakal mengelus perut Ara, kemudian naik ke d**a. Rahid bermain-main sebentar di sana, hingga kemudian jemari itu kembali turun hingga mencapai bagian paling sensisitif Ara.
“AA...!!” Ara terkejut saat Jemari Rahid menyentuh bagian sensitifnya.
“Aku sudah tidak tahan lagi,” bisik Rahid dengan suara mesra.
Ara menggigit bibirnya pelan. Sementara jemari Rahid masih bermain. Hingga kemudian Rahid pun menggendong Ara dan membawanya masuk ke dalam kamar.
“AAA...!” Ara kembali memekik saat Rahid melemparkannya ke atas ranjang.
Rahid tersenyum, lalu merangkak mendekati Ara. Tatapan mata lelaki itu kini terlihat liar. Dia terus meringsek maju sambil melepas ikatan dasinya. Ara pun langsung menarik dasi itu saar Rahid sudah sangat dekat dengannya.
Cup. Bibir mereka kembali bertemu. Rahid berubah buas. Seeprtinya dia ingin melampiaskan semua yang sempat tertunda. Dia mulai melepas kancing kemejanya satu persatu dengan tatapan yang tidak lepas pada Di bawah sana Ara pun menanti dengan sedikit gugup.
“A-aku sedikit takut,” bisik Ara.
Rahid tersenyum, lalu kembali mengecup kening Ara pelan. “Aku akan melakukannya pelan-pelan.
Sedetik kemudian Rahid kembali melakukan aksi liar yang membuat mata Ara terpejam dan terbuka pelan. Satu persatu kain yang menutupi tubuh kedua pasangan itu pun mulai terlepas. Hingga kemudian Rahid bersip mengeluarkan senjata pamungkas, tapi bersamaan dengan itu...
Handphone-nya berdering keras.
“Sebentar, ya!” ucap Rahid.
Ara menghela napas dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Ditatapnya Rahid yang masih sibuk berbicara di telepon. Dia terlihat sangat serius sekali. Tidak lama setelah itu Rahid malah memasang kembali pakaiannya masih sambil terus berbicara. Ara pun menatap bingung dan duduk dari tidurnya. Ara ingin bersuara, tapi Rahid langsung mengangkat telapak tangannya, kemudian menempelkan jari telunjuk ke mulut untuk mengisyaratkan agar Ara tidak bersuara.
“Kamu mau ke mana?” tanya Ara begitu Rahid selesai menelepon.
“Maafkan aku, Ra... mendadak ada inverstor luar negeri yang ingin bertemu malam ini juga,” jawab Rahid sambil memasang kancing kemejanya kembali.
Ara meneguk ludah. Raut kecewa, kesal dan marah terlihat jelas di wajahnya.
“Tapi ini kan sudah malam?” Ara mencoba mencegah Rahid untuk pergi.
“Iya... klien ini akan langsung terbang ke Australia tengah malam ini. Jadi tidak ada waktu. Aku pergi dulu ya!”
Ara segera bangun dengan selimutnya dan menghalangi jalan Rahid.
“Kemarin kamu sudah pergi ninggalin aku sendirian... dan sekarang kamu mau pergi lagi?” Ara bertanya dengan raut kesal.
Rahid mengembuskan napas gusar. “Aku harus pergi, Ra!”
Deg.
Rahid terkejut saat Ara tiba-tiba melepaskan selimut itu hingga jatuh ke lantai. Saat ini tidak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh gadis cantik itu. Ara pun mendekati Rahid yang masih menatap nanar. Sejenak Rahid menelan ludah dan terlihat bingung.
“Aku tidak mau menundanya lagi,” ucap Ara pelan.
Rahid menelan ludah. Matanya kini terpaku pada setiap lekuk tubuh Ara yang menampilkan keindahan. Helaan napas “Rahid pun terdengar sesak. Wajahnya yang outih bersih kini sudah kemerahan karena panas yang mulai menderanya.
Ara kini mengangkat tangannya dan melakukan pose yang membuat Rahid semakin b*******h. Perlahan jemari Rahid terangkat dan mengelus pundak Ara dengan lembut. Ara pun tersenyum senang, tapi kemudian Rahid memegang kedua pundaknya itu lebih kuat, lalu tersenyum pelan.
“Maafkan aku, Ra... tapi aku harus pergi sekarang juga.”
_
Bersambung...