Sejatinya pernikahan bukan hanya penyatuan dua orang yang menikah itu saja. Pernikahan juga penyatuan dua keluaga besar, dua kehidupan yang berbeda, dua watak yang berbeda dan juga dua dunia yang berbeda. Banyak yang berpikir bahwa pernikahan adalah suatu pengukuhan dari perjuangan cinta. Pernikahan adalah akhir perjalanan kedua pasang sejoli yang saling mengisi hati. Kenyataannya pernikahan adalah tahapan yang berbeda. Pernikahan adalah sebuah awal yang baru.
Hari yang ditunggu-tunggu itu pun akhirnya datang. Siang ini Ara sudah tiba di kediaman keluarga Triyatno. Semua penghuni rumah itu pun menyambut kedatangannya dengan hangat di depan pintu. Di belakang sana para pekerja rumah itu langsung sibuk menurunkan barang-barang Ara dari dalam mobil. Sementara saat ini ara sedang disambut oleh mama dan juga papa Rahid.
“Ara.... selamat datang di rumah ini, ya Nak,” ucap mama Rahid sambil memeluk dan mengecup pipi Ara perlahan.
“Iya, Ma... Ara seneng akhirnya hari ini pindah ke sini.”
“Semoga kamu betah di sini, ya Ara.” Papa Rahid juga menyambut ara dengan sebuah pelukan hangat dan senyuman ramah.
Selain kedua orang tua Rahid. Di sana juga ada Adji, Reza dan para istrinya, Siska dan Resty. Adji menyambut Ara sambil mengacak pelan rambut Ara karena sebelumnya Adji memang sudah mengenal Ara ketika Rahid dan Ara masih duduk di bangku SMA.
“Wah... siapa ini? Padahal rasanya baru kemarin kamu berantem mulu sama si Rahid. Kalian selalu heboh, selalu ricuh seperti anjing dan kucing. Dulu kamu selalu datang ke rumah ini untuk mengadukan perangai Rahid, tapi sekarang kamu datang sebagai istri dari Rahid? Benar-benar sebuah peristiwa yang mengejutkan,” ujar Adji.
Ara pun tersenyum malu. Adji Triyatno adalah kakak tertua Rahid yang berusia 29 tahun. Perawakannya tinggi besar dengan brewokan yang menghiasi wajahnya. Perbedaan paling mencolok antara Adji dan adik-adiknya adalah, Adji itu tidak bermata sipit seperti Rahid dan Reza yang sipit seperti ayahnya. Adji adalah sosok yang memilki selera humoris yang baik. Dia juga sudah dikaruniai satu putri cantik berusia lima tahun bernama Alea. Buah hatinya bersama Siska.
Siska istri Adji pun juga memeluk Ara dengan sangat antuasias dan erat sekali. Dia bahkan melompat-lompat senang sambil memegang kedua pundak Ara. “Finally... Ara.... aku bener-bener seneng banget tau nggak. Akhirnya kamu datang juga ke sini. Kamu janji ya kita akan menjadi partner yang baik?” Siska mengacungkan jari kelingkingnya.
Ara pun mengaitkan jari kelingkingnya ke sana, lalu tersenyum. “Iya, Kak... aku janji!”
“Halo Tante Ara...” si kecil Alea pun juga menyapa Ara dengan senyumnya yang mengeggemaskan.
Ara berjongkok, lalu mencubit pipi Alea dengan gemas. “Halo juga sayang... wah kamu cantik sekali.”
“Tante Ara juga cantik kok,” balas Alea.
“Hahahaahaha....”
Rahid, Ara, Adji, Siska, serta kedua orang tua Rahid kompak tertawa karena ucapan bocah itu. Mereka semua sepertinya sangat menyayangi Alea. Wajar saja, Alea adalah satu-satunya cucu di keluarga Triyatno. Jadi pantas saja jika bocah perempuan itu benar-benar diperlakukan layaknya seorang putri raja.
Ara pun merasa senang dan bahagia, tapi kemudian tatapannya beralih pada Reza dan Resty yang terlihat acuh di belakang sana. Sesekali bahkan Ara bisa melihat bahwa Resty diam-diam menatapnya dengan sorot mata tajam. Ara pun menelan ludah. Dia merasa tidak nyaman dengan sikap kakak kedua Rahid beserta istrinya itu, tapi kemudian Ara memilih bersikap dewasa. Dia memilih menghampiri mereka berdua dan menyapanya dengan senyuman hangat.
“Halo Resty!” sapa Ara.
Resty hanya tersenyum hambar, lalu memasang wajah datar kembali saat Ara mengecup kedua pipinya.
Setelah itu Ara pun beraloh pada Reza.
“Wah Kak Reza sekarang sudah pakai kacamata ya?” tanya Ara berbasa-basi.
Reza hanya tertawa pelan. “Ya... mau bagaimana lagi, Kakak bekerja begitu keras di kantor setiap hari. Selalu berada di depan layar untuk mengurus pekerjaan yang sulit. Akan tetapi yang mendapatkan jabatan CEO malah Kak Adji, hahahahaah.”
Deg.
Ara tersenyum canggung. Wajah para anggota keluarga yang lain pun langsung berubah tegang. Suasana yang tadinya terasa hangat langsung berubah ketika Reza berbicara seperti itu. Ara sendiri pun juga tak habis pikir. Dia merasa seharusnya Reza tidak eprlu emmbicarakan hal seperti itu padanya. Apa dia sengaja melakukan hal itu untuk menyampaikan keluhannya pada mereka semua?
Menyadari hal itu, mama Rahid pun cepat-cepat membawa Ara memasuki rumah. “Sebaiknya sekarang kita masuk ke dalam yuk! Mama akan menunjukkan kamar yang akan kamu tempati.”
“Iya, Ma,” jawab Ara.
Ara pun diantar oleh mama mertua dan Siska menuju lantai atas. Ketika menaiki tangga, Ara menyempatkan diri untuk menoleh ke belakangnya dan seketika itu juga Ara terkejut saat melihat Restu menatapnya tajam
Deg.
Ara tersentak kaget dan beralih menatap Siska yang ada di sebelahnya. Siska yang menyadari hal itu pun menoleh ke arah Resty di bawah sana, lalu menghela napas. Siska mengelus punggung Ara perlahan, lalu mengangguk pelah seolah mengatakan.
“Tenang saja...”
Ara pun akhirnya sampai di kamar yang dituju. Kamar bernuansa ungu keemasan itu membuat Ara menatap takjub.
“Kamu suka, kan?” tanya mama Rahid.
Ara mengangguk senang. “Aku suka, Ma.”
“Ya sudah... kamu lihat-lihat dulu sama Siska, ya... Mama ke dapur dulu untuk menyiapkan cemilan.”
Sepeninggal sang mama mertua, Siska pun langsung menarik Ara duduk di atas ranjang setelah sebelumnya menutup pintu kamar itu terlebih dahulu.
“Ara kamu tau nggak... sebenarnya aku tidak boleh membicarakan hal ini sama Mama, tapi....” Siska terlihat ragu untuk bercerita.
“Ada apa, Kak?” tanya Ara yang sudah merasa penasaran.
“S-sebenarnya ini adalah kamarnya Resty dan Reza,” ucap Siska kemudian.
Ara tersentak. “K-kenapa bisa?”
Siska menghela napas panjang. “Makanya... aku juga bingung... Awalnya aku ngusulin ke Mama agar kalian menempati kamar aku saja, saat itu Resty bahkan jelas-jelas mengatakan bahwa dia tidak ingin bertukar kamar. Jadi seharusnya kamu akan menempati kamar aku yang lumayan luas. Memang kamar sebagai gantinya itu cukup kecil, rasanya kurang pas untuk menyambut pengantin baru, makanya aku memberi usulan seperti itu... tapi tiba-tiba saja saat orang-orang sudah mulai memindahkan isi kamar aku, dia malah datang dan berkata kalau dia mau bertukar kamar dan beginilah akhirnya....”
Ara meneguk ludah. Dalam hati dia pun mulai bertanya-tanya. Jadi apakah itu alasan Resty bersikap sinis padanya? tapi tunggu, bukannya dia sendiri yang akhirnya menginginkan hal itu sendiri?
“T-tapi dia sendiri kan, Kak yang akhirnya mau bertukar kamar? Apa mungkin ada yang memaksanya?” tanya Ara.
Siska lekas menggeleng. “Waah... tentu saja tidak ada yang memaksa dia. Memangnya siapa yang bisa memaksa seorang seeprti Resty.”
Ara menelan ludah. Dia manangkap raut wajah Siska yang ketakutan saat menyebut nama itu.
Ara yang tadinya senang dan bahagia mendapatkan kamar itu pun sekarang merasa risih. Perasaannya mulai terasa tidak enak. Aura kamar itu bahkan mendadak terasa menyeramkan baginya. Udara di dalam sana bahkan tidak enak untuk digunakan bernapas. Yang menjadi pertanyaan bagi Ara saat ini adalah... jika dia memang keberatan dari awal, kenapa akhirnya dia malah berinisiatif sendiri untuk bertukar kamar.
Sementara itu Siska pun mulai sibuk memeriksa setiap sudut kamar itu. Dia memeriksa kolong tempat tidur, melihat ke balik selimut, bantal dan juga kasur. Tidak hanya itu, Siska juga memeriksa gorden, melihat ke balik karpet hingga seluruh tempat yang tersembunyi di kamar itu. dia juga menatap ke langit-langit kamar, lalu kemudian mengambil sebuah kursi dan memeriksa lampu gantung yang ada di atas sana.
“A-ada apa, Kak?” tanya Ara kemudian.
Siska hanya tersenyum. “Tidak ada apa-apa... aku hanya memastikan tempat ini aman.”
Deg.
Ara meneguk ludah. Kenapa kalimat itu terdengar menyeramkan di telinganya. Tatapan Ara pun beralih pada sebotol obat yang terletak di atas meja rias. Dia menjangkau botol itu, lalu mengernyit heran.
“Lho... bukannya ini obat anti depresi ya, Kak?” tanya Ara.
Siska pun cepat-cepat merebut obat itu dan menyembunyikan botol obat itu di belakang punggungnya. “S-sepertinya Resty meninggalkan obatnya. Sekarang sebaiknya kamu beristirahat dulu menjelang makan malam nanti. Aku keluar dulu ya... kamu istirahat saja.”
“T-tapi Kak....”
Siska tidak lagi menghiraukan Ara yang memanggilnya dan bergegas keluar dari kamar itu. Ara pun terduduk di pinggir ranjang dengan lemas. Ini baru hari pertama dan dia sudah dihadapkan pada teka-teki yang membingungkan. Sekilas dia kembali teringat pada tatapan Resty yang memang terlihat menakutkan. Sebenarnya ada apa dengan perempuan itu? Kenapa dia memberikan kamarnya? Kenapa Siska memeriksa kamar itu dengan hati-hati? dan kenapa Resty mengkonsumsi obar anti depresi?
Semua pertanyaan itu berputar-putar di benak Ara.
“Sebenarnya ada apa dengan Resty...?”
_
Bersambung...