Dosa Terindah – 14

1578 Kata
Malam ini keluarga besar Triyatno mengadakan makan malam bersama untuk menyambut kedatangan Ara di keluarga itu. Mereka duduk melingkari sebuah meja makan berbentuk lonjong yang sangat panjang dan lebar. Meja makan itu sekilas terlihat seperti meja bundar yang digunakan oleh orang-oramg untuk menggelar rapat. Kursi paling ujung diduduki oleh sosok papa Rahid sebagai kepala keluarga di rumah itu. Sebenarnya malam ini Ara ingin memakai pakaian yang biasa saja. Awalnya dia memakai baju casual yang dipadukan dengan celana gombrong dasar katun yang nyaman. Akan tetapi Rahid cepat-cepat menyuruhnya mengganti pakaian dengan sebuah dress yang dibawakannya. Dress itu merupakan sebuah gaun malam tanpa lengan berwarna merah muda. “Ayo duduk!” ucap Rahid seraya menarik sebuah kursi untuk Ara. Ketiga putra keluarga Triyatno beserta masing-masing istri pun juga sudah duduk di sana. Ara duduk di sebelah Rahid. Sialnya Resty duduk tepat di depan Ara. Resty hanya menatap sekilas, kemudian langsung emmbuang wajah ketika Ara duduk di sana. Tatapan Ara pun beralih pada meja makan yang penuh dengan aneka makanan mewah lengkap dengan lilin-lilin warna merah yang menghiasinya. Padahal ini adalah makan malam di rumah, tapi suasananya terasa begitu formal. Papa Rahid bahkan mengenakan setelah jas dengan motif garis horizontal lengkap dengan topi konoi berwarna coklat. Sang mama terlihat anggun dalam balutan dress lengan panjang berwarna merah. Polesan make up minimalis di wajahnya ditambah lipstik merah menyala itu membuat tampilan mama mertua Ara itu begitu glow up. Di sudut sana, Adji juga terlihat gagah dalam balutan jas berwarna hijau tosca lengkap dengan sebuah mawar merah yang diselipkan dikantong jasnya itu. Siska sang istri mengenakan gaun malam berwarna senada dengan jas sang suami. Rambut panjangnya kini dibuat sedikit bergelombang. Siska benar-benar terlihat cantik seperti ratu. Putrinya Alea pun juga sama cantiknya karena mereka mengenakan mode pakaian yang sama. Tepat di depan Ara duduk, Reza juga terlihat rapi dengan kemeja warna birunya. Satu-satunya yang terlihat berbeda hanyalah Resty. Dia hanya mengenakan setelan baju tidur dengan rambut yang diikat sekenanya. Tidak ada polesan make up ataupun bedak. Penampilannya itu pun tadi sempat membuat semua orang tercengang. Tapi kemudian semuanya seakan mengabaikan hal itu dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. “Ayo kita makan!” ucap sang papa di ujung sana. “Ayo semuanya... silakan dinikmati, terkhusus kamu ya, Ara... semoga kamu betah tinggal di sini dan merasa nyaman menjadi bagian dari keluarga Triyatno,” timpal sang mama mertua. “I-iya, Ma.” Jawab Ara malu-malu. Rahid yang duduk di sebelah Ara pun mengecup kening Ara perlahan. Ara tentu saja tersenyum malu, tapi kemudian ara terkejut saat matanya melirik ke arah Resty yang kini mengernyitkan dahinya seolah jijik melihat apa yang baru saja Rahid lakukan terhadap Ara. “Ada apa sih dengan dia?” bisik Ara dalam hatinya. “Kamu mau lauk apa?” tanya Rahid dengan lembut. Ara pun menunjuk sebagian menu yang diinginkannyam namun tiba-tiba Resty menghela napas gusar. “Harusnya kamu yang mengambilkan makanan untuk Rahid, buka sebaliknya!” sergah Resty dengan tatapan mata terfokus pada piring makananya. Deg. Hana tersentak kaget. Begitu juga dengan anggota keluarga yang lainnya. Reza pun juga tampak terkejut dengan perkataan istrinya itu dan langsung mengelus pundak Resty perlahan mengisyaratkan agar dia menghentikan ocehannya itu. Setelah itu Reza pun beralih menatap Ara sambil tersenyum dan menundukkan kepalanya pelan. “Jangan banyak bicara lagi, ayo segera makan!” sergah sang mama. Mereka semua pun mulai menyantap hidangan itu tanpa bersuara. Semua makan dengan tenang sekali. Awalnya Ara menduga mereka akan mengobrol-obrol ringan sembari menyantap makan malam, namun mereka semua makan sangat tenang. Bahkan bunyi sendok mereka semua tidak terdengar sama sekali. Ara pun mengembuskan napas perlahan. Dia tidak menyangka keluarga Rahid akan se-kaku ini. Karena tidak berhati-hati saat memotong steak, pisau di tangan Ara pun terlepas ke lantai dan menimbulkan suara bising di tengah-tengah keheningan itu. Deg. Semua mata pun langsung tertuju pada Ara, termasuk Rahid. Ara pun tersenyum malu, tapi semua orang-orang itu hanya menatap datar, lalu kembali melanjutkan kegiatan makan mereka. Ara pun meneguk ludah. Apalagi saat dia mendengar Rahid menghela napas gusar di sebelahnya. Perasaan Ara pun langsung terasa tidak enak. Makanan yang tadinya lezat seketika terasa hambar di lidahnya. Atmosfir ruang makan itu kini sepenuhnya terasa berbeda. Ara pun akhirnya makan dengan sangat berhati-hati. Dia bahkan takut jika suara  dentingan sendoknya terdengar oleh mereka semua. “Aku sudah selesai.” Resty tiba-tiba bangun dari duduknya dan pergi dari sana dengan gaya acuhnya. “Selamat malam semuanya! Aku juga punya urusan lain dan harus segera pergi.” Reza juga bangun dari duduknya. Satu persatu pun meninggalkan meja makan itu begitu saja termasuk Adji dan Siska. Sampai kemudian yang tersisa di meja itu hanya Rahid, Ara dan kedua mertuanya saja. “Ara... kalau sudah selesai makannya, kamu bisa beristirahat dulu ke kamar,” ucap mama Rahid kemudian. Ara pun menatap heran, namun akhirnya dia menurut begitu saja. Ara meninggalkan meja itu dengan langkah gamang. Ketika hendak menaiki tangga, dia melihat kedua orang tua Rahid berbicara sangat serius dengan suaminya. Sepertinya mereka membahas sesuatu yang sangat penting. Ara hanya mengangkat bahunya. Mungkin mereka sedang membicarakan tentang bisnis atau hal sejenis itu, pikir Ara. Setiba di kamar, Ara langsung mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Sebenarnya dia belum merasa kenyang, namun Ara tadi merasa malu jika harus mengambil banyak makanan. Karena keluarga besar Rahid hanya makan sedikit saja. Bahkan Resty tidak menghabiskan makanan di piringnya. Mungkin dia hanya memakan sebanyak tiga gigitan, kemudian meninggalkannya begitu saja. “Apa keluarga ningrat selalu seperti ini?” bisik Ara pelan. “Apa gunanya uang banyak jika perut kelaparan? Aku benar-benar tidak akan kuat jika makan malam bersama mereka setiap harinya. Apa aku harus mempunyai stok makanan diam-diam dan disembunyika di dalam kamar,” celoteh Ara lagi. Ara mencoba memejamkan matanya sejenak, tapi bersamaan dengan itu tiba-tiba Rahid masuk dengan gusar. Dia bahkan membanting pintu itu cukup keras dan sontak membuat Ara tergelinjang kaget. “A-ada apa? kenapa kamu ngebanting pintunya?” tanya Ara. Rahid menatap tajam. “Memangnya sebelumnya kamu nggak pernah makan steak, ya?” Ara mengernyit bingung. “Maksud kamu?” Rahid tertawa sebentar, lalu kembali menatap marah. “Apa kamu sengaja menjatuhkan pisau seperti itu untuk mempermalukan aku?” Deg. Ara menelan ludah. Dia lalu menggeleng pelan dengan tatapan nanar. “Apa sih kamu? Aktu tidak sengaja menjatuhkannya dan lagipula apa masalahnya? Itu adalah sebuah hal yang wajar kok!” “Wajar kamu bilang? Sikap kamu itu tadi menggambarkan kalau kamu tidak punya etika dan adab ketika makan malam bersama! Padahal kamu juga bukan dari keluarga sembarangan. Apa orang tua kamu tidak mengajari tentang hal itu?” tanya Rahid lagi.  Rahid masih sibuk berteriak, namunAra tidak lagi mendengar suara suaminya itu. Lantai yang dipijaknya itu terasa bergoyang pelan, lalu semakin cepat. Dia merasa bagai terlempar ke dalam sebuah dimensi yan lain. Ara berdiri nanar dengan sebuah luka yang kini mulai tumbuh di hatinya. Bagaimana bisa Rahid membentaknya seperti itu hanya karena masalah yang sangat sepele? Bagaimana bisa Ara dianggap sudah mempermalukan Rahid hanya karena menjatuhkan pisaunya? Gila. Semua ini terasa terlalu berlebihan. Pupus sudah segala harapan Ara akan sebuah kebahagiaan di hari pertamanya di rumah Rahid. Bahkan sehari pun belum belum terlewati, tapi sekarang Ara tahu jelas bahwa... Kebebasan yang didamba sepertinya tidak akan jadi miliknya. “Kamu dengerin aku nggak sih!” bentak Rahid. Ara pun tersadar dan hanya menunduk pelan. “Lain kali jangan berbuat seperti itu lagi, mengerti! Sekarang kamu harus ingat baik-baik... kamu itu adalah menantu dari keluarga Triyatno. Segala sesuatu tentang kamu akan menjadi sorotan publik. Semua tingkah laku anggota keluarga ini akan memberikan dampak kepada nama keluarga besar aku. Jadi aku harap... kamu bisa berhati-hati dari sekarang. Ara tersenyum getir, Rahid pun mendesah kesal, lalu kembali keluar dari kamar itu. Sepeninggal Rahid, Ara pun terduduk lemas di ppinggir ranjangnya. Ditatapnya kamar yang penuh kemewahan itu, semuanya terasa tidak berarti. Satu hal yang Ara sadari lagi adalah Rahid terlalu sensitif jika sudah menyangkut tentang keluarga besarnya. Tapi bukankah Ara adalah istrinya?’ Bukankah sekarang Ara juga akan menjadi sosok spesial di hatinya? apakah Rahid tidak bisa menepikan egonya dan memakai logika sedikit saja? Hanya karena perkara pisau yang jatuh ke lantai. Sungguh sebuah ironi yang menggelikan sekali. Setelah cukup lama  kemudian. Ara mendengar suara ketukan pelan. Dia pun bangun dan membuka pintu kamar itu perlahan. Ternyata itu adalah Siska yang langsung masuk ke dalam kamar itu dengan wajah rusuh. “Kamu nggak apa-apa kan, Ra?” tanya Siska. Ara menelan ludah. “Apa menjatuhkan pisau adalah sebuah kesalahan yang fatal di keluarga ini?” Siska mendesah, lalu duduk di tepi ranjang itu. “Aku pun juga tidak habis pikir dengan hal itu. Aku sudah yakin bahwa kejadian itu akan menjadi sebuah masalah. Sepertinya Resty menertawakan hal itu. Itulah yang membuat dia dan suaminya meninggalkan meja makan lebih dulu.” Ara menghela napas panjang. “Ara... yang perlu kamu ketahui adalah... keluarga ini sangat disiplin dan berhati-hati sekali dalam bersikap. Kedepannya kamu memang harus berhati-hati agar kejadian serupa tidak terulang kembali,” ucap Siska. Ara masih tidak mengerti. “Apakah ini sebuah sekolahan dengan segudang peraturannya?” Siska tersenyum pelan. “Aku bahkan tidak bisa memotong rambutku menjadi pendek lagi sejak menjadi menantu di keluarga ini.” “K-kenapa?” Siska memelankan suaranya. “Karena menurut keluarga ini... wanita yang anggun itu adalah wanita yang berambut panjang.” Ara menatap tak percaya. Apa ini jaman dinasti kuno? Kenapa semua terdengar sangat menjengkelkan? “Intinya adalah... saat kamu menjadi bagian dari keluarga ini... maka kehidupan kamu bukan lagi milik kamu sendiri.” Siska meremas tangan Ara dengan lembut. Ara menelan ludah. “Maksud Kak Siska?” “Semua ini belum apa-apa, Ra... kedepannya kamu akan mulai dibentuk dan dibimbing menjadi sosok menantu yang sesuai dengan keluarga ini dan jika kamu tidak kuat....” Siska menggantung kalimatnya. Ara menatap lekat-lekat menanti kelanjutan kalimat itu. “Kenapa Kak?” desak Ara. “Kalau kamu tidak kuat... kamu bisa berakhir seperti Resty....” lanjut Siska dengan tatapan lemahnya. _ Bersambung... HALO GUYS... SENGAJA BIKIN PESAN DI SINI AJA. INI BARU PERMULAAN YA GENGS... KIRA-KIRA APA YANG AKAN DIALAMI ARA DI RUMAH KELUARGA BESAR TRIYATNO? APAKAH YANG SUDAH TERJADI PADA RESTY...?  BAGAIMANA KABAR LELAKI MISTERIUS YANG SEMPAT DITEMUI ARA...?   TETAP DI SINI YA! SEMOGA KALIAN SUKA CERITA INI.        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN