Bab 19
Jarum jam menunjukkan tepat diangka delapan. Cherry baru saja pulang dari bar. Bahkan dia sempat tertidur di sana beberapa saat karena kepalanya yang sudah terasa berat. Gadis itu berjalan sempoyongan menabrak segala sesuatu yang ada di depannya.
*
Sementara di sebuah perumahan yang mewah nan megah. Galvin, pria itu malam ini mendapatkan liburnya. Akan tetapi ponselnya tidak pernah berhenti berdering. Membuat seisi rumah kesal mendengarnya.
"Galvin! Bisa tidak ponsel berhenti satu menit saja. Telingaku berdenging mendengar suaranya," protes sang adik.
Galvin memiliki adik perempuan yang usianya beberapa tahun jelas lebih muda dari dirinya. Dua puluh tahunan, namanya Hyde. Anak terakhir dari pasangan Eadrick dan juga Camellia. Mereka pasangan yang seolah tidak menua. Wajahnya masih sangat segar dan itu membuat Galvin jengkel, karena dengan mudahnya mengumbar kemesraan didepannya.
"Aku kepala polisi, Hyde. Wajar jika aku libur dan ponselku tetap berdering, mereka melaporkan banyak kasus dan apa? Aku harus memberikan mereka perintah," ungkapnya.
"Apa gunanya bawah pertamamu? Huh— kamu memang sangat tidak cerdas," sangkalnya. Padahal dia tahu betul bagaimana prosedur segala tindakan yang mana harus mendapatkan persetujuan dari Galvin.
"Whatever, Hyde. Pergilah! Siapa suruh kamu duduk di sana?" Jika bersama sesama saudara selalu saja begitu. tidak tua atau muda pasti akan ada pertengkaran.
Hyde mencibir, gadis itu berlalu dengan membawa semua alat belajarnya.
"Tidak bisa kah kalian akur sehari saja?!" hardik sang ibu. Ia tiba-tiba muncul dari dapur dengan membawa dua gelas minuman hangat. Cokelat panas dan juga teh chamomile kesukaan Hyde.
"Dia yang memulai. Katanya libur, tapi berisik sekali, mom. Aku butuh konsentrasi, aku bosan belajar di kamar. Mau keluar, dia melarangku, katanya berbahaya. Padahal dia baru dari luar sebelumnya."
Mengadu— ya! Memang Hyde yang selalu menjadi nomor satu saat ini. Dia anak terakhir dan wanita yang selalu menang dalam segala hal. Berbeda dengan Galvin yang memang sudah diajarkan mandiri sejak dini.
Sekalipun begitu, Eadrick dan juga Camellia tidak pernah juga memanjakan Hyde. Mereka memperlakukan sama, akan tetapi sifat wanita yang manja memang tidak bisa hilang begitu saja. Itulah kenapa, seolah Galvin tidak senang dengan adiknya.
Meski begitu, dia tetaplah adik kandungnya. Sedarah, dan seibu, mana mungkin dia membenci adiknya sendiri. Rasa sayangnya sangat besar. Akan tetapi, Galvin jauh lebih suka jika adiknya tidak suka mengadu dan lebih mandiri lagi.
"Hyde, Galvin kepala polisi dan dia baru saja bertugas malam kemarin. Wajar jika dia pulang sore. Dia harus membuat laporan untuk hari ini ketika dia libur. Kamu kira menjadi polisi mudah? Tidak semudah yang dibayangkan, Hyde. Belum lagi kalau ada kasus yang misterius. Galvin bisa saja tidak pulang dan ponselnya tidak boleh sampai kehabisan daya," tutur sang Ayah. Dia bagai ekor Camellia yang tidak pernah jauh dari wanita itu.
Di mana ada Camellia selalu ada Eadrick. Seharusnya rumah itu sangat ramai. Akan tetapi, satu persatu anggotanya telah pergi. Pertama sang kakek. Ia meninggal saat Galvin masih remaja. Mungkin usianya lima belas tahunan. Sedangkan Hyde masih berusia sepuluh tahun.
Nahasnya dia meninggal di jalanan. Galvin merasa sangat bersalah saat itu. Terlebih Eadrick. Dia murung dan tidak pernah bisa tidur selama hampir dua Minggu.
Camellia sebagai menantu pun sangat merasakan kehilangan. Mereka bangkit satu persatu, membangun lagi kebahagian di rumah itu. Galvin, membiarkan kedua orang tuanya mengumbar kemesraan karena, mereka pernah perih dan dia tidak pernah melihat senyum dari wajah mereka.
Dunianya serasa hambar saat itu. Galvin tidak suka, lebih baik melihat sang ayah dan ibu bahagia versi mereka sendiri.
Satu tahun setelah kepergian sang kakek, neneknya pun menyusul. Papu— mereka biasa memangil kakek dengan sebutan Papu.
Banyak sekali kenangan indah di rumah itu. Kini, semua usaha yang dijalankan oleh Papu. Berpindah tangan pada Eadrick. Mungkin di sisi lain, Galvin harus bersyukur dengan wajah awet muda yang didapatkan oleh sang Ayah.
Sehingga dia tidak perlu berkutat dengan berkas yang sama sekali tidak dia ketahui. Galvin tidak suka menjadi pengusaha. Dia yang memutuskan sendiri jalannya. Galvin memilih menjadi petugas kota. Bukan tentang uang yang di dapatkan, akan tetapi pengabdian pada negaranya di mana dia tinggal.
"Ck— Daddy selalu membela dia."
"Bukan membela Hyde. Tapi, memang kenyataannya begitu. Coba kalau kakakmu jadi CEO, dia bisa menikmati liburannya. Sayangnya dia menolak."
Eadrick mengedipkan sebelah matanya pada sang anak. Seolah memberi tahu kalau itu adalah pilihan yang salah.
Hyde menatapnya tanpa ekspresi. Dia menyahut gelas yang sudah tersaji diatas meja dan menyesap teh miliknya.
Camellia hanya bisa bergeleng melihat semua sikap anggota keluarganya, ada saja yang diributkan setiap hari. Namun, suasana di rumah itu selalu hangat, nyaman dan penuh dengan kasih sayang.
Sejak dulu Papu selalu memberikan contoh dan juga perilaku yang baik pada mereka. Tidak sedikitpun dia pernah marah. Itulah kenapa saat ini tidak pernah ada yang bisa membentak. Kecuali Galvin, pria itu bisa menjadi selembut sutra dan semanis gula. Akan tetapi ketika dia marah bisa lebih garang dari pada singa.
Terlebih jika dirinya harus mengintrogasi seseorang untuk mengatakan kejadian dengan jujur. Namun, pelaku justru berbelit-belit. Rasanya dia ingin menarik pelatuknya dan mengeluarkan isi kepala pelaku
"Terserah kalian saja. Tapi, Galvin. Kenapa bisa bertugas dipinggiran kota. Apakah tidak bisa kamu pindah di tempat yang dekat dengan rumah kita?"
"Sudah di bagi tugasnya, Hyde. Memangnya kenapa?"
"Tidak ada. Aku heran saja, di sana itu untuk orang-orang yang tidak terlalu kaya. Kenapa harus ada polisi?"
"Kamu kira hanya orang kaya yang butuh polisi? Semakin hari kamu semakin aneh! Awas saja jika aku tahu kamu bergaul dengan teman-teman tidak wajarmu. Aku pastikan kamu akan mendapatkan kelas di rumah," ancam Galvin.
Huh— mulai bukan? Menyebalkan, batin Hyde. Jangan sampai dia mendekam di rumah. Gadis itu hanya ingin kebebasan. Usianya sudah dua puluh tahun. Tentu saja dikurung bukanlah jiwa mudanya.
"Oke-oke, sorry. But, kasus apa saja yang kamu tangani di sana?"
"Tidak terhitung Hyde. Banyak sekali kasusnya. Kenapa kamu cerewet?"
"Aku tanya, lagian ini tugas," sangkalnya. Padahal dia hanya sekedar tanya saja.
"Kamu bisa cari dari internet bukan?"
"Kalau ada Nara sumber yang nyata kenapa harus di internet, dasar aneh!" Kembali Hyde harus menyolot. Gadis itu suka sekali menggoda sang kakak. Sedangkan Galvin sama sekali bukan pria yang bisa diajak bercanda. Mungkin hidupnya garing jika tidak ada Hyde dan juga kedua orang tuanya.
"Mulai lagi? Astaga, lanjutkan sesuka kalian. Mom ke dapur saja. Pusing lihat kalian terus beradu mulut."
Camellia memilih kembali ke dapur. Dia harus memasak untuk makan malam hari ini. Asparagus, makanan kesukaan sang suami dan juga Hyde. Padahal baunya yang menyengat bak petai selalu dijauhi oleh wanita. Namun, di sini yang tidak menyukai makanan itu adalah Camelia dan juga Galvin.