Galvin

1692 Kata
Bab 18 Cherry kembali menarik selimutnya. Tidak mau mendengar apapun yang dikatakan oleh sang paman. Hanya Paul lah yang dia miliki saat ini. Namun, dia bukanlah gadis yang penurut hingga membuat Paul terkadang geram dengan sikap dan tingkah lakunya. "Aku sudah membuat wafel kesukaanmu. Aku letakkan di meja, Cherry. Jangan lupa di makan. Ada s**u rendah kalori juga untukmu. Aku mau keluar," titah Paul. Hanya dengusan dari Cherry yang terdengar oleh telinga Paul. Laki-laki itu memilih meninggalkan kamar sang gadis. Sekalipun begitu, Cherry juga tidak bisa kembali terpejam. Ia menyibak selimutnya dan menatap keluar jendela. Hari ini, rintik salju turun. Pertengahan bulan Desember, salju putih menyelimuti jalanan. Tidak terlalu tebal, tetapi bisa dipastikan semua yang keluar dari rumah akan beku jika tanpa jaket. Cherry bangkit dan membuka jendelanya, menaikkan kacanya dan melongok keluar. Paul berjalan kearah barat. Entah kemana pria tua itu akan pergi. Mungkin mencari kehangatan, Cherry tidak peduli. Bocah baik hati yang selalu bersimpati mungkin sudah tidak ada lagi. Kini tumbuh menjadi wanita bar-bar, tomboy dan selalu berbuat semaunya. Siang hari dirinya bisa menginap di bar sampai sore hari jika dia tidak dapat tidur. Hidupnya sangat bertolak belakang dengan kehidupan masa kecilnya. Dia sendiri terkadang tidak percaya kalau pada akhirnya harus menjadi pencuri. Dia sendiri pada akhirnya juga tidak menyangka kalau tangan mungil yang dulu sering mengantarkan s**u kini tega melukai orang lain dengan sengaja. Semua dia lakukan demi uang dan kesenangan alur hidupnya. Agar dia tidak lagi susah. Agar dia tidak lagi sedih dan bingung mau makan apa hari ini. "Mungkin Paul benar, aku harus cari pria. Tapi— pria seperti apa yang bisa buat aku bahagia? Laki-laki yang bisa mengerti aku, laki-laki yang kaya raya, dan mungkin laki-laki itu tidak ada di dunia ini. Semua pria sama saja bukan? b******n seperti Paul. Hanya Ayah yang setia," gerutunya, sembari mengikat rambutnya ala kadar. Berdiam ditempat dengan embusan angin yang membawa hawa dingin. Seluruh bulu tipis ditangannya berdiri. Cherry bukan gadis yang sama seperti layaknya wanita lain, tanpa bulu sehingga kulitnya halus. Tidak! Dia memiliki bulu tipis dan itu justru membuat dia mendapatkan nilai tambahan di mata pria. Namun, sayangnya laki-laki tidak pernah melihat permukaan kulit tangannya, gadis itu selalu berpakaian panjang juga celana panjangnya. Hoodie over size selalu menjadi andalan ketika dirinya tidak bertugas. Namun jika dia beraksi pakaian ketat lah yang menemaninya. Ia bersiap untuk menjelajah kota hari ini. Tanpa tujuan dan tanpa arah. Mencari mangsa dan juga mungkin mencari pria. Gadis itu menyusuri trotoar. Tidak banyak kendaraan yang lewat. Kebanyakan dari mereka jika musim dingin seperti ini hidup bagai beruang atau tupai yang berhibernasi. Tidak jarang stok makanan di supermarket selalu banyak yang kosong karena mereka mengangkutnya dan membuat persediaan selama musim dingin. Kebanyakan dari mereka yang keluar adalah pekerja, bahkan jika badai terlalu besar sekolah pun berpotensi diliburkan dan melakukan pembelajaran daring. Sehingga kegiatan belajar mengajar tetap bisa berlangsung dengan tertib. "Hei! Minggir! Menepilah!" Suara teriakan itu muncul dari belakang tubuh Cherry. Seorang pria menarik lengan gadis tersebut dan bersamaan dengan itu sebuah gumpalan salju yang beku diatas pohon itu terjatuh. Hampir menimpa tubuh ramping Cherry. Wanita itu berada dalam dekapan seorang laki-laki berseragam, tidak pasti apa, karena jaket tebal membungkus seragamnya. Hanya sepatu boots dan topi yang juga berbulu bukan seperti seharusnya. Lalu bagaimana Cherry tahu jika itu seragam petugas kota? Celananya menandakan dengan jelas. Gadis itu menatap wajah pria yang tingginya menjulang, mendongakkan wajahnya dan bisa melihat lubang hidung pria tersebut. Mungkin sekitar seratus delapan puluh lima sentimeter. Tinggi bukan? Sedangkan Cherry hanya seratus enam puluh lima. Kakinya yang panjang selalu membuat wanita lain iri padanya. Setidaknya untuk wanita tinggi itu sudah cukup menarik. "Kamu tidak apa-apa? Perhatikan langkahmu," ujar pria itu dengan melepaskan cengkeraman tangannya pada lengan Cherry. Wanita itu tersadar dari kekaguman yang dimiliki oleh dewa penolongnya. Ia tidak berhenti menatapnya mungkin liurnya sudah menetes. "Sebaiknya tidak keluar rumah ditengah cuaca seperti ini," imbuh laki-laki itu. Dia tersenyum dan menepuk bahu Cherry pelan, kemudian berlalu. Tanpa ada perkenalan. Padahal Cherry ingin tahu siapa pria itu. Dari kejauhan nampak lelaki itu mengambil walkie talkie yang tersemat dalam pinggangnya. Memberikan kabar pada seseorang untuk menyingkirkan bongkahan yang menutup bahu jalan tersebut. Juga meminta agar memperketat keamanan. Pria itu tidak ingin sampai ada korban seperti yang akan terjadi pada warga sekitar distrik itu. "Siapa dia? Damn! Cool sekali," gumamnya. "Kepala polisi yang menangani seluruh ujung barat dan ujung timur dari distrik ini sampai tiga hampir sepuluh distrik yang ada di sepanjang jalan ini," sergah Paul. "Paul?! Kau mengejutkanku." Cherry berbalik dan melayangkan tinju pada bahu Paul. Kemudian ia kembali memasukkan tangannya pada jaket tebal yang dia kenakan. Sungguh, tubuhnya seolah membeku saat ini. Entah bagaimana jadiy jika, Cherry benar-benar tertimpa salju yang besar itu. "Jangan berani-berani dekat dengan dia jika kamu tidak mau berhenti dari profesimu, Cherry." "Shut up! Kamu terlalu mengaturku. Lebih payah dari Ayah. Aku tahu mana yang baik untukku, Paul. Pergilah!" Ia mengusir Paul, tetapi justru dia lah yang pergi meninggalkan Paul. Kembali menyusuri jalanan dan menuju ke tempat ternyaman yang selalu dia datangi. Kemana lagi jika bukan bar. Hampir semua orang mengenal gadis itu. Tidak jarang dia bersenang-senang menghabiskan banyak sloki secara gratis karena orang-orang yang berbaik hati padanya. Namun, sepertinya tidak bisa dikatakan baik hati, karena justru memberikan banyak alkohol pada Cherry. Bukankah teman tidak ingin menjerumuskan temannya ke jalan yang salah. Lagi-lagi Paul hanya bisa menghela napasnya. Sepertinya dia benar-benar harus bersabar lebih lagi dalam menangani Cherry. Tiba di bar Cherry selalu mencari tempat yang dirasa nyaman. Gadis itu menatap sekeliling dengan tangan yang tidak keluar dari saku jaketnya. Sekalipun sudah berada di dalam ruangan, udara diluar masih seperti menusuk tulangnya. "Di sini juga?" celetuk seorang laki-laki yang suaranya pernah dia dengar sebelumnya. Cherry kembali mencari sumber suara itu. Seketika dia tersenyum ketika melihat siapa yang baru saja menyapa untuk pertama kalinya. Tidak! Mungkin dua kali. "Ka— kamu? Kenapa ada di sini?" timpal Cherry. Pria itu bergeleng dan menatap sekeliling. "Mungkin tujuannya sama sepertimu," jelasnya. "Sudah pesan minum?" Lagi-lagi pria itu menggelengkan kepalanya. Cherry melangkah menjauh darinya dan duduk di depan meja bar. Pria itu mengikutinya kemudian Cherry memesan. Satu botol minuman yang bisa menghangatkan tubuh mereka. Tequila, minuman yang cukup memabukkan, tetapi bisa membangkitkan semangat sang penikmat. "Aku kira Sherif tidak akan mau datang ke tempat seperti ini," sergah Cherry. "Tempat ini tidak terlarang bagi mereka yang sudah cukup umur. Sydney juga tidak melarang adanya minuman keras, asalkan tidak dikonsumsi saat tengah berkendara. Aku sedang libur hari ini, jalan-jalan untuk memberikan suasana baru dalam hatiku," terangnya. Cherry mengangguk, dia menuang pertama kali minumannya dan kemudian mengulurkan botolnya pada pria itu. Gilirannya untuk menuang dan mengisi gelas kosong miliknya. Namun, sepertinya laki-laki itu ragu untuk melakukannya. "Aku yang traktir. Ternyata Sherif perhitungan, juga." Cherry benar-benar menggodanya, dia selalu menyangkut pautkan pekerjaan pria itu dan membuatnya tersenyum dengan tipis. "Stop memanggilku dengan Sherif. Dari mana kamu tahu aku Sherif?" "Kamu pakai seragam lengkap," papar Cherry. Dia meletakkan botolnya diatas meja dan mulai meneguk satu gelas pertamanya. Tidak sedikitpun wajahnya mengerut, karena gadis itu sudah terbiasa dengan minuman beralkohol dalam kadar persen berapapun. "Matamu teliti juga. Namaku Galvin. Aku bertugas semalam sampai pagi tadi dan tidak dapat tidur sampai siang ini. Mau pulang tetapi sangat malas. Jauh dari tempat ini," katanya. "Di mana kamu tinggal?" "Tamarama." Cherry mengangguk. Dia menatap lagi wajah lawan bicaranya. Sungguh, ada hal lain yang dia rasakan dalam dirinya. Entah, apa itu yang jelas Cherry berdebar-debar saat melihat matanya. "Siapa namamu? Kamu sering datang ke sini?" Cherry mengangguk, dia kembali menuang tequila, mengisi gelas yang telah kosong, sebelum dirinya menjawab pertanyaan Galvin. "Cher— Cherish. Namaku, Cherish." Cherry mengenalkan dirinya sebagai Cherish. Gabungan namanya dengan nama sang Ayah. Rindu dalam diamnya berhasil melahirkan nama samaran itu. Dia harus melakukannya, Cherry yakin, nama masa kecilnya sudah tidak lagi imut dan memiliki nilai baik di mata orang. Meskipun tindakannya tidak sedikitpun diendus oleh pihak kepolisian. Namun, Cherry yakin banyak korbannya yang telah melaporkan tindakannya. Terlebih para pengusaha, tetapi dia tidak akan takut. Karena Cherry memiliki keamanan tersendiri dari orang-orang yang menyewa jasanya. Namun, tetap saja, Cherry tidak ingin hal itu diketahui sedikitpun oleh petugas. Menjaganya lebih baik bukan dari pada harus mengenalkan diri secara jujur, tetapi akan membahayakan dirinya seperti yang dikatakan oleh Paul sebelumnya. Galvin menuang dan mengikuti cara minum Cherry, dia tersenyum simpul saat menikmati cairan hangat itu melewati tenggorokannya. "Tidak buruk. Aku jarang sekali menikmati waktu sendirian." "Artinya kamu harus mengucapkan terima kasih padaku. Karenaku, kamu tidak sendirian, dan mendapatkan alkohol terbaik dari Amerika." "Hem— aku harus membayarnya?" Cherry mengangguk. "Berikan nomor teleponmu agar aku bisa melakukan hal yang sama seperti saat ini." Cara yang jitu untuk meminta nomor ponsel orang asing. Tidak perlu takut penjahat karena dia polisi bukan? Cherry lah yang jadi penjahatnya di sini. Galvin lagi-lagi mengulas senyum. "Cerdas juga kamu." Galvin mengulurkan tangannya meminta ponsel Cherry. Gadis itu mencari keberadaan ponselnya. Kemudian dia meletakkannya di atas meja secara terbalik. "Scan di sini." Galvin pun melakukan hal yang sama merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya. Dia mendekatkan bagian belakang ponselnya tepat pada bagian belakang ponsel Cherry dan muncul semua akun sosial media gadis itu. Jangan mengira kalau pencuri itu introvert ataupun tidak memiliki akun sosial media. Cherry tetap harus hidup secara normal sekalipun tindakannya tidak normal. Dia harus memiliki kedok. Seharusnya dia melakukan pekerjaan siang hari seperti Paul dulu. Akan tetapi Cherry benar-benar keras kepala. "Woah, anak muda sekarang akun medianya banyak sekali," tuturnya. "Memangnya kamu tidak muda? Kamu saja yang tidak up to date," jawab Cherry. "Cherry? Atau Cherish?" Sialnya Cherry lupa akan hal itu. Harusnya dia tidak melakukan scaner pada ponsel. Cherry memakai kebodohannya untuk pertama kali. Shit! Cherry, your stupid! Akh! Jawab apa aku? Batinnya. "Cherry nama masa kecilku. Aku ingin melupakan masa lalu. Setiap orang punya masa lalu yang buruk bukan?" Galvin mengangguk. "Sure. Semua orang memiliki masa lalu yang tidak selamanya indah dan berjalan sesuai ekspektasi." "Cherish, aku harus pergi. Sudah hampir sore. Hati-hati di jalan. Aku akan meneleponmu malam nanti," pamit Galvin. Cherry hanya mengacungkan jempolnya. Dia ingat selalu melakukan hal itu dulu. Menyatukan dua jari dan membentuk huruf o'. Kemudian ia menghela napasnya. Lagi-lagi dia harus sendirian dan hampir saja dia kikuk dihadapan orang lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN