Tujuh

1626 Kata
Setelah puas bermain di Mall, Pelangi yang kedapatan membawa mobil pun mengantar temannya satu persatu sampai rumah, hari sudah semakin malam saat dia melajukan mobil menuju kediamannya bersama Dea. Wanita tomboy itu harus mengambil motor yang ditinggal dirumah Pelangi, karenanya dia ikut di mobil Pelangi. Sampai di halaman rumah, Dea tak masuk ke dalam, tak mau mengganggu orang tua Pelangi yang mungkin sudah tidur. Jadi dia memutuskan menunggu saja di luar, sementara Pelangi mengambil kunci motor dan juga helm kesayangan Dea. “Yakin nggak mau nginap aja? Sudah hampir jam dua belas lho ini?” ucap Pelangi sambil melirik arloji yang melingkari tangannya. “Nggak deh, lagi pengen bangun siang dirumah sendiri,” kekeh Dea, mengambil kunci yang disodorkan Pelangi dan mulai menstarter motornya, namun seperti biasa, motornya tak jua mau menyala hingga dia harus menselanya. Barulah setelah beberapa kali sela, motor itu mau menyala. Dea pun memakai helm dan melambaikan tangan pada Pelangi, lantas melajukan motornya. Pelangi menutup gerbang rumahnya sendiri lalu masuk ke dalam. Berpapasan dengan Angkasa yang menuruni tangga sambil menggaruk perutnya, membuat Pelangi bergidik jijik. “Motor siapa barusan?” tanyanya sambil menguap. “Dea, tadi kakak ambil kunci motornya di kamar kamu, habis kamunya sudah tidur jadi dia cuma titip salam ucapan terima kasih aja,” ujar Pelangi sambil menaiki anak tangga. “Kak Dea bawa motor itu? Haduh padahal aku mau bilang sesuatu,” ucap Angkasa sambil menepuk keningnya, seolah meraih kesadarannya. “Bilang apa?” “Motornya asli udah parah banget, harus di service itu, semoga aja dia nggak kenapa-kenapa deh, mana sudah malam. Lagian kenapa nggak disuruh nginep aja sih?” rutuk Angkasa, persis seperti sang ibu yang jika sudah menyerocos tak ada jeda. “Udah disuruh, tapi nggak mau, nanti kakak ingetin untuk service deh, udah kamu tidur lagi sana,” ucap Pelangi, menuju kamarnya, sepertinya dia sangat ingin rebahan malam ini, namun sebelum lakukan itu sebaiknya dia membersihkan wajah dari debu yang menempel terlebih dahulu sebelum tidur atau bisa dipastikan jerawat akan muncul keesokan harinya. *** Dea melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, malam hari seperti ini jalanan sangat sepi, waktunya ngebut di jalan. Bagi dia yang memang menyukai berkendara dengan sepeda motor. Saat asik menambah kecepatan, Dea merasakan motornya yang menjadi berat, terlebih di sekitar dia banyak pohon besar. “Jin, setan atau apapun itu! Nggak usah ikut-ikut ya!” cibir Dea sambil terus memutar gas di tangan kanannya, namun bukannya semakin kencang, motornya justru semakin melambat, dari knalpotnya terdengar seperti suara batuk – batuk, Dea pun meringis dan tepat di bawah pohon besar, motornya mati. Mogok! “Yah baru setengah perjalanan juga! Ah nyebelin!” Dea turun dari motor dan menendang ban motornya. Kemana dia harus mencari pertolongan? Bahkan sejak tadi, tak ada satupun kendaraan lain yang melintas. Dea mencoba mensela motornya lagi namun tetap tak mau menyala juga. Hingga akhirnya dia kelelahan dan memilih duduk di trotoar. Mencari kontak di ponselnya yang sekiranya bisa dimintai tolong, namun dia selalu menggeleng ketika menemukan nama yang tak mungkin bisa membantunya, seperti Shakila, Pelangi apalagi Allura. Ingin meminta tolong pada Angkasa, namun dia tak tega merepotkan adik dari sahabatnya terus. Menghubungi Justin sang kakak, tak mungkin. Karena pria gila kerja itu pasti masih ada di luar kota saat ini, baru juga berangkat kemarin sore. Telepon papa? Ah itu yang paling mustahil, bisa-bisa dia tak akan diizinkan bawa motor itu lagi selamanya. Dea mengetukkan ponsel ke kepala dan terlintas nama Ezra sahabatnya. Hanya dia yang mungkin bisa membantunya. Dea pun menekan nomor Ezra, dering ketiga panggilan itu langsung diangkat oleh empunya telepon dengan suara beratnya, pasti dia sudah tertidur saat di telepon tadi. “Z, tolong aku,” melas Dea. “Jangan ngeprank malam-malam deh De, capek ah ngantuk!” jawab Ezra dari seberang sana. “Beneran, motor aku mogok, mana sepi, nggak ada ojek, dibawah pohon besar pula! Ketemu setan, mampuslah aku!” cibir Dea. “Halah yang ada setannya takut kamu! Share lokasi dimana? Lagian kan udah aku bilang motor itu sudah harus service, malas banget sih bawa ke bengkel doang!” “Ngomelnya ntar aja sih, tolongin dulu.” “Iya iya, aku on the way,” ucap Ezra, “Eh De-De!” teriak Ezra. “Kenapa?” “Di dekat sana ada minimarket atau toko nggak?” tanya Ezra lagi, Dea memperhatikan ke sekitar dan ternyata ada minimarket tak jauh dari tempatnya duduk “Iya ada, kenapa?” “Dorong motor kamu kesana aja ya, jangan di tempat gelap. Oke?” perintah Ezra yang diangguki oleh Dea meskipun dapat dipastikan Ezra tak melihat anggukan kepalanya. Dea pun memutuskan panggilan itu, lalu mendorong motor ke arah minimarket dua puluh empat jam yang tentu masih buka, meskipun tak ada pelanggan sama sekali. Dia membeli minuman dingin sambil menunggu Ezra, dan duduk di kursi yang tersedia di teras toko. Hanya membutuhkan waktu lima belas menit, pria yang memakai jaket tebal itu sampai, dibonceng oleh ojek online berjaket hijau. Setelah membayar biaya transportnya dia pun berdecak sebal melihat Dea yang memasang tampang tak bersalah sama sekali dan justru tampak menikmati minuman dinginnya. Ezra mengambil minuman dari tangan Dea dan menenggaknya, “siapin dua kek, pelit!” cebik Ezra membuat Dea terkekeh, “ngomong aja sih, repot!” rutuk Dea. “Mana kuncinya?” “Tuh gantung di motor,” tunjuk Dea, Ezra mengeluarkan peralatan untuk membetulkan motor Dea dari tas yang tercangklong di tubuhnya sementara Dea membelikan minuman untuk Ezra. Ezra langsung mencoba mencari tahu permasalahan motor Dea, dia yakin pasti busi motor itu kotor sehingga tak mengeluarkan pengapian untuk melajukan motornya. Dea ikut berjongkok di samping Ezra yang fokus membersihkan busi dengan lap kain yang dibawanya, peluh mulai menetes dari kening Ezra, terlebih membutuhkan tenaga yang ekstra untuk membongkar motor besar seperti itu. Ezra menghapus keringat dengan tangannya yang berlumur oli kotor hingga mengotori wajahnya, tak ayal hal itu membuat Dea harus menahan tawanya, daripada Ezra ngambek dan meninggalkannya sendirian disini! Ezra kembali memasang beberapa alat motor yang tadi dibukanya, lalu dia mensela motor itu berkali-kali hingga menyala. Dan Dea tersenyum senang. “Wah keren kamu Z, makasih yaa,” tutur Dea sambil mencubit pipi Ezra hingga lelaki itu menepis tangan Dea. Ezra memilih duduk di kursi sambil meminum minuman dingin yang dibeli Dea untuknya tadi, menarik napas panjang untuk mengusir lelahnya. Bayangkan lagi enak-enak tidur, dapat panggilan yang ternyata mengharuskannya mengeluarkan keringat. Di tengah malam pula. Untung teman dekat! Klo nggak pasti Ezra milih melanjutkan tidurnya saja tadi. Dea kembali masuk ke dalam minimarket dan keluar dengan membawa tissue basah. Dia memajukan tubuhnya, berniat mengelap wajah Ezra, namun Ezra mundur secara reflek karena takut dicubit lagi, sumpah cubitan Dea terasa sangat pedas! “Muka kamu penuh oli! Sini!” cebik Dea, Ezra pun menurut untuk memajukan wajahnya lagi dan membiarkan Dea membersihkan wajah itu dengan perlahan, menatap wajah Dea dari dekat seperti itu cukup membuat Ezra panas dingin, wajahnya memerah dan membuat Dea mengernyitkan kening. “Kamu sakit? Kok merah?” tanya Dea sambil meletakkan punggung tangan di kening Ezra namun tak terasa demam. Ezra menatap mata Dea lama, Dea pun melakukan hal yang sama, hingga dia merasakan sesuatu yang asing yang tak pernah dirasakan sebelumnya terhadap Ezra, kali ini wajah Dea yang memerah. Dea pun menurunkan tangannya dan meminum minumannya. “Mungkin karena udara panas kali ya, fiuh,” ucap Dea seolah bermonolog pada dirinya sendiri. Ezra pun menyetujui ucapan Dea dan ikut minum minumannya. Membuang pandangan ke arah lain demi menepis rasa asing yang membuat degup jantung mereka berpacu kian cepat. “Balik yuk, sudah malam,” ajak Ezra sambil berdiri diikuti Dea. Dia pun mengambil kemudi motor itu, sementara Dea membonceng di belakang. Dea memegang saku jaket Ezra yang melajukan motor dengan cukup cepat. Hingga saat lampu merah dan Ezra menurunkan kakinya, melihat Dea dari kaca spion yang terpergok juga memperhatikannya. Membuat Ezra mengulum senyumnya, lantas menarik tangan Dea untuk melingkari pinggangnya tepat saat lampu kuning menyala. “Pegangan ntar diculik genderuwo!” ledek Ezra membuat Dea tertawa, namun dia tak juga melepas pelukan itu, justru semakin memperketat pegangannya dan menempelkan tubuhnya. Membuat Ezra semakin gelisah, pasalnya tubuh Dea seolah tak ada jarak dengannya dan kini dagu Dea berada di bahunya. Dea seolah sangat menikmati buaian angin malam yang menerpa wajah dan rambutnya, tak mau membuang kesempatan. Ezra pun melajukan motornya dengan kecepatan sedang, berharap waktu berjalan pelan atau berhenti sekalian. Karena dia merasakan sangat nyaman dipeluk dari belakang oleh sahabatnya ini. Hal yang mungkin seharusnya tak mereka lakukan. *** “De, sampe De,” panggil Ezra sambil mengedikkan dagunya, mencoba membangunkan Dea yang tampaknya tertidur pulas di boncengan motor. Dea mengerjapkan matanya, memendarkan pandangan dan menyadari bahwa kini mereka berada tepat di depan rumahnya. Rumah mewah berdesign sangat indah, rumah yang dibangun oleh sang kakek, sampai menjadi saksi kelahiran dirinya dua puluh lima tahun lalu. “Lho kok disini, bukan depan rumah kamu, nanti kamu pulangnya bagaimana?” tanya Dea sambil turun dari motor, mencoba mengerjapkan matanya berkali-berkali demi mengusir kantuk. “Jalan kaki paling hanya lima belas menit, lagian kamu ngantuk banget. Makanya kalau nggak kuat bergadang jangan pulang kemaleman,” rutuk Ezra sambil mengetuk kening Dea pelan. “Tadi tuh dapat film yang mulai jam sembilan malam, sayang kalau dilewatin,” ucap Dea sambil menguap. “Ya udah masuk sana, langsung tidur.” “Eh tunggu, biar diantar satpam aku aja,” ucap Dea. “Nggak usah De, nggak apa-apa jalan sebentar doang,” tolak Ezra namun bukan Dea jika bisa dibantah karena dia mengabaikan ucapan Ezra dan sudah berteriak memanggil salah satu penjaga keamanan rumahnya. “Pak No!” panggil Dea, salah seorang security bertubuh tambun dengan tinggi tak lebih dari seratus enam puluh centi meter, wajah pas-pasan namun di klaim wajah security terganteng se komplek itu berjalan cepat setengah berlari menghampiri tuan rumahnya. “Ya non?” ucapnya. “Antar Ezra ya, ada motor kan?” pinta Dea. “Siap Non, ayuk mas Ezra saya antar,” ucap security bernama No itu sambil mempersilakan Ezra. “Jadi ngerepotin deh,” tukas Ezra tak enak hati. “Aku lagi yang ngerepotin kamu, makasih banyak ya Z, kapan-kapan aku traktir makan, tempatnya kamu yang tentuin deh dimana? Oke?” ucap Dea. Ezra pun mengacungkan jempolnya, membiarkan Dea melambaikan tangan ke arahnya. Sementara petugas keamanan bernama No itu mengeluarkan motor, Ezra memandang rumah mewah milik Dea. Memudarkan senyum yang sedari tadi terkembang, seolah menyadarkannya bahwa dia tak pantas mencintai sang pemilik rumah dihadapannya ini. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN