Enam

1753 Kata
Allura membiarkan Syilla tidur di sofa panjang nan lembut di ruang istirahat lantai tempat kerjanya. Setiap lantai biasanya ada ruang istirahat sendiri, namun lantai tempat tim General Affair itu adalah yang paling luas dan tampak paling nyaman. Maklum tugas general affair yang mengurus aset barang-barang perusahaan itu membuat mereka tahu apa saja benda yang bisa dimanfaatkan oleh mereka, perizinan dan sebagainya, tak bermaksud pilih kasih namun itulah adanya. Terlebih atasan Allura sangat loyal, banyak barang yang sebenarnya dibeli dari kantongnya, meskipun sifatnya jutek dan selalu memerintah karena menurutnya Allura tak punya inisiatif sama sekali. Melihat Syilla yang tertidur dengan tenang, membuat Allura tersenyum senang, dia memang sangat menyukai anak-anak, dia pernah berniat menjadi guru TK namun dia tahu menjadi guru saat ini tak hanya butuh jiwa penyayang, namun juga harus pintar dan cermat, apalagi yang diajarkan adalah anak orang lain, yang tidak tahu bagaimana orang tua mereka mendidiknya dirumah? Allura merapikan poni Syilla yang tertidur pulas, lalu kembali menekuri buku gambarnya di meja. Ya dia memang suka mewarnai, sudah banyak buku yang diwarnainya dirumah, dia pun sengaja meletakkan alat mewarnai dan beberapa buku di kantor. Buku yang diyakini merupakan art therapy atau terapi untuk meringankan stress itu cukup membuatnya betah berlama menekurinya, terutama di saat-saat kerjaan tak banyak seperti sekarang ini. Allura duduk di karpet tebal dan terus mewarnai gambarnya, tak menyadari bahwa sudah dua jam dia disini bersama Syilla, namun Davin atau Pelangi tak juga datang menjemput sang anak. Allura tak mempedukilan itu toh dia senang menjaga Syilla. “Ra?” panggil seorang pria dengan suara setengah berbisik, Allura menoleh mendapati Davin yang sudah berdiri di dekat sofa tempat Syilla tidur. “Sudah lama dia tidur?” tanya Davin, Allura melihat jam di tangannya. “Belum, baru sekitar setengah jam sepertinya, Pak. Kalau bapak ada keperluan nggak apa-apa titip disini lagi saja,” tawar Allura namun Davin menggeleng. “Pekerjaan saya sudah selesai, saya mau ajak Syilla pulang sekarang. Terima kasih banyak ya, kamu telah membantu saya, saya berhutang budi sama kamu. Jika ada yang kamu butuhkan atau inginkan, katakan sama saya ya?” ucap Davin sambil duduk di sofa yang sama dengan Syilla dan memperhatikan wajah putri kecil yang sangat dicintainya itu. “Hmmm, sering-sering ajak Syilla main kesini ya Pak, aku seneng main sama Syilla,” kekeh Allura. Davin hanya tersenyum lebar melihat tatapan polos Allura dan matanya yang berbinar saat melihat ke arah putrinya. “Bagaimana jika kapan-kapan kita jalan sama Syilla, kamu mau kemana? Ada yang mau kamu kunjungi?” tanya Davin. Mata Allura membulat dan senyumnya kembali mengembang. “Ada,” ucapnya antusias. “Kemana?” “Kebun binatang, Ragunan! Aku udah lama banget mau kesana, tapi temen-temen nggak ada yang mau diajak kesana,” rutuk Allura sambil mengerucutkan bibirnya membuat wajah imutnya terlihat menggemaskan. “Hmm weekend ini mau? Kebetulan Syilla juga belum pernah kesana,” ucap Davin, menyodorkan ponselnya pada Allura dan meminta wanita itu menulis nomor ponselnya agar bisa saling berhubungan. Setelah Allura mencatat nomor ponselnya, Davin pun menyimpan nomor Allura dan mengantungkan ponsel genggamnya. Lalu menepuk pelan bahu Syilla karena tak ingin gadis kecilnya itu kaget saat mengangkatnya. Allura pun bangkit berdiri, membantu Davin meletakkan Syilla di gendongannya. Kepala Syilla bersantar di bahu ayahnya matanya mengerjap beberapa kali dan antara sadar atau tidak gadis kecil itu melambaikan tangan pada Allura yang dibalas oleh Allura dengan lambaian tangan serta senyumnya. Dia sangat berharap liburan ke Ragunan itu akan menyenangkan, karena dia sangat mengidamkan tempat itu. Sungguh. *** Pelangi, Dea dan Allura sedang menunggu Shakila di cafe tempat biasa mereka nongkrong di hari sabtu ini. Pelangi dan Dea memesan kopi cappucino hangat sementara Allura ice coffe latte, minuman kesukaannya. Saat tengah asik mengobrol, datanglah Shakila, mengikat rambut panjangnya dan berjalan cepat menuju meja berbentuk lingkaran yang telah dihuni oleh ketiga sahabatnya. Shakila mengambil duduk di samping Dea yang menggeser topinya dari hadapan Shakila. “Bawa mobil kan La?” tanya Dea. “Mobil? Nggak, aku dianter papa,” ujar Shakila sambil mengeluarkan ponsel dari sling bag miliknya. “Lha kan aku dah kirim pesan tadi,” rungut Dea. “Memangnya Pelangi nggak bawa mobil?” tanya Shakila, menunjuk ke arah Pelangi. “Tadi kan aku bilang lagi dirumah temen sekolah dulu, langsung kesini,” jawab Pelangi dengan tanpa wajah bersalah, karena memang dia telah menginformasikan di group chat bahwa sebelum janjian, dia akan menemui temannya dulu. “Ya terus, kamu kerumah teman sekolah kamu dulu, itu naik apa?” ucap Shakila menahan geram, memang dia yang paling cepat tersulut emosi diantara teman-temannya, mungkin karena darah Andre sang ayah, mengalir deras di dalam tubuhnya, membuatnya mempunyai sifat sama dengan lelaki dingin dan jutek macam ayahnya, meskipun begitu sang ayah sangat menyayangi keluarganya dan buah hatinya, buktinya, diusia Shakila yang sudah dua puluh lima saja, Andre masih sering mengantar Shakila kemana-mana, diluar jam sibuknya. “Diantar Angkasa, soalnya dia mau pinjam mobil aku,” jawab Pelangi pelan, seperti biasa dia paling malas berdebat terutama berdebat dengan Shakila yang pasti bisa membuat hatinya teriris dengan ucapan ajaibnya. “Mobil Angkasa?” Lihat kan? Jika dia bertanya, seperti polisi menginterogasi penjahat, harus detail dan jelas. “Lagi dibengkel modifikasi, tau sendiri kan dia suka modif mobilnya, entah mau dibuat apalagi itu mobil?” rutuk Pelangi. Shakila menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi sambil melipat tangannya, Dea yang meminum kopinya dan Allura yang tampak serius berbalas pesan di ponsel. “Nggak mungkin naik motor aku kan, berdua sih nggak apa-apa, masa naik motor ber empat?” kekeh Dea membuat Pelangi meringis, dan Shakila menggeleng sebal. “Di luar panas banget lho, yakin mau naik motor?” tanya Shakila sambil menaikkan sebelah alisnya, pandangan Pelangi dan Dea mengarah ke jendela cafe, benar. Matahari sangat terik siang ini, bisa-bisa kulit mereka terbakar. “Telepon Angkasa aja deh, suruh bawa mobil kamu, nanti dia pulang naik motor aku, mau kan dia?” tanya Dea. Pelangi tampak berpikir lalu memutuskan mengambil ponselnya, mengetik pesan untuk Angkasa yang langsung dibalas oleh sang adik dengan balasan yang membuatnya sangat jengah. “Kenapa?” tanya Shakila melihat ekspresi Pelangi. “Dia mau, tapi ada syaratnya,” tutur Pelangi. “Apa?” tanya Shakila lagi. “Kita harus download aplikasi barunya tentang dating online dan kasih review,” ucap Pelangi sambil meringis. “Wah gila sih!” ujar Dea menaikkan nada suaranya satu oktaf, membuat Allura yang tadi fokus pada ponselnya memilih memasukkan ponsel itu ke tas, karena takut Dea berteriak kepadanya. “Ya udahlah nggak apa-apa, kita download terus pakai seminggu, habis itu uninstall,” putus Shakila. “Download apa?” tanya Allura. “Download otak kamu!” cebik Dea membuat Allura cemberut ingin menangis, dan Pelangi hanya bisa mengusap rambut Allura sambil menepuk-nepuknya pelan dan berbisik sabar-sabar. Dan Allura pun memberi kode bahwa dia sudah biasa. “Ya sudah kita tunggu dia aja dulu,” ucap Pelangi. Shakila pun memutuskan membeli minuman dingin untuk mendinginkan hati dan tubuhnya yang panas, pasalnya sang ayah menghentikan mobilnya di sebrang jalan dari Cafe, dan Shakila pun tak mau ayahnya mengantar sampai depan cafe lalu mengomentari ketiga temannya. Jadi cukuplah dia berjalan kaki menuju cafe saja, tak apa panas sedikit di badan, dari pada panas di kuping. Pikirnya. Setelah Shakila membawa minuman dingin, Allura masih tampak membalas pesan lagi, lalu keningnya berkerut tampak berpikir keras. Shakila yang menyadari perubahan wajah Allura pun berniat mengambil ponsel dari tangan Allura namun rupanya reflek Allura sedang cukup bagus, karena dia segera menyembunyikan ponsel itu di bawah meja sambil tersenyum meledek. “Ada apa sih? Sampai kening kamu berkerut?” tanya Shakila sambil meminum minumannya. “Guys, menurut kalian kalau ada laki-laki ngajak jalan, tapi nggak boleh bilang sama temen-temen perempuannya. Itu kenapa ya?” tanya Allura, mencoba menetralkan ekpresi wajahnya yang pasti terlihat aneh karena memikirkan hal ini sendirian, dengan meminum es kopi nya. “Itu artinya dia nggak serius sama kamu! Bisa aja kamu dijadiin selingkuhan karena nggak mau ada orang yang tahu tentang hubungan kalian!” cebik Dea. Allura menunduk sedih. “Begitu ya?” tanya Allura lebih ke dirinya sendiri. Pelangi menepuk bahu Allura. “Memangnya siapa?” tanya Pelangi. “Pak Davin, mau ajak aku ke Ragunan besok, tapi nggak boleh kasih tau kalian.” Sontak ketiga temannya tertawa lebar. “Lha itu kamu kasih tau kita???” ledek Dea. Allura merutuki kebodohannya dengan mengetuk keningnya. “Ah iya, lupa! Gimana dong,” ringis Allura. Pelangi hanya tersenyum. “Aku rasa dia bukan mau jadiin kamu selingkuhan atau apa? Tapi dia nggak mau kamu malu karena jalan sama Duren Sawit, macam dia,” kekeh Pelangi. “Dia kan manusia, bukan Duren?” ucap Allura membuat Shakila dan Dea melongo. Sumpah ya anak ini, ingatkan nanti di mall mereka berdua harus beli vitamin minyak ikan, agar Allura sedikit lebih cerdas. “Duren sawit itu singkatan, dari Duda keren sarang duit, kalian jalan sama Syilla?” tanya Pelangi lembut, dan Allura menjawab dengan anggukan kepala. “Ya sudah nggak apa-apa, jalan aja. Kita akan pura-pura nggak tahu, oke?” ujar Pelangi yang diangguki oleh Allura, dia pun memeluk Pelangi dari samping. “Sayang Pelangi,” ujarnya manja, Pelangi pun mengusap kepala Allura dengan penuh kasih sayang terhadap sahabatnya itu. “Sayang Allura juga,” Jawab pelangi. “Jadi Pelangi doang yang disayang, kita berdua enggak nih?” cibir Dea.   “Sayang kalian juga dong,” kekeh Allura sambil memberi kecupan jarak jauh yang membuat Shakilla justru bergidik. Saat asik berbincang, datanglah pria berperawakan tinggi dengan memakai hoodie serta mengeluarkan sarung tangan dari kantung hoodienya, wajahnya kemerahan karena terbakar matahari. Duduk di antara Shakila dan Pelangi, lansung saja menarik es kopi di hadapan Allura dan menyesapnya. “Panas banget diluar,” ucap pria itu menurunkan hoodienya dan menggeleng. “Bawa mobil kok kepanasan?” cebik Dea. “Aku muter dari belakang cafe kak, nggak dapet parkiran,” rungut pria bernama Angkasa itu sambil mengerucutkan bibirnya. “Pesen minum dulu sana, itu punya Allura!” tunjuk Shakila. Sedangkan Angkasa hanya mengedipkan mata pada Allura sebagai bentuk permohonan maafnya. Aneh memang. “Nih kunci motornya, ini helmnya,” ucap Dea, memberikan kunci motor pada Angkasa, dan mengambil helm yang diletakkan di lantai tadi, helm yang dibungkus oleh tas khusus miliknya, membuat Angkasa berdecih, pasti helm mahal, pikirnya. “Ini kunci mobilnya, inget lho untuk download aplikasi dan gunakan aplikasi itu, oke!” ujar Angkasa sambil berdiri dan mengenakan sarung tangannya. “Rapet banget?” sindir Shakila. Angkasa hanya mencebikkan bibirnya, “Aku kan Vampir keturunan Edward Cullen, liat nih merah-merah kena matahari!” rutuknya sambil menunjukkan pipinya yang memerah. Memang kulit Angkasa agak sensitif dengan sinar matahari, itu sebabnya dia jarang keluar rumah saat siang, kecuali jika ada urusan mendesak. “Bye, have fun! Jangan lupa diinstall!” ancam Angkasa sambil melambai pada ke empat gadis cantik yang menjadi pusat perhatian para penghuni cafe lainnya. “Berisik banget dia!” cebik Dea yang disetujui oleh Shakila. “So, siapa yang mau bawa mobil?” tutur Pelangi. “Hom pim pa aja lah,” usul Dea, mereka bertiga, minus Allura pun melakukan hompimpa yang ternyata dimenangkan oleh Dea, dengan malas, diambilnya kunci mobil tersebut dan berjalan lebih dulu keluar cafe, diikuti ketiga temannya yang tertawa cengengesan. “Allura nggak ketinggalan sesuatu kan di cafe?” tanya Shakila saat melangkah keluar, Allura mengecek tasnya dan berlari ke dalam. “Handphone!” ujarnya, membuat Pelangi dan Shakila tertawa. Kebiasaan! ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN