Sebelas

1638 Kata
Pagi ini Shakila sudah bersiap untuk berangkat kerja, dia bahkan tak menyadari bahwa Shabila, saudara kembarnya sedang berada di rumahnya untuk menginap. Terlalu sakit kram perut yang dideritanya sehingga dia tak keluar kamar sama sekali kemarin. “Kamu tetap mau berangkat kerja?” tanya Shabila yang kini meletakkan nasi goreng di meja untuk sang ayah yang sibuk melihat tabletnya. Shakila duduk di samping sang ayah, sementara Shabila di sisi lain meja tersebut. Wajar mereka sama persis, kembar identik. Maka wajar jika banyak yang tidak bisa membedakan mereka. Hanya saja sifat mereka berdua yang sangat berbeda. Jika Shakila mewarisi sifat sang ayah yang jutek dan dingin. Shabila justru sangat ramah dan murah senyum. Shakila mengangguk dan meminum air mineral di gelas yang tersedia di meja. Icha, sang ibu memberikan seporsi nasi goreng untuk Shakila lalu duduk di samping Shabila untuk menikmati sarapannya juga. “Izin dulu nggak bisa La?” tanya sang ibu yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Shakila karena mulutnya yang telah terisi nasi goreng. “Perut kamu kan masih sakit, kalau di kantor pingsan bagaimana?” tanya sang ibu lagi dengan raut penuh kekhawatiran. “Hari ini banyak banget kerjaan, Ma. Apalagi kantor kan mengadakan job fair jadi aku harus cek semua data pelamar yang masuk.” Shakila berusaha menelan makannya dan mendorong dengan air minum. “Siapa nama bos kamu? Biar papa tegur dia, karyawan sakit masih disuruh masuk kerja!” tukas Andre dengan suara beratnya yang khas, mengunci layar tombol tabletnya dan mulai memakan sarapannya. “Kenapa papa jadi tegur bos aku? Aku cuma mau profesional aja memang banyak banget kerjaan, semakin lama aku ngerjain, semakin berat nantinya tertumpuk,” rungut Shakila namun tak mau menatap sang ayah saat berbicara, dia terlalu takut melihat mata tajam sang ayah yang meskipun sudah berumur namun sorotnya tetap tak pernah berubah. Tetap dapat menghujam siapapun yang berani menentangnya. “Memangnya kamu kerja sendirian? Kan ada tim kamu,” ucap Andre dengan nada dingin suaranya. “Pa-“ gumam Shakila, menahan rasa ingin menjerit karena ucapan sang ayah matanya kini membalas tatapan sang ayah. Sementara Shabila dan sang ibu hanya mampu menatap perdebatan itu dalam diam. Mereka saling lirik dan menggeleng, tak ada yang berani menyela pembicaraan. Hingga sang ibu memutuskan menghentikan aksi saling lempar tatapan tajam itu. Terlalu bahaya, dia khawatir tatapan tajam setajam pisau dapur itu dapat melukai satu sama lain. “Sudah-sudah makan dulu, debatnya lanjut nanti saja di mobil,” sergah ICha. “Ma!” ucap Andre dan Shakila berbarengan, sementara Shabila hanya menahan senyumnya. Icha menatap kedua orang di hadapannya dengan wajah polos tanpa dosa. “Ma, sampai kapan sih kram perut saat menstruasi ini?” tanya Shakila yang akhirnya memutuskan mengalihkan pembicaraan tentang pekerjaannya dari sang ayah. “Mama yang sudah setua ini pun masih sering mengalami kram perut, namun tak terlalu parah semenjak melahirkan kalian berdua,” jawab sang ibu berusaha mengingat kapan terakhir mengalami kram perut ketika menstruasi berlangsung. “Makanya nikah dan hamil, nanti nggak kram perut saat menstruasi lagi selama sembilan bulan,” ujar Shabila sambil tertawa dan berhigh five ria dengan sang ibu yang sudah mengedipkan matanya. Shakila hanya berdecih sebal. Lalu menyelesaikan sarapannya meskipun tak sampai habis. “Sudah selesai? Berangkat bareng papa, nanti papa anter sampai ruangan,” ucap Andre. “What? Pa! nggak deh masa diantar sampai ruangan?” protes Shakila. “Atau mau papa bikin kamu keluar dari perusahaan itu?” ancam Andre membuat Shakila hanya bisa memajukan bibirnya sebal. Lalu mengambil tas dan blazernya, memutar meja makan untuk bersalaman dengan sang ibu, tak lupa mengusap perut Shabila. Meski tanpa berbicara, namun Shabila tahu, Shakila menyayangi calon bayi yang dikandungnya. “Aku berangkat,” ucapnya pelan dan lemah. Diikuti Andre yang mulai berdiri, Icha tak pernah ketinggalan untuk mencium punggung tangan sang suami, dan Andre tak pernah lupa untuk mengecup kening sang istri. Shabila hanya melihat adegan romantis itu dengan senyum lebarnya, bahagia rasanya melihat orang tua yang sangat harmonis meskipun sudah tak muda lagi. Sepeninggal mereka berdua, Shabila dan Icha masih lanjut makan sambil berbincang. Sopir pribadi Andre membuka pintu mobil untuk Shakila yang masuk lebih dahulu, baru membukakan pintu untuk Andre yang menyusul di belakang. Sepanjang perjalanan, kedua orang ayah anak itu hanya fokus pada pekerjaan masing-masing. Shakila bahkan membuka laptopnya dan mengerjakan pekerjaan sebisanya, sambil menunggu mobil sang papa sampai kantor. Sudah biasa mereka berdua tak banyak bicara karena sifat mereka yang sama itu, membuatnya terasa sulit membaur, setiap ucapan yang keluar hanya berisi perdebatan yang tak penting, apalagi tak ada yang mau mengalah satu sama lain, membuat mereka memilih diam saja. Mobil Andre sampai di lobby, Shakila membuka sendiri pintunya, “bye pa,” pamit Shakila, namun Andre mengernyitkan kening dan ikut turun dari mobil. “Papa mau ngapain?” tanya Shakila sambil membulatkan matanya. “Papa sudah bilang mau antar kamu sampai ruangan kan?” “Pa, astaga, jangan ish, aku bukan anak kecil,” rengek Shakila, namun dia segera mengubah ekpresinya menjadi datar karena beberapa karyawan memperhatikannya. “Jalan.” Andre mengedikkan dagunya agar Shakila masuk ke kantor sementara dia mengiringinya. Bahkan Andre mengambil tas laptop yang tersampir di bahu sang anak dan mengenakan di bahunya tanpa bisa dibantah Shakila. Tak ayal kejadian itu menjadi buah bibir para karyawan yang melihatnya. Shakila hanya bisa menunduk, image yang dia bangun rasanya hampir runtuh. Bahkan sang ayah bertindak seolah dia lah pemilik perusahaan ini. Berjalan dengan mengangkat dagunya, lihatlah pakaiannya, setelan jas mahal yang mencolok. Sekalian saja dia buat pengumuman, bahwa dia juga punya perusahaan sendiri yang ternyata sang anak membangkang dan memilih bekerja di perusahaan lain dibanding membantu mengurus perusahaan sang ayah. Pintu lift terbuka, Shakila masuk dengan langkah gontai, sakit perutnya tak terasa lagi karena perasaan yang berkecamuk di hatinya yang jauh lebih mendominasi. Menekan tombol lift untuk menuju ke lantainya. Di lift pun para karyawan yang satu lift dengannya tak ada yang berbicara, seolah lift itu mendadak menjadi dingin dan beku karena kehadiran dua makhluk seperti kulkas di dalamnya. Pintu lift terbuka dan Shakila keluar dari lift, diikuti sang ayah yang benar-benar mengantar sampai ruangan kerjanya. Melewati koridor kantor menuju ruangannya yang berdinding kaca. Shakila mendorong pintu kaca dan meletakkan tas nya di meja, sementara sang ayah menyodorkan tas laptop Shakila. “Udah kan Pa? Sudah sampai,” sindir Shakila, Andre hanya memperhatikan seluruh ruang kerja Shakila dan kembali menatap sang putri. “Padahal di kantor papa, kamu bisa dapat ruangan yang ukurannya jauh lebih besar dari ini,” desisnya dengan nada suara yang terdengar sangat tak enak di telinga Shakila. Berkali-kali dia bilang tak mau kerja di tempat sang ayah dan lebih menyukai pekerjaannya disini. Hingga Ben yang baru datang, masuk ke ruang kerjanya, melewati ruangan Shakila dan terkejut mendapati pria asing dengan brewok dan rambut yang memutih berdiri di hadapan Shakila yang duduk di meja kerjanya. Melihat wajah Shakila dan sang ayah yang senada membuat Ben langsung menebak bahwa pria itu adalah ayah dari Shakila. Hingga Ben hanya bisa mengangguk dan memberikan senyumnya yang tak dibalas oleh Andre. “Pagi, pak?” sapa Ben, sambil menjulurkan tangannya yang dibalas dengan anggukan oleh Andre, Andre juga menjabat tangan itu sebagai bentuk kesopanannya. “Saya Ben, head section HRD,” kenal Ben. “Saya Andre, ayah Shakila. Oh jadi kamu bosnya?” tanya Andre membuat Shakila mengetukkan kepalanya di meja, ingin rasanya dia menghilang saja saat ini. “I-iya. Ada apa ya, Pak?” tanya Ben, tenggorokannya mendadak terasa sakit. “Putri saya yang berharga ini sedang kram perutnya, saya rasa kamu tahu itu karena kemarin kamu yang mengantar dia pulang kan? Karena itu, jika nanti dia sakit lagi, kamu langsung suruh dia pulang saja. Antar lagi jika perlu, terima kasih.” Andre mengucapkan itu persis seorang atasan kepada bawahannya, tak tahukah dia bahwa jabatan dia disini bukan siapa-siapa? Selain ayah dari karyawan bernama Shakila yang saat ini sedang berdoa meminta hilang saja, apa lagi sang ayah menyebut kata putri berharga. Sungguh memalukan. Shakila sudah berusia dua puluh lima tahun ini! “Baik, Pak. Jika Shakila sakit lagi, saya yang akan antar dia pulang,” ucap Ben, tersenyum hangat namun lagi-lagi Andre tak membalas senyum itu, hingga Ben mengangguk dan menunduk, lalu Andre menepuk bahu Ben dan melewatinya, keluar dari ruangan itu. Ben menarik napas panjang, seolah dia lupa caranya bernapas tadi. Sungguh tatapan ayah Shakila terasa sangat mengintimidasinya. Atasan dia saja tak pernah melakukan itu terhadapnya. Dan diakui Ben, ayah Shakila sangat berkharisma dan keren. “Maafin papa ya, Pak Ben,” tukas Shakila. “Tidak apa-apa, saya justru senang melihatnya, tak banyak ayah yang menunjukkan kasih sayang seperti itu pada putrinya, tanda bahwa dia sangat menyayangi kamu. Kalau sakit lagi bilang saya ya, atau butuh pembalut lagi bilang saja, nanti saya belikan lagi.” Ben tersenyum pada Shakila yang hanya bisa melongo. Double kill, hari ini SHakila benar-benar ingin menghilang rasanya. Bagaimana Ben bisa sangat mudah mengucapkan hal memalukan itu. Mungkin benar ucapan ibunya tadi, harusnya dia izin kerja saja dan melakukan pekerjaan dari rumah tadinya. Sementara itu saat Andre menunggu lift, tampak Allura, Dea dan Pelangi keluar dari lift. “Om Andre?” sapa Allura dengan senyum lebarnya, rupanya ketiga anak itu ingin mengunjungi Shakila, mereka mendengar Shakila yang hanya masuk setengah hari kemarin, membuatnya ingin melihat keadaan Shakila yang sudah masuk kantor pagi ini. “Allura,” sapa Andre. Allura mencium punggung tangan Andre diikuti kedua temannya yang hanya mampu tersenyum di belakang Allura. “Om ada apa kesini?” tanya Allura penuh rasa ingin tahu, bahunya hanya disenggol oleh Dea, untuk tak meneruskan ke-kepoannya namun dia tak peka. “Antar Shakila,” jawab Andre singkat. “Lho Shakila kan sudah Be-humph.” Mulut Allura disumpal oleh tangan Dea yang langsung menariknya menjauh, Dea masih menyempatkan tersenyum dan berpamitan dengan Andre dengan anggukan kepalanya.  Sementara Pelangi masih berada disitu tersenyum tak enak pada Andre atas perlakuan dua temannya tadi. “Saya lihat Shakila dulu ya, Om. Hati-hati di jalan,” ucap Pelangi yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Andre dan senyum kecilnya. Sumpah bibirnya bahkan tak terlihat tertarik saat tersenyum itu. Membuat Pelangi bergidik takut. Benar-benar ayah Shakila adalah yang terlihat paling menakutkan diantara ayah ketiga temannya. Meskipun begitu dia tahu Andre adalah laki-laki yang sangat baik dan sayang dengan Shakila, hanya mungkin memang sifatnya saja yang seperti itu yang tak bisa diubah. ***      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN