"Ini bunga kesukaanku. Kenapa kamu bisa tahu?" Violetta menjawab dengan pertanyaan kembali.
Bibir Dirga menipis sempurna, perlahan dia menarik lembut tangan Violetta dan menciuminya dengan hangat. "Aku tahu semua yang kamu sukai, Sayang. Parfum, makanan, minuman, shampo, sampai hal hal yang kamu nggak suka pun aku tahu." Menatap Violetta dengan mata teduhnya. "Karena aku menyukaimu sejak kecil, dan rasa suka ku berubah menjadi cinta setelah kamu beranjak remaja."
Dirga tidak pernah bohong untuk urusan yang satu ini. Pada siapa pun dia berhadapan, jika sudah menyangkut perasaan tak akan ada ruang untuk dia berdusta. Sekali pun dia tidak menyukai lawan bicaranya, dia akan mengatakan yang sejujurnya. Ya, didikan Tama dan Dhira berhasil membuat Dirga tumbuh menjadi anak laki laki yang jujur dan bertanggung jawab.
Meski pun di limpahi harta kekayaan yang tak akan pernah ada habisnya, tak serta merta membuat laki laki berkharisma itu bertindak sesuka hatinya. Apa lagi terhadap perempuan. Dia sangat menghargai siapa pun perempuannya, karena dia juga memiliki seorang ibu dan kakak perempuan yang begitu dia sanjung dan hargai.
Violetta menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman tangan Dirga. Lalu berkata, "Tapi aku nggak kenal sama kamu. Aku nggak ingat apa pun tentang kamu. Jadi, kumohon... Jangan perlakukan aku seperti kekasihmu." Menggelengkan kepalanya.
"Aku memang kekasihmu, Sayang. Bahkan calon suami kamu."
"Jangan panggil aku seperti itu. Aku merasa ... asing dengan keberadaan kamu saat ini."
"Aku harap, kamu nggak terus terusan untuk menemuiku," sambung Violetta.
Entah harus seperti apa lagi Dirga meyakinkan Violetta mengenai hubungan keduanya. Sungguh, dia benar benar takut jika Violetta akan menghapus dirinya dari ingatannya secara permanen.
Tak pernah terbayangkan jika itu menjadi nyata. Dirga mungkin akan frustasi dan kehilangan sebagian dari dalam jiwanya.
"Nggak apa apa kamu nggak ingat aku." Dirga berusaha tegar dan tetap bersemangat. "Pelan pelan pasti kamu akan ingat kembali semuanya tentang aku dan hubungan kita. Tapi, jangan minta aku untuk jauh dari kamu. Aku nggak akan pernah sanggup, Sayang."
***
Semua yang Dirga lakukan saat ini tak ada satu pun yang benar. Pekerjaannya yang menumpuk, sementara waktu ini harus dia alihkan pada Bian, sang sekretaris pribadi.
Kesehatan Violetta memberi dampak besar bagi dirinya. Dirga juga menjadi sering uring uringan setelah mendapat penolakan beberapa kali dari Violetta. Terakhir kali, tiga hari yang lalu, kehadirannya tak membuahkan hasil sedikit pun pada ingatan sang kekasih tercinta.
Amarah, kesal, penyesalan serta menyalahkan diri sendiri memuncah di benak Dirga. Andai saja dia tidak merencanakan surprise pada Violetta, andai saja dirinya memberi tahu kepulangannya ke tanah air di percepat. Andai saja dia tak meminta Violetta menjemputnya di bandara.
Ya, dia hanya bisa berandai andai saat ini. Meski pun, itu semua di lakukannya tak menjamin kejadian naas itu terelakkan, setidaknya dia tak merasa bersalah atas insiden yang terjadi.
Saat ini, Dirga kedatangan tamu yang akhir akhir ini jarang sekali bertemu dengannya. Setelah apa yang terjadi pada Violetta, keduanya menjalin komunikasi yang kuat. Semua demi kembalinya ingatan
"Apa rencanamu kedepan?" tanya Gilang.
Tentu saja pertanyaannya mengenai Violetta. Sahabat baiknya sekaligus orang yang ... ah, sudahlah tidak penting juga.
Dirga sedang berdiri di depan dinding kaca pembatas di ruang kerjanya. Tatapannya lurus kedepan pada barisan gedung gedung tinggi lainnya. Pandangannya menerawang jauh pada masa masa dimana dirinya menyatakan perasaan yang sesungguhnya pada Violetta.
Tak berniat mengabaikan pertanyaan sahabat baiknya, Dirga akhirnya buka suara. "Entahlah. Aku bukan tipe laki laki yang sabar. Aku egois. Aku ingin ingatannya segera kembali. Apa pun yang terjadi, aku siap menerimanya. Asal ingatannya kembali lagi."
Dirga merasakan sesak di dadanya setiap kali membahas mengenai perkembangan ingatan Violetta. Dia ingin mengembalikan masa lalu indah bersama gadis yang dia cintai.
Gilang menghela napas kasar, dia tahu betul
seperti apa perasaan yang sedang di rasakan oleh sahabat baiknya itu. Dia berdiri dari duduknya, berjalan ke tempat yang sama dengan Dirga berdiri saat itu.
"Jangan menyerah. Kita juga nggak tahu sebesar apa keinginannya untuk mengingat kembali. Bisa jadi dia sedang berperang melawan ingatannya sendiri. Ingat pesan Om Damian. Orang orang terdekat Violetta, seperti kita yang sangat di butuhkan untuk membantu mengembalikan ingatannya."
Beberapa saat Dirga memilih untuk diam. Wajahnya terlihat sedikit pucat dan tidak segar seperti biasanya. Sudah tiga hari ini, dia juga mengalami sakit kepala yang hebat secara mendadak. Begitu besar rasa bersalahnya atas semua yang menimpa Violetta.
"Kapan Ayesha pulang?" tanya Dirga kemudian. Satu satunya harapan hanya terletak pada Ayesha, sahabat yang paling Violetta sayangi.
"Harusnya tiga jam lagi sampai. Dia bilang, akan langsung menemui Violetta." Melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Semoga dengan kedatangan Ayesha, ada banyak kemajuan dalam ingatannya." Dirga memiliki harapan yang begitu besar. Bukan untuk dirinya semata, namun demi kebahagiaan Violetta.
Gilang mengangguk setuju. Sebenarnya, dia memiliki lebih banyak harapan untuk kesembuhan Violetta. "Kuharap juga begitu."
Tiba tiba saja Dirga meringis, tangannya refleks menarik kasar rambutnya. "Argh..." keluhnya dengan mata yang terpejam.
Sebagai salah satu kerabat terdekatnya, Gilang tentu saja khawatir melihat sahabatnya tiba tiba mengeluh seperti itu.
"Kenapa?" tanyanya seraya mendekat.
"Entahlah," sahut Dirga menggelengkan kepalanya. "Sudah beberapa hari ini kepalaku sering sekali sakit."
"Ini nggak bisa di biarkan, Dirga. Ayo, periksa ke dokter."
"Nggak perlu. Ku rasa karena kurang tidur."
"Tapi, ini bisa berbahaya."
"Jangan berlebihan. Ini hanya migrain biasa."
Selalu saja begitu. Gilang sudah tak heran lagi. Sahabatnya itu memang memiliki kebiasaan sejak kecil menganggap remeh segala sesuatu yang terjadi pada tubuhnya.
"Kebiasaan," umpat Gilang, kesal. "Aku harus pergi sekarang. Masih ada project lagu yang belum aku selesaikan dengan pihak produksi," sambungnya seraya mengambil ponsel miliknya yang terletak di meja tamu.
Dirga menganggukkan kepalanya. "Sempatkan untuk berkunjung ke rumah Om Damian. Bantu Violetta sebisamu," pinta Dirga dengan sungguh sungguh.
"Ok. Setelah pekerjaanku selesai, aku akan kesana," jawab Gilang.
Baru saja Gilang menutup rapat pintu ruang kerja pribadi Dirga, rasa sakit di kepala Dirga kembali mendatanginya. Bagaikan tertimpa batu besar yang menghantam kepalanya, Dirga tak kuasa menahan keseimbangan tubuhnya hingga nyaris terjatuh jika tangannya tak bertumpu pada dinding kaca di sampingnya.
"Argh..." Meringis kesakitan.
Beruntung, tak berselang lama dari kepergian Gilang, pintu ruangan kembali terbuka dan menampilkan sang sekretaris pribadi di baliknya. Terlambat sedikit saja, mungkin akan terjadi penyesalan pada laki laki itu.
"Astaga, Tuan muda..." teriaknya tertahan seraya berlari mendekati Dirga.