Ratih menyapu halaman, dimana matahari belum muncul. Ratih memutuskan untuk membersihkan halaman seorang diri, sambil mencoba melupakan suara desahan Kania semalam yang menggangunya. Jujur saja, Ratih tidak bisa tidur karenanya. mengingat bagaimana Kania yang sedang berduaan dengan Bima; sebagai pasangan suami istri jelas membuat Ratih sedih. Karena pada kenyataannya, dia tidak pernah memiliki Bima. Tidak sampai kapanpun, pria itu akan tetap menjadi milik sang istri pertama.
“Jangan diingat,” ucap Ratih pada dirinya sendiri sambil menyapu halaman rumah yang begitu besar.
Sampai dia melihat ada mobil memasuki halaman, Ratih mengenal pemilik mobil itu. Apalagi saat Kania keluar dari sana dan mendapatinya. “Ratihhhhh….,” teriaknya menahan rasa bahagia.
Kania melebarkan tangannya dan berlari memeluk Ratih. “Kamu kok jam segini udah bangun? Ngapain? Bersih bersih kana da tukangnya?”
“Gak papa, Kak. Aku lagi gak ada kerjaan kok. Lagian kan Tuan Aldo taunya Ratih pembantu, gak enak kalau diem aja.”
“Oh iya, Kakak lupa ada Aldo,” ucap Kania tertawa tidak tau malu. “Kamu gimana kabar? Oke kan?”
“Baik, kerjaan kakak udah beres?” tanya Ratih.
“Udah, sekarang Kakak bakalan ada di rumah kok. Nanti kamu mulai lagi rutinitas buat persiapan kehamilan ya.”
Belum juga Ratih menjawab, suara pintu mobil tertutup dengan kuat menarik perhatian mereka. Di sana Bima keluar dengan wajah lelahnya. “Masuk yuk, Yank. Masih ngantuk,” ucap Bima menatap Kania.
Tidak sedetikpun pria itu mau menatap Ratih.
“Hmmm, Tih, Kakak ke dalem dulu ya. Kalau kamu capek, biarin aja nanti ada orang yang bersihin.”
“Gak papa kok, Kak. Kakak masuk aja, kasian Tuan Bima.”
“Bye Bye Ratih,” ucap Kania dengan senyuman manisnya.
Jujur saja, Kania jauh lebih cantik daripada Ratih, apalagi dia memiliki darah blasteran. Dimana saat Kania menggandeng tangan Bima, keduanya terlihat sangat serasi.
Menatap dirinya sendiri, kulit kecokelatan, pipi yang tembab dan tubuh yang pendek. Ratih sadar dirinya jauh di bawah Kania. Dan Ratih belum siap menghadapi rasa sakit melihat keduanya saling bermesraan, jadi dirinya memilih untuk membersihkan halaman dan menghindari bertemu dengan orang.
Sampai jam menunjukan pukul tujuh, Ratih mulai merasa haus. Dia akhirnya masuk lewat pintu belakang menuju dapur untuk mendapatkan air.
“Ratih, kamu dari mana aja, Bibi nyariin kamu.”
“Maaf, Bi. Abis beres beres tadi. Itu juga belum selesai, mau ke sana lagi.”
“Mana boleh, bantu Bibi siapin sarapan cepet,” ucap Bibi Endah. “Tuan Aldo minta sarapan yang aneh aneh, kamu bantu tata meja ya.”
“Iya, Bi,” ucap Ratih padaa akhirnya, karena dia tidak berhasil menghindari manusia manusia itu.
Dimana saat Ratih sedang menata meja, Aldo keluar dengan tatapan mengejeknya, disusul oleh Kania yang turun lebih dulu.
“Aldooo! My friend! Maaf aku baru pulang, aku menginap dengan suamiku di hotel.”
“Serasa Honeymoon huh?” tanya Aldo kemudian memberikan pelukan pada Kania. “Kau semakin cantik, Bima tidak menyia-nyiakanmu ‘kan?”
“Tentu tidak, dia sangat mencintaiku.”
“Singkirkan tanganmu dari istriku,” ucap Bima yang baru keluar dari kamar, menatap tajam Aldo dengan tidak suka. “Jika kau lupa, aku pernah memukulmu karena itu.”
“Ayolah, Mas. kami hanya sesame teman lama, dan dia sepupumu.”
Aldo tertawa, dia duduk lebih dulu di meja makan. “Ya, aku hanya sepupumu. jangan khawatir seperti itu.”
Bima yang sudah di lantai utama langsung menarik pinggang Kania dan menjatuhkan kecupan di bibir sang kekasih. Membuat Ratih yang sedang menuangkan air itu memalingkan wajahnya, dan Aldo melihat bagaimana Ratih yang tersakiti. Pria itu terkekeh. “Maka dari itu, jangan pernah berfikiran kau itu special. Bahkan kau jauh di bawah Kania, kau hanya wanita rendahan yang menginginkan harta. Bukankah begitu?” tanya Aldo dengan suara pelan.
Ratih tidak menjawabnya, dia buru buru pergi ke dapur untuk menghindar. Dan satu kenyataan yang Ratih dapatkan, Kania dikelilingi orang yang mencintainya, yang mengingatkan Ratih kalau dirinya tidak ada apa apanya dibandingkan dengan Kania.
“Tih, kamu kenapa? kok nangis?” tanya Bibi Endah panic. “Tih?”
“Bi, Ratih ke kamar dulu ya. Agak gak enak badan,” ucap Ratih enggan lagi melihat Aldo yang menyeringai.
Apalagi melihat Bima dan Kania yang berciuman tidak tau malu.
*****
TOK. TOK. TOK.
Bibi Endah mengetuk pintu sebelum akhirnya masuk, mendapati Ratih yang sedang tertidur membalakangi. “Tih, sarapan dulu. Nih Bibi bawain.”
“Bibi kenapa ke sini? Nanti kalau dicariin Kak Kania gimana.”
“Mereka lagi keluar, kayaknya mau jalan jalan keluar sebelum Tuan Aldo ke bandung,” ucap Bibi Endah menyimpan nampan berisi makanan itu di meja rias milik Ratih. Setelahnya dia duduk menghadap Ratih yang duduk di atas ranjang. “Kenapa kamu nangis?”
“Kangen bapak sama adek adek di rumah, Bi.”
“Ck, Bibi pikir kamu kenapa. jangan dipikirin lah, kamu juga belum lama di sini, mereka baik baik aja. Apalagi Nyonya Kania ngasih mereka sawah.”
“Apa, Bi?” tanya Ratih kaget.
“Iya, Bibi juga baru tau dari anak Bibi. Katanya sekarang bapak kamu punya sawah, jadi bisa jadi ladang usaha berkepanjangan. Baik banget kan Nyonya Kania.”
“Iya, Bi. Baik banget,” ucap Ratih yang merasa bersalah dengan perasaannya.
“Kalau gitu kamu makan, kamu harus sehat dan jangan kepikiran apa apa mulu. Kasih mereka anak, dengan gitu kamu bisa membayarnya.”
“Makasih, Bi. Nanti Ratih makan kok.”
“Bibi masih banyak urusan, ada yang mau ganti interior di rumah kaca belakang. Kamu nanti kalau mau apa apa bilang sama Bibi ya.”
Ratih mengangguk dan membiarkan sang Bibi pergi. Dia beranjak dari ranjang dan mendekati sarapannya, Ratih melahapnya. Walau bagaimanapun, perasaannya salah dan dia tidak akan pernah bisa mengubahnya. Jadi, dia hanya harus bertahan hidup dan memberikan apa yang mereka inginkan.
Keluarganya sudah terjamin hidupnya, itu semua berkat Kania.
Setelah selesai sarapan, Ratih keluar kamar dan melihat bagaimana tukang itu memperbaiki rumah kaca yang ada di halaman belakang. Ngomong ngomong Ratih belum pernah ke sini, dia dilarang karena ini tempat favorite Kania dan Bima.
“Bi,” panggil Ratih pada sang Bibi. “Keren banget, di dalemnya bunga semua.”
“Udah makan? Kamu butuh apa?””
“Nggak, mau liat aja.”
Ratih menghabiskan harinya membantu sang Bibi, mengikuti kemana Bibinya pergi dan melihat taman bunga itu. Dia mencoba melupakan perasaannya. Sampai Ratih merasa lelah, apalagi matahari mulai naik. Ratih memilih untuk kembali ke kamarnya untuk istirahat tidur siang.
Namun sial sekali, dia bertemu dengan Aldo di ruang tengah.
“Hai, Cantik. Darimana?”
“Dari luar, Tuan, melihat renovasi rumah kaca,” ucap Ratih melihat sekeliling, mungkin saja Kania dan Bima sudah pulang juga.
“Bima dan Kania belum pulang, mereka jalan jalan dulu.”
Ratih berhenti mencari. “Ada yang anda inginkan, Tuan?”
“Hanya ingin mengingatkanmu, kalau kau tidak pantas bersanding dengan Bima atau mengharapkannya. Dengar, aku bukan ingin menghancurkan dirimu, aku hanya kasihan padamu.”
“Terima kasih telah mengasihani, tapi saya juga tau diri.”
“Baguslah, lagipula mana mungkin Bima mau denganmu,” ucapnya menelisik Ratih. “Jika ingin cepat dapat uang, segeralah hamil. Hanya itu saranku, aku harus pergi hari ini. semoga kau ingat nasihatku. Cobalah tanamkan ini dalam dirimu, kalau kau itu hina dan tidak pantas dibandingkan dengan Kania. Paham?”
Ratih mengangguk dengan bibir terkatup rapat.
****
Aldo memang sudah pergi, tapi perkataannya tetap teringat di benak Ratih.
“Ratih?!” teriak seseorang yang dikenali Ratih.
Segera membuatnya keluar dari kamar dan melihat Kania yang baru saja datang dengan membawa banyak belanjaan. Di sampingnya ada Bima, yang melangkah begitu saja melewatinya. Pria itu memasuki kamar tanpa menyapa Ratih.
“Tih sini, Kakak beli sesuatu buat kamu.”
“Kakak beli apa?” tanya Ratih mendekat, dia duduk di atas karpet yang sama dengan Kania.
Bukannya menjawab, Kania malah balik bertanya, “Kamu udah makan malam?”
“Udah, Kak. Kakak udah?”
“Udah dong, Kakak tadi makan di restaurant baru tau, Tih. Nanti kali kali kamu diajak deh,” ucapnya sambil tertawa. “Nih, bawa baju baru, sama skin care baru. Biar tambah kinclong, sama parfume yang aromanya baru.”
“Banyak banget, Kak. Yang itu juga masih ada.”
“Ya biarin aja, biar kamu bisa ganti ganti,” ucap Kania senang, dia menyerahkan beberapa papper bag pada Ratih. “Suka gak bajunya?”
“Suka, Kak. Makasih ya, untuk semuanya.”
Kania menggeleng, dia menggenggam tangan Ratih. “Kakak yang berterima kasih. Mulai lusa kamu siap kelas lagi ya, Aldo udah pulang dan Kakak bakalan urus lagi Mas Bima. Makasih kamu udah jagain dia.”
“Sama sama, Kak.”
“Terus kakak juga bikin jadwal buat Mas Bima tidur bareng kamu, jadi kamu gak akan kecapean.”
“Oh, iya,” ucap Ratih dengan malu.
“Gak usah malu gitu, lagian Mas Bima Cuma nembak doang abis itu pergi.”
Ratih mengangguk paham, padahal pada kenyataannya dia dan Bima sering melakukan cudle.
“Beresin ini ya, Tih. Kakak capek, tolong bikinin wedang dong, Bibi bilang kamu ahlinya.”
“Boleh, Kak. Mau berapa? Sekalian sama Tuan Bima?”
“Boleh ddeh, bikinin ya, abis itu bawa ke atas.”
Ratih mengangguk dan membiarkan Kania pergi. Sementara dirinya membereskan barang barang dulu sebelum membyatkan wedang jahe untuk keduanya.
“Buat siapa itu, Tih?” tanya Bibi Endah.
“Tuan Bima sama Kak Kania.”
“Ah, kamu aja yang anterin ya. Bibi mau makan dulu.”
Ratih mengangguk menyanggupi, dia naik ke lantai dua sambil membawa nampan berisi pesanan Kania. “Kak, ini wedang jahenya,” ucap Ratih dari luar.
Tidak ada jawaban.
“Kak Kania, ini wedang jahe. Mau Ratih taruh di luar?”
Namun yang dia dengar adalah… “Eunghhh…. Mas…. itu di luar… oh astaga…”
Jelas Ratih tau apa yang terjadi. “Kak, ini disimpen di sini aja ya,” ucapnya sambil menelan ludah kasar.
Ratih berniat menyimpannya di sebuah nakas di lorong itu, tapi pintu kamar lebih dulu terbuka dan memperlihatkan Bima yang hanya memakai celana selutut saja.
“Tuan, maaf. Ini wedang yang Kak Kania mau.”
“Kamu tuli atau gimana huh? Kalau gak ada jawaban ya pergi, t***l banget kamu,” ucapnya dengan sinis.