Sudah beberapa minggu setelah kepulangan Kania, Bima kini mengabaikan Ratih. Dia tidak lagi memperhatikannya seperti saat Kania sibuk di dunia permodelannya. Apalagi Bima Kembali pada masa dimana dia lebih sering menatapnya sinis.
Apalagi saat mengetahui Ratih haid, Bima mengetatkan rahangnya dan mengatakan, “Tidak berguna.” Yang membuat Ratih bungkam seketika, dadanya terasa sangat sakit. Bahkan Bima tidak lagi menyentuhnya setelahnya, dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan Kania.
“Tih, kamu pucet banget,” ucap Bibi Endah saat mendapati Ratih yang baru saja keluar dari kamar. Keponakannya itu memang selalu keluar diakhir, dimana Bima sudah berangkat ke kantor. “Bibir kamu putih banget, mending gak usah ikut kelas hari ini.”
“Nggak, Bi. Ratih baik baik aja kok, Cuma sedikit pusing,” ucapnya memaksakan senyuman. Dia duduk di ruang makan, menerima semua makanan yang disajikan sang Bibi. “Makasih, Bi.”
Bibi Endah mengecek suhu tubuh Ratih. “Kamu agak demam, Tih. Diem aja di sini ya, pasti Nyonya Kania paham kok.”
“Nggak, Bi. Ini hari penting, ad akelas baru katanya. Ratih harus ke sana, terus nanti cek Rahim.”
Bibi Endah menghela napas, jelas dia tau apa yang mengganggu Ratih. “Makan yang banyak, kamu juga jangan banyak pikiran. Pikirin aja yang bikin kamu Bahagia, contohnya Bapak kamu dikampung yang kini udah punya usaha giling padi dan adik adik kamu yang sekolah.”
Ratih mengangguk; memaksakan senyuman. “Iya, Bi.”
Dan saat itu, seseorang menuruni tangga mendapati keadaan Ratih yang pucat. “Ratih? Kamu pucet banget?”
Ratih menoleh, dia kaget melihat keberadaan Kania. “Kak Kania? Belum berangkat?”
Mengabaikan pertanyaan Ratih, Kania mendekat dan menempelkan tangannya di dahi Ratih. “Kamu demam.”
“Cuma sedikit kok, Kak. Nanti juga ilang.”
“Kamu hari ini istirahat, Kakak yang nelpon mentor kamu.”
“Gak usah, Kak. ak——”
“Jangan bantah Kakak.”
Dan saat itulah Ratih bungkam, dia mengangguk paham.
“Bi, kalau tambah parah panggil aja dokter Richard ya, untuk saat ini Ratih harus istirahat, jangan lupa kasih asupan makanan yang bergizi.”
“Baik, Nyonya. saya paham.”
“Kakak berangkat dulu ya, Tih. Kamu istirahat.”
“Iya, Kak. Makasih ya.”
Kania tersenyum dan mengusak rambut Ratih sebelum meninggalkannya. Meninggalkan Bibi Endah yang menghela napas. “Lihat, Tih, dia adalah wanita yang sangat baik. Jangan kepikiran mau Tuan Bima seutuhnya.”
“Ratih gak niat rebut kok, Bi. Ratih Cuma berharap Tuan Bima memperlakukan Ratih dengan lebih baik, seenggaknya gak bentak,” harapnya yang semu. Dia menghabiskan makanannya dengan segera untuk bisa berbaring Kembali di kamar.
“Makasih makanannya, Bi, Ratih ke kamar lagi ya,” ucapnya pamit.
Yang mana membuat Bibi Endah menatap punggung Ratih dengan penuh kasihan. Wanita tua itu menghela napas berat dan menelpon anaknya yang ada di kampung. “Hallo, Nduk? Bisa kamu sambungkan dengan Bapaknya Ratih?”
“Aku lagi di pasar, Buk.”
“Bentar aja, kasian Ratih sakit.”
“Oke oke.”
Sementara itu, Ratih duduk menghadap ke halaman belakang, melihat kolam renang yang mengingatkan Ratih pada danau dimana dia menghabiskan waktu bersama dengan Bima. Tidak ingin merebut, Ratih hanya ingin diperlakukan dengan lebih baik, meskipun statusnya hanya istri kedua.
TOK. Tok.
“Tih?”
“Iya, Bi. Masuk.”
“Nih, Bibi nelpon anak Bibi. Sekarang tersambung dengan bapak kamu.”
“Serius, Bi?” tanya Ratih Bahagia dan langsung menerima telpon itu, setidaknya inilah satu satunya mood boster untuk Ratih. “Hallo, Bapak?” tanya Ratih dengan menik berkaca-kaca.
“Ratih, ini Bapak.”
*****
“Kamu mau kemana?” tanya Bibi Endah yang mendapati sang keponakan keluar dari kamarnya.
“Mau ke belakang, Bi. Maen air.”
“Sini dulu kamu.”
Ratih menurut, mendekati Bibi Endah yang sedang mengawasi tukang bersih bersih, dan membiarkannya memegang keningnya. “Udah turun demamnya, yaudah sana. Jangan lama lama di luar ya.”
“Iya, Bi.”
Ratih mengambil sebuah s**u yoggurth sebelum melangkah meninggalkan Bibi Endah untuk duduk di taman belakang yang menghadap kolam renang, rasanya sangatlah nyaman, kesendirian di siang hari yang mendung. Ya, Ratih suka mendung karena sinar matahari tidak menyakiti kulitnya.
Pernah sekali Ratih menanam padi di sawah dengan terik matahari, dimana tubuhnya langsung gatal dan merah merah.
Mata Ratih beralih pada rumah kaca, tempat bunga bunga merambat di dindingnya. Dia belum pernah ke sana sama sekali, ppadahal jaraknya sangat dekat. Tapi mengingat hanya Bima dan Kania tidak mengizinkan siapapun masuk, jadi Ratih hanya bisa melihat dari luar.
“Tempat itu indah, bahkan aku melihat bunga yang bagus dari luar.”
Di sisi lain, seseorang yang menaiki mobil memasuki pekarangan rumah iitu. Dia datang lebih awal, membuat sang pembantu yang masih mengawasi pekerja lain itu Nampak terkejut.
“Tuan Bima, anda pulang lebih awal?”
“Ya, Kania sudah pulang.”
“Belum, Tuan.”
Kening Bima berkerut. “Dia bilang akan pulang lebih awal.”
“Jalan yang anda dan Nyonya ambil berbeda, mungkin saja macet, Tuan.”
Bima tidak mempermasalahkannya, dia melangkah dan hendak menaiki tangga. Namun terhenti saat matanya melihat ada sosok yang duduk di bangku taman belakang. Membuatnya mengurungkan niat masuk ke kamar dan malah mendekati Ratih.
Bima mendappati Ratih tengah menatap rumah kaca tempat dirinya bersama dengan Kania menghabiskan waktu saat masa muda.
“Penasaran dengan apa yang ada di sana?”
“Tuan,” ucap Ratih kaget, dia langsung berdiri dan menunduk.
“Mau ke sana?”
“Tidak, Tuan.”
“Ikut aku,” ucapnya membuat Ratih tidak memiliki pilihan.
Hingga perempuan itu mengikuti Bima dari belakang, sampai akhirnya Bima membukakan pintu untuk Ratih dan memberinya tanda supaya masuk lebih dulu.
“Um….” Ratih akhirnya masuk dan melihat ada banyak bunga berjajar di sana. Seperti taman bunga, ada banyak rak di sekelilingnya, dengan bunga warna warni. “Ini sangat indah.”
“Ya, sangat indah,” ucap Bima memeluk Ratih dari belakang, dengan salah satu tangannya masuk ke dalam rok Ratih.
“Tuan,” ucap Ratih dengan desahan tertahan, apalagi kini Bima tengah menciumi lehernya dengan sensual, dan tangan yang tersisa digunakan Bima untuk meremass bagian depan Ratih. “Uhhhhh, Tuan.”
“Tahan desahanmu,” ucap Bima kemudian membalikan tubuh Ratih menghadapnya dan langsung meraup bibir itu, menjiilatiinya dan menelusupkan lidah ke dalamnya. “Shiit! Semakin manis,” ucap Bima di sela sela ciumannya.
Dengan perlahan dia membuka kemeja Ratih hingga sang istri bertelanjjang d**a. Ratih yang dimabuk oleh rasa nikmat yang suaminya berikan. “Ssshhhhhh, Tuan… Ohh…. Shhhhh….”
Sampai Ratih mendengar suara derap kaki mendekat, dia membuka matanya. “Tuan…, Akh… Kak Kania,” ucapnya pada Bima yang sibuk mengecupi dadaanya.
Pria itu mengumpat, dia menendang pakaian Ratih supaya tidak meninggalkan jejak, sebelum akhirnya menggendong Ratih di depannya kemudian bersembunyi di balik rak bunga yang dipenuhi dedaunan.
“Tuan.. Kak Kania,” ucap Ratih saat Bima Kembali melancarkan aksinya.
“Diam.” Begitu perintah Bima, dia menurunkan Ratih; dengan menahan salah satu kakinya supaya tetap melingkar di pinggang sang pria. “Tahan desahanmu.”
Dan dia Kembali melancarkan aksinya menjiilati titik sensitive di tubuh Ratih, dengan tangannya yang lain meremas bongkahan pantatt sang istri.
“Uggghhh… akhhh….”
“Ratih? Mas Bima? Apa kalian di dalam?”
Dan saat itulah Bima membungkam mulut Ratih dengan tangannya, dengan bibirnya yang tetap menyesap leher sang istri.
“Ratih? Kamu di sini?”
Dan Ratih hanya bisa memejamkan matanya, berharap Kania tidak menemukan mereka. Karena saat ini, Bima sedang menggesekan sesuatu di bawah sana sebagai permulaan agar bisa mendapatkan kepuasannya.