Tidak ada kepedulian

1614 Kata
“Hari ini kita akan nyari baju buat kamu, terus temuin temen Kakak yang ada di kelas Prakehamilan. Mulai besok kamu ke sana tiap pagi sampai siang ya? Nanti supirnya khusus buat antar jemput kamu.” “Iya, Kak.” “Kamu belum punya hp ya?” “Belum,” ucap Ratih. Kania berdecak. “Si Bibi ada-ada aja,” gumamnya sebelum melanjutkan dengan kalimat. “Hari ini kita beli, semua keperluan kamu. Skincare kan udah kemarin, tinggal buat penampilan kamu.” Ratih hanya mengangguk mendengarkan apa yang Kania katakan, wanita berusia 30 tahun ini membawanya ke sebuah mall besar di Jakarta. Dan Ratih yang baru menginjakan kakinya di sini sangat terpukau dengan tingginya bangunan-bangunan di Jakarta. Dia benar-benar tidak menyangka kalau tempat ini benar-benar ada, dulu Ratih hanya melihat dari televise saja. “Mulai besok, Kakak juga harus kerja, jadi kamu harus bisa ngatur waktu kamu sendiri.” “Iya, Kak.” “Gimana semalam?” Ratih terdiam saat tahu maksud pertanyaan Kania, tentu saja jawabannya sakit. Semua orang begitu dusta tentang malam pertama yang enak, buktinya Ratih merasakan miliknya lecet, berdarah dan penuh dengan air mata selama proses itu berlangsung, tidak ada rasa nikmat sedikitpun. “Sakit, Tih?” “Iya, Kak.” “Hahahaha, wajar, nanti juga lama-lama enggak kok. Kakak juga tau hari-hari kesuburan itu hari apa aja, jadi nanti dijadwal buat Mas Bima tidur sama kamu.” “Iya, Kak.” “Kamu juga harus jaga fikiran kamu, itu yang penting. Kalau kamu stress, nanti gimana mau punya bayi.” Ratih terdiam, dia sedikit khawatir kalau dirinya tidak bisa hamil dalam waktu yang dekat. Dan Kania yang melihat itu paham, dia langsung berkata, “Tenang saja, kalau misalnya tetap tidak berhasil dalam satu bulan, nanti kita pakai program bayi tabung.” “Bayi tabung?” tanya Ratih bingung, pasalnya hal itu terdengar aneh di telinganya. Kania tertawa gemas mendengar pertanyaan Ratih. “Iya, bayi tabung. Dulu Mas Bima memang mau mencari ibu pengganti saja, tidak menikah. Tapi menurutku itu buang-buang uang, biaya yang keluar dua kali lipat. Belum lagi tidak tahu wanita itu asal usulnya, kalau kamu kan sudah sepenuhnya milik kami. Sepenuhnya milik kami, itu yang membuat Ratih mengingat kembali siapa dirinya sebenarnya. Namun mendapatkan perhatian dari Kania yang begitu baik membuat Ratih merasa tenang, setidaknya istri pertama mendukungnya. “Yuk turun.” Ratih membulatkan matanya tatkala melihat gedung tinggi di hadapannya, ditambah lagi saat masuk dirinya melihat berbagai macam barang dan orang-orang di sana. Jadi ini yang dinamakan mall? “Naik lift saja yuk.” Ratih hanya mengangguk, dimana Kania berjalan lebih dulu. Begitu Kania sampai di dalam lift dan membalikan badannya untuk memastikan Ratih ada, Kania malah terkejut. Mendapati perempuan itu membuka sandalnya. “Aduh, Ratih. Kampungan banget kamu, jangan dibuka itu sandalnya! Masuk sini. Jangan bikin kakak malu.” ****** Setelah seharian ini memberitahu jadwal apa saja yang harus dilakukan olehnya, Ratih merasa lelah. Dia memang diberikan berbagai macam makanan oleh Kania, tapi Ratih benar-benar butuh waktu istirahat, apalagi semalam dia telah melayani Bima sampai pingsan. Itu benar-benar diluar dugaan, rasa sakitnya masih tetap ada. “Nah, ini kartu kredit. Kalau nanti abis kelas berakhir, terus kamu mau beli apa aja pake kartu ini ya.” Ratih mengangguk sembari menatap kartu yang ada di depannya itu; tepat di meja di samping ice cream yang sedang dia beli. Keduanya kini berada di cafee. Kania telah membawanya ke kelas tempat Ratih akan memulai program kehamilannya. “Terus ini hp buat kamu, nanti belajar sama Bibi aja ya. Kamu bisa gak?” Ratih menggeleng. “Dulu pernah punya HP tapi yang ada tombol buat ngetiknya, Kak.” “Ini juga ada, Cuma di layar. Nanti minta Bibi Endah aja ya yang ngajarin kamu.” Ratih mengangguk dan menerimanya. “Terima kasih, Kak.” “Kalau mau hubungin bapak kamu, minta nomornya sama si Bibi.” “Iya.” “Yaudah pulang yuk, sore ini Kakak ada pemotretan mendadak.” “Kakak gak makan malam di rumah dong?” “Gak tau liat nanti aja, yuk kakak anterin pulang.” Ratih hanya menurut, dia diantarkan oleh Kania kembali ke mansion itu. Namun, sebelum Kania benar-benar pergi. Dia memanggil seorang supirnya. “Kenapa, Nyonya?” supir itu menunduk supaya menyamakan tingginya dengan sang majikan. “Besok kamu aktif ya buat nganter Ratih kemana-mana.” “Baik, Nyonya.” “Kakak berangkat ya, Tih. Kalau kamu mau keluar minta anter sama supir ini.” Ratih mengangguk, dia keluar dari mobil dan membawa barang-barang yang telah dia belinya. “Iya, Kak.” “Kakak berangkat ya.” “Hati-hati, Kak.” Dia melambaikan tangan pada Kania sebelum kembali masuk ke dalam mansion, dimana di sana ada beberapa pekerja panggilan yang tidak Ratih kenal. Dia sibuk mencari keberadaan Bibi Endah. “Bi,” panggilnya ketika mendapati wanita tua itu sedang mengawasi pekerjaan seorang petugas kebun. “Kenapa? kamu udah pulang? Nyonya juga?” “Kak Kania langsung pergi, katanya ada kerjaan.” “Itu kamu belanja sebanyak itu?” tanya Bibi Endah terkejut. “Ini dari Kak Kania, Ratih mau minta nomor Bapak, Bi. Mau nelpon, sama mau minta ajarin hp ini.” Bibi Endah menarik napasnya dalam. “Nanti aja, kamu suka gak paham paham. Bibi lagi kerja ini, jangan bikin repot.” “Maaf. Yaudah nanti aja.” “Lagian kan hp bapak kamu rusak.” “Kayaknya udah dibenerin deh, Bi. Soalnya adek aku bilang mau bawa itu HP ke counter.” “Iya iya, nanti saja. sana kamu istirahat aja, beresih barang-barang kamu sendiri.” “Iya, Bi.” Ratih melangkah pergi dengan menahan rasa sedihnya. ***** Bima tengah menunggu kedatangan sang istri yang kini kembali disibukan oleh peekerjaannya. Dia diam di dalam kamar, ingin makan malam bersama dengan Kania. Namun sepertinya keinginan itu harus diurungkan karena Kania tidak kunjung menjawab telponnya. Jika sudah tidak bisa dihubungi, maka artinya Kania sedang dalam proses pemotretan. Sampai suara ketukan menyadarkan Bima. “Tuan, makan malamnya sudah siap.” “Ya,” jawab Bima santai. Yang mana membuat Bibi Endah kembali turun ke lantai bawah dan mendapati Ratih yang berada di sekitaran ruang makan. “Kenapa kamu keluar kamar?” “Kak Kania bilang aku harus mulai makan malam di meja ini, Bi.” “Jangan ngaco, Bibi tau gimana Tuan Bima. Jangan cari masalah, sana masuk kamar. Nanti Bibi anterin makan malam kamu.” “Tapi, Bi. ka⸻” kalimat Ratih terpotong tatkala dirinya melihat sosok suaminya yang berjalan menuruni tangga, dengan menatapnya tajam. Seolah menginginkannya musnah saat itu juga. Dan benar saja, Bima bertanya dengan nda dinginnya. “Ngapain kamu di sini?” Bibi Endah yang mulai panic itu segera menyenggol tangan Ratih, memberinya isyarat untuk segera pergi dari sini. “Maaf, Tuan,” ucap Ratih bergegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Bima yang rahangnya mengetatt. Pria itu menghembuskan napasnya berat. “Silahkan, Tuan,” ucap Bibi Endah mencoba menetralkan suasana. Dan karena Bima sedang tidak mood, dia hanya makan beberapa suap saja sebelum akhirnya kembali ke kamarnya. Dia malas berlama-lama di lantai bawah, apalagi melihat pintu kamar seseorang yang asing dalam hidupnya. Mencoba peruntungannya, Bima kembali menghubungi Kania. Dan akhirnya istrinya itu mengangkatnya. “Hallo, Mas?” “Kamu dimana? Ini udah malem, udah makan? Kapan pulang?” “Ini aku lagi di jalan pulang kok. Mas udah makan?” “Udah barusan.” “Sama Ratih?” “Enggak.” “Kok?” Bima diam, enggan menjawab, dia terlalu malas membahas wanita lain dengan istri tercintanya. “Cepat pulang, aku merindukanmu.” “Mas, tidur dengan Ratih lagi ya hari ini.” “Loh kok? Aku mau sama kamu, masa harus sama dia lagi sih. Kan kemaren udah.” “Mas, seenggaknya kamu harus ngelakuin itu setiap malam sama dia di minggu pertama.” “Gak mau.” “Itu juga buat bangun chemistry antara kamu sama Ratih mas.” Bima menarik napasnya dalam. “Nggak, aku mau sama kamu malam ini.” “Mas, please….,” ucap Kania dengan lemah di sana. Dan bibir istrinya yang bergetar menghantarkan suara yang berbeda, Bima yakin jika Kania tengah menahan tangisannya kali ini. “Kamu kenapa nangis? Ada yang bikin kamu kesel? Kenapa?” “Tadi Ibu kamu nelpon aku lagi, Mas. Dia lagi-lagi maki-maki aku kalau aku ini istri gak guna.” “Hei, jangan dengerin omongan Ibu. Yang ngejalanin itu aku sama kamu.” “Tapi aku mau jadi istri berguna, Mas. setidaknya dengan membiarkan kamu menikah lagi dan punya anak.” “Aku kangen banget sama kamu, Kania.” “Aku mohon, Mas. aku mau terbebas dengan ocehan Ibu kamu, bantu aku. Hamili Ratih.” “Kan…” “Pokoknya aku bakalan ngambek kalau nemu kamu di kamar aku pas aku pulang. Aku gak mau ngomong sama kamu,” ucap Kania mematikan telponnya sepihak. Yang mana membuat Bima mengusap wajahnya kasar di sana. Dia membanting ponselnya sebelum keluar dari kamarnya. Hanya menghamilinya bukan? lalu semuanya selesai, Bima akan kembali mendapatkan waktu berduaan dengan istri tercintanya tanpa gangguan apapun. Ya, dirinya hanya haus menghamili Ratih. Dan semuanya usai, dia tidak harus lagi meniduri perempuan itu. Bima melangkahkan kakinya lebar, dia membuka pintu kaamar Ratih yang tidak dikunci. Perempuan berusia 18 tahun itu kaget mendapati Bima yang masuk tanpa mengetuk, apalagi dirinya baru saja selesai mandi. “Bagus, kau tidak perlu membuka bajumu. Menungginglah.” Ratih meremas handuknya kuat, jujur saja dia masih takut. Bima selalu bermain kasar sampai dia kehilangan kesadaran. “Telingamu hilang?” “Maaf, Tuan,” ucap Ratih yang membuka handuknya, memperlihatkan tubuh polosnya. “Menungging cepat,” ucap Bima yang mulai mengeluarkan miliknya. Ratih melakukannya, dia memejamkan matanya dan meremas sprei di bawahnya. Dia tahu benda itu akan masuk, merobeknya dan membuatnya kesakitan lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN