Sesaat Bima menahan dirinya untuk tidak pulang, dia malas untuk bertemu dengan sosok asing yang baru saja dia nikahi itu. Namun, jika saja Kania tidak terus menerus menelponnya, mungkin Bima tidak akan pulang.
Begitu dia pulang dan sampai di kamar, Kania langsung mengeluarkan kemarahannya.
“Mas ini bagaimana sih? Kan tadi aku bilang pulangnya harus cepat, kasihan Ratih nunggu. Dia juga nyangkanya kamu itu kejam, jangan gitu sama dia. Dia yang bakal kasih kita keturunan, Mas… please ngeriin aku,” ucap Kania yang mana membuat Bima mendekat dan memeluknya.
Pria yang masih dibalut kemeja itu menenggelamkan kepala sang istri di dadanya. Aroma Bima yang tidak pernah mudah dilupakan, campuran mint dan kopi. Kania membalas pelukan suaminya, dia mengeluarkan napas berat. “Aku mohon kamu harus mengerti, Mas. ini semua demi kita.”
“Kamu gak masalah gitu aku berduaan sama wanita lain?”
“Terus kamu mau kita pisah?”
“Jangan,” ucap Bima semakin mengeratkan pelukannya.
Kania berdecak. “Lagian aku tau kamu itu cintanya Cuma sama aku aja, tapi kamu sekarang harus buahi dia dulu, Mas. seenggaknya tidur sama dia sampai dia hamil.”
Bima berdecak, dia melepaskan pelukannya.
“Nanti ke bawah ya, abis makan malam. Aku siapin bajunya biar kamu keliatan keren.”
“Ngapain keliatan keren kalau bukan buat kamu.”
“Ciee…, dasar bucin,” gumam Kania yang tetap memilihkan pakaian untuk sang suami. karena suaminya tampan dengan pakaian hitam, Kania memilih kaos hitam dan celana pendek. Tadinya Kania akan memilihkan jubbah tidur, tapi dia juga enggan membagi semua miliknya pada orang lain.
“Lagian dia mana tau mana yang mahal mana enggak, Mas Bima pake apa aja ganteng.” Begitu ucap Kania saat memilih kaos.
Dan Bima hanya bisa menurut saat dirinya beres mandi, bahkan Kania juga menambahkan parfume di leher sang suami.
“Gak usah banyak-banyak deh, lagian bukan buat aku,” gumamnya saat menggosokan lotion di tangan sang suami.
“Nah, itu kamu tau. Lagian tidur sama dia udah cukup, gak usah disiapin segala.”
Kania tertawa mendengar ucapan sang suami. “Kok malah marah sih? Harusnya seneng dong dapet perawan.”
“Percuma kalau bukan kamu.”
“Udah ya aku lagi males debat, ayo turun.”
Kania menggenggam tangan sang suami untuk makan malam, dimana Bi Endah sudah menyiapkan semuanya di sana. Mata Bima mengedar mencari sosok yang baru sajja dia nikahi beberapa jam yang lalu. Tidak ada di sana.
“Ratih udah nunggu kamu di kamer, dia makan lebih dulu. Kalau besok mungkin bisa gabung.”
“Gak usah, terpisah aja,” ucap Bima duduk di kursi itu.
“Tapi masa pisah terus, kasihan itu anak.”
Bima memilih diam daripada membantah ucapan sang istri, dia focus makan dan memikirkan apa yang akan dia lakukan nantinya. Menatap Kania yang sibuk makan membuat hatinya tercubit, Bima enggan mengkhianati istrinya.
Dan Kania paham apa yang ada di dalam pikiran sang suami. “Nggak, Mas. ini keinginan aku. Please, kamu harus nurut atau kamu akan kehilangan aku.”
“Aku gak mau kehilangan kamu.”
“Maka kamu harus nurut sama aku, dia jalan satu-satunya kita bisa memberikan ibu kamu seorang cucu. Setelah itu aku akan merasa lega dan tidak memiliki beban lagi.”
“Maaf,” ucap Bima melihat manik sendu sang istri ketika membicarakan tentang ibunya, Kania memang sering tertekan karena keluarganya.
“Maka lakukan ini untukku, Mas. tolong.”
******
Ratih tengah duduk di bibir ranjang, menunggu kedatangan seseorang. Dia menggigit bibir bawahnya karena merasa gugup. Apa yang akan dilakukan oleh pria itu nantinya, apakah dia akan memandangnya lagi dengan tatapan dinginnya?
Saat Ratih mendengar suara ketukan pintu, dia menelan ludahnya kasar dan melangkah membukanya. Dia langsung dihadapkan dengan d**a bidang sang suami, Ratih mendongkak untuk melihatnya.
“Tuan.” Ratih memberikan ruang agar pria itu masuk, setelahnya menutup pintu.
“Kamu tau kan kenapa saya kemari?”
Ratih mengangguk.
“Kunci pintunya.”
Gadis desa itu melakukannya, dia menelan salivanya kasar karena gugup.
“Buka semua pakaianmu.”
Ratih terkejut, matanya menatap manik Bima penuh pertanyaan. Namun dibalas dengan tatapan dingin, Ratih segera melakukannya. Dia harus sadar diri kalau Bima adalah pria yang telah membiayai keluarganya dan menolongnya dari kemiskinan.
Perlahan, Ratih menanggalkan semua pakaian itu sampai tidak tersisa apapun. Dia menunduk malu merasakan dinginnya AC menyentuh kulit.
“Tidur,” ucap Bima yang langsung dilakukan oleh Ratih.
Pria itu menarik napasnya dalam sebelum mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur di nakas. Setelahnya Bima ikut berbaring di sisi yang kosong.
“Menghadap padaku.”
Ratih juga melakukannya, dia merasakan selimut yang menutupi tubuhnya sampai batas perut. Kemudian dia merasakan pinggangnya ditarik hingga tubuh mereka yang saling berhadapan semakin rapat.
“Jangan berfikir saya akan melakukan ciuman atau semacamnya, saya harap kamu sadar apa tugas kamu di sini.”
Ratih hanya mengangguk, kepalanya bersentuhan dengan d**a suaminya dan membiarkan pria itu melakukan apapun padanya.
Bima mengangkat salah satu kaki Ratih supaya melingakar di pinggangnya dan memberikannya akses lebih mudah. Bahkan Bima tidak membuka pakaiannya, dia hanya menurunkan sedikit celananya untuk membiarkan organ tubuhnya melakukan tugasnya.
Tangan Ratih seketika meremas kaos Bima dan menggesekan wajahnya di d**a suaminya ketika merasakan sesuatu di bawah sana menyakitinya. Ratih bahkan menggigit bibir bawahnya merasakan sakit, satu tetes air matanya mengalir ketika sesuatu benar-benar masuk ke dalam tubuhnya.
Bima menghembuskan napasnya kasar, dia melingkarkan tangan Ratih di tubuhnya supaya perempuan itu bisa menyembunyikan rasa sakitnya.
Sementara Bima mulai bergerak, mengabaikan apapun yang dirasakan oleh istri keduanya. Tugasnya hanya membuat perempuan itu hamil, lalu kembali pada istri pertamanya.
“Sakit,” cicit Ratih yang sudah tidak bisa menahannya lagi.
“Tahan saja.” Bima tetap menaikan temponya, dia benar-benar ingin segera menyelesaikan semua ini. beberapa kali dia mengeluarkan umpatan dan geraman tertahan, “Shiiit, terlalu sempit,” ucapnya menarik pinggang Ratih supaya bisa melakukannya lebih kuat lagi.
Bukan rasa nikmat yang dirasakan oleh Ratih, tapi rasa sakit akibat gesekan itu yang membuat air matanya semakin turun.
****
Ratih terbangun dari tidurnya saat dia merasakan ada cahaya masuk ke dalam kamarnya dan mengenai matanya. Saat menggerakan tubuhnya, Ratih merasakan seluruhnya begitu remuk. Mengedarkan ke sekitar, sudah tidak ada suaminya di sini. Hanya dirinya yang tertutup selimut tipis.
Melihat bekas darah di sprei, dia segera menutupinya dengan bantal dan segera melangkah ke kamar mandi. Bima benar-benar tidak melakukan apapun kecuali menyemburkan benihnya. Tidak ada ciuman atau apapun itu. Ratih paham, suaminya itu terlalu mencintai istri pertamanya.
Begitu Ratih keluar dari kamar mandi, dia sudah mendapati Bibi Endah di sana sedang membereskan spreinya.
“Bibi?”
“Sarapan kamu Bibi bawa ke kamar, makan di sini ya. Jangan lupa vitaminnya juga, supaya kamu subur.”
Ratih hanya mengangguk dan duduk dan mengambil pakaiannya dari dalam lemari kemudian kembali ke kamar mandi untuk mengenakannya.
Bibi Endah menggelengkan kepalanya di sana. “Kasihan sekali, tapi ini sepadan dengan apa yang mereka berikan. Sangat berbeda saat Tuan Bima menikah dengan Nyonya Kania, mereka berbulan madu selama berminggu-minggu.”
Bibi Endah memasangkan sprei yang baru. “Oh astaga.”
Setelah mengenakan pakaian, Ratih keluar dari kamar mandi. Dia menatap makanan di meja dengan tatapan yang lapar, apalagi semalam dia melayani suaminya sampai kehilangan kesadaran dan tidak ingat apa-apa. Bahkan Ratih mengira kalau suaminya itu meninggalkannya karena marah dirinya tidak sadarkan diri.
“Bi?”
“Kenapa?”
“Aku boleh keluar dari kamar ini?”
“Boleh, nanti kalau Tuan Bima sudah pergi,” ucap sang Bibi mengingat majikannya itu terlihat tidak nyaman dengan keberadaan Ratih.
Perempuan yang tengah makan itu kembali mengangguk. “Kalau menelpon Bapak di kampung, boleh minta sama Kak Kania?”
“Jangan banyak mau dulu kamu, Tih. Inget kamu udah dikasih semuanya. Nanti kalau kamu udah hamil, baru bisa minta yang macam-macam.”
Ratih kembali mengangguk dan focus pada makanannya.
“Cepetan makannya, piringnya mau Bibi bawa biar gak bolak balik.”
“Iya.” Ratih yang merupakan anak penurut itu segera melakukannya, dia makan dengan cepat dan meminum vitaminnya. “Sudah, Bi.”
“Jangan keluar dulu ya, nanti kalau dengar suara mobil pergi baru kamu boleh keluar.”
“Iya, Bi.”
Sepeninggalan Bibi Endah, Ratih beralih duduk di sofa panjang dekat jendela. Dimana dia bisa melihat kolam renang dan halaman belakang dari sana. Dia tersenyum melihat banyak kupu-kupu di sana. Tangan Ratih memegang sebuah foto adik-adiknya yang berada di kampung.
“Kalian pasti sekarang lagi sekolah tanpa harus kerja lagi,” ucap Ratih merasakan perasaan bahagia, meskipun dirinya di sini merasa sangat kesepian. Apalagi tindakan suaminya yang begitu dingin.
Ketika Ratih melamun, foto itu terbawa angin dan jatuh di bawah pohon di halaman belakang.
“Aduh fotonya,” ucap Ratih bergegas keluar dari kamar lewat pintu, melupakan kalau masih ada sosok suaminya yang belum berangkat.
Di sana Ratih melihat suaminya tengah berpamitan pada istri pertamanya, mencium kening Kania, beralih pada hidung, pipi kemudian bibir secara berulang-ulang. Mereka terlihat bercanda di sana dengan saling menggesekan hidung.
Sampai Kania melihat keberadaan Ratih, dia sontak memanggil. “Ratih sini kamu! Sini!”
Kania melambai-lambaikan tangannya, yang mana membuat Ratih ke sana.
“Kakak pikir kamu masih tidur. Sini, noh salim dulu sama Mas Bima.”
Ratih yang dihadapkan dengan Bima itu bahkan tidak mampu melihat manik suaminya, dia langsung menyambar tangan Bima dan menciumnya.
“Cium balik dong, Mas.”
“Yank…,” uucap Bima tidak suka. “Aku berangkat,” ucapnya mengusak rambut Kania sebelum melangkah pergi.
Melihat itu, Ratih hanya bisa menahan kesedihannya.
Kania berdecak melihat suaminya itu. “Maklum ya, Tih, dia emang gitu orangnya. Hari ini kita shooping ya, tapi online, abis itu kita juga cari tempat senam untuk program hamil buat kamu.”
“Iya, Kak.”