Pria Lain

1120 Kata
Aldo dan Bima memiliki kakek yang sama, tapi berbeda Nenek. Yang mana membuat keluarga Aldo seringkali terasingkan hingga dia pindah ke Singapura. Bukan tanpa alasan, Aldo dan keluarganya juga kerap menimbulkan masalah, mempermasalahkan harta warisan yang bahkan mereka tidak berhak mendapatkannya mengingat Kakek dan Nenek mereka tidak menikah secara sah. "Jadi, kemana Kania? Masih sibuk dengan dunia permodelannya?" "Apa tujuanmu ke sini?" "Kenapa kau bertanya seperti itu, aku akan ke rumah Bibi dan Pamanku di Bandung. Tapi aku akan menginap dulu di sini." "Aku tidak menerimamu," ucap Bima dengan tegas. "Pergi dari sini. Kau bisa tidur di Hotel." "Tidak mau, aku akan tidur di tempat biasa," ucap Aldo berdiri dari duduknya. Kemudian berucap pada pembantu di sana, "Bi, bawa ke kamar ya camilannya." Dan meninggalkan Bima dan juga Bibi Endah yang mematung di sana. Pembantu itu menatap Bima untuk meminta persetujuan. Yang dibalas anggukan olehnya. "Lakukan saja, Bi. Dia hanya akan di sini selama satu malam." "Baik, Tuan." "Dimana Ratih? Bibi suruh dia kemana?" Memang saat tadi Ratih keluar dari kamarnya, Bibi Endah memberi perintah pada Ratih seolah dia adalah pembantu untuk tidak mendapatkan kecurigaan. "Saya menyuruh dia ke ruangan cuci, Tuan." Yang mana membuat Bima segera melangkah ke sana mencari sang istri kedua. Dan mendapati Ratih yang sedang mengeringkan pakaian. "Apa yang kamu lakukan?" "Astaga, Tuan," ucap Ratih yang kaget. Dia menatap Bima yang sudah ada di belakangnya. "Mengeringkan pakaian." "Dia sepupuku, dan bertingkahlah selayaknya pembantu dulu." Ratih mengangguk. "Ya, saya paham." "Tapi sebelum itu…." Bima menutup pintu dahulu dan menguncinya dari dalam. Kemudian tanpa aba aba, dia menarik pinggang Ratih dan mengangkatnya supaya duduk di sebuah bangku dengan kakinya yang melingkar di pinggang Bima. "Jangan berisik," ucap pria itu kemudian menjatuhkan ciumam di bibir Ratih. Menyesapnya perlahan dengan merasakan rasa manis dari sana. "Apa yang baru kau makan?" "Um, manisan?" gumam Ratih yang diabaikan oleh Bima mengingat dirinya kembali membubuhkan ciuman di bibirnya. Ratih meremat bahu sang suami, merasakan ciuman yang begitu dalam dan memabukan. Ditambah tangannya yang tengah meremat masuk ke dalam pakaiannya dan naik sampai ke batas dadanya. Membuat Ratih bergerak gelisah di sana. "Tuan…," ucapnya bergetar. "Kita akan melakukannya di sini?" "Ya, tahan desahanmu," ucap Bima yang kini sudah menurunkan celana Ratih dan menaikan kaosnya, sementara dirinya hanya menurunkan celananya saja demi memberi jalan bagi pusaka miliknya. Ketika benda itu saling bergesekan, Ratih memeluk Bima semakin erat dan menyembunyikan wajahnya di d**a sang suami. "Tuan… jangan di sini." "Sepupuku akan curiga, diam saja." "Tapi… oh astaga…." Ratih memejamkan matanya tatkala benda itu masuk, dia membungkam mulutnya dengan telapak tangan. "Sebentar…." "Tegakan tubuhmu, aku ingin melihat wajahmu." Ratih yang masih berada di pelukan Bima itu menggeleng. "Bergerak saja." "Aku tidak akan bergerak sebelum kai menjauhkan wajahmu dari dadaku." Dan Bima pandai menggoda, dia menggerakan perlahan miliknya yang sudah ada di dalam. Sebuah gerakan yang sangat pelan hingga Ratih merasa frustasi. "Tuan…" "Tegakan tubuhmu." Dan terpaksa Ratih melakukannya, dimana bibirnya langsung disambar oleh Bima dengan ciuman yang panas. Ditambah tubuhnya yang mulai bergerak dengan brutal di sana. "Hmmpphhh! Tuan…" "Redam desahanmu." "Tidak, terlalu cepat… hhhh… pelan, Tuan…. Sshhhh…. Ngilu…." "Nikmati saja, dan tutup mulutmu," ucap Bima kembali mencium Ratih dan menghentak semakin kuat. "Sshhhh… perih… pelan…." "Kau yang membuatku seperti ini. Terima saja," ucap Bima menjilati leher Ratih dengan sensual. "Candu," gumamnya. *** "Sshhhhh…. Sudah," ucap Ratih saat dia merasakan dirinya sudah sangat lelah. Entah dirinya sudah keluar berapa kali, yang pasti Bima menggempurnya habis habisan. Padahal dirinya baru keluar 2 kali, berbeda dengan Ratih yang sudah berulanh kali. Di tiga kali tusukan terakhir, Bima kembali menumpahkan benihnya di dalam sana. "Oh… damn," ucapnya menciumi leher Ratih yang bersandar di dadanya. Mereka terdiam sejenak tanpa melepas penyatuan. Sampai Bima mendapatkan telpon, fia merogoh sakunya dan mendapati kalau itu dari Kania. Dia segera mengangkatnya dengan tangan yang lain masih memegang pinggang telanjang Ratih. "Hallo?" "Mas, aku denger dari Bibi kalau afa Aldo di sana." "Iya, dia ke sini." "Dia gak berbuat ulah kan?" "Nggak, tenang saja. Kapan kamu pulang?" "Maaf ya, Mas. Aku pulang kok abis ini. Mas mau apa? Aku bawain oleh oleh gak?" "Gak perlu, pulang aja langsung. Aku kangen." "Maaf, Mas." "Sstttt…. Jangan nangis," ucap Bima saat dia mendengar Kania menangis di sana. Sementara Ratih yang mendengar itu hanya terdiam, mendengarkan bagaimana percakapan antara Kania dan Bima yang terdengar begitu harmonis. Apalagi nada suara Bima yang tidak pernah Ratih dengar sebelumnya. Membuat dia tidak ingin berlama lama mendengarnya. Namun saat Ratih hendak menjauh, Bima menahan pinggangnya hingga penyatuan mereka tidak terlepas. "Aku kangen kamu, Mas." "Aku juga, makannya pulang. Mas kangen dipeluk kamu." Ratih menahan napasnya, rasa sakit itu menghantam dadanya. "Udah kok, abis ini aku gak akan jauh jauh lagi. Aku tutup dulu ya, Mas. I love you." "I love you too," jawab Bima mematikan panggilannya. Setelahnya dia memundurkan langkah melepaskan penyatuannya. Dengan mudah, dia tinggal menaikan rel sleting celananya. Kemudian berkata pada Ratih, "Siapkan nasi goreng yang pernah kau buat di villa." "Baik, Tuan," jawab Ratih yang menurunkan kembali kaosnya, mengambil celananya dan memakainya dengan langkah yang pincang. Sementara sang suami sudah pergi menjauhinya; keluar dari tempat itu. Meninggalkan Ratih dengan sejuta rasa sakit yang menghantam dadanya. Dia hanya bisa menarik napasnya dalam dan mengingatkan lagi pada diri sendiri kalau dirinya tidak boleh berharap lebih. Merasa tubuhnya lengket, Ratih pergi ke kamarnya dan mandi terlebih dahulu sebelum menyelesaikan cucian dan juga menyiapkan makan malam. TOK. TOK. "Tih, kamu di dalam?" "Iya, Bi. Lagi pake baju." "Bibi boleh masuk?" "Masuk aja, Bi." Bibi Endah masuk ke dalam ruangan itu, melihat Ratih yang sedang menyisir. "Tuan besar bilang dia ingin kamu memasak makan malam untuk dia. Nasi goreng buatan kamu." "Iya, Ratih mau buat kok." "Cucian biar sama Bibi aja, kamu siapin aja itu ya." "Iya, Bi." Ratih segera melangkah menuju dapur saat Bibinya sudah pergi dari kamar. Dia menyiapkan bahan bahan dan mengiris bawang di sana. Sampai dia tidak sadar ada seseorang yang memperhatikannya sejak tadi. "Ekhem!" "Astaga!" teriak Ratih kaget mendapati tamu suaminya di sana. "Tuan Aldo." "Maaf mengangetkanmu, kamu terlihat sangat cantik untuk ukuran pembantu di sini." "Terima kasih," ucap Ratih dengan malu, tidak pernah ada yang memujinya seperti itu. Aldo tertawa dan duduk di kursi dekat dapur. "Sudah berapa lama kamu kerja di sini?" "Baru beberapa minggu, Tuan." "Ah, sudah punya pasangan?" "Maaf?" "Pacar? Atau sudah menikah?" "Sudah menikah," ucap Ratih yang membelakangi Aldo, mencoba untuk mengabaikan pria di belakangnya. "Suami saya di kampung." "Tapi sepertinya dia tidak menghidupimu dengan baik, aku bisa menggantikannya," ucap Aldo seduktif sambil berbisik di belakang telinga Ratih. Entah kapan pria itu datang mendekat. "Tuan, tolong menjauh." "Aku tertarik padamu." BRAK! Suara buku yang dijatuhkan ke meja secara sengaja mengalihkan pandangan keduanya. "Apa kalian tidak tau malu?" tanya Bima dengan tatapan tajam dan nyalang pada Ratih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN