8. LAWAN SEIMBANG

1857 Kata
“Dasar, manusia nyebelin. Nggak bosan-bosan apa ganggu ketentraman hidup gue di rumah ini. Baru juga sehari di rumah ini, rasanya gue pengen batal pindah,” gumam Lily kesal saat kembali ke kamarnya. Lily benar-benar jengkel atas sikap Axel. Ia sudah mengakui kesalahannya karena masuk ke kamar pria itu tanpa izin, tapi ia juga tidak tujuan buruk. “Ma, bisa nggak sih kalau Lily kos aja. Kalau gini Lily nggak akan bisa tahan tinggal sama Axel,” gumam Lily frustrasi. *** “Sory Keen nunggu lama ya, gue baru selesai mandi,” sapa Axel saat sampai di ruang tamu dan melihat Keenan sedang duduk santai. “Gue kira Lily nggak berhasil manggil elo dan kasih tahu kalau gue di sini." Saat seperti ini antara Keenan dan Axel akan bicara santai layaknya teman. Keenan sudah bekerja dengan Axel selama hampir lima tahun. Jauh sebelum Axel mendapat jabatan sebagai CEO di perusahaan White Sends Company. Axel tersenyum tipis, “Gadis itu selalu bikin gue kesal tapi anehnya dia lucu juga sih. Jadi gue suka nyiksa dia.” Keenan menatap Axel dengan tatapan menyelidik, “Jangan sampai lupa kalau Lily itu saudara tiri lo. Jangan terlalu keras dengan dia karena dia pikir lo tidak suka dengan keberadaan dia di rumah ini.” “Dia ngomong langsung sama elo?” tanya Axel penasaran. “Nggak, tapi dari caranya nyebut nama lo dia udah malas. Tadi saja waktu gue minta tolong buat kasih tahu lo kalau guedi sini, dia ketakutan dan bilang tidak mau. Tapi setelah gue kasih pengertian akhirnya dia mau bantu.” “Ah udahlah jangan bahas si Lilyput itu, lo mau ngomong apa sama gue?” “Saya udah ngomong sama Toni buat pilih salah satu anggotanya untuk mengawasi Jasmine, sedangkan Toni sendiri yang akan mengawasi Lily.” “Lo udah bilang kalau mereka jangan sampai terlihat oleh Jasmine dan Lily?” “Sudah, mereka tahu kalau ini pekerjaan yang dilakukan tanpa menimbulkan kecurigaan.” Axel mengangguk, “Bagus kalau begitu. Gue harap mereka bisa melakukan pekerjaan ini dengan baik.” “Ngomong-ngomong soal orang itu, apa lo yakin dia orangnya?” “Gue yakin, dan akan gue pastikan lagi dengan mata kepala gue sendiri kalau dia adalah orang sama,” ucap Axel dengan yakin. Setelah urusan bersama Axel selesa, Keenan memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Saat ia menuju mobilnya, Keenan melihat sebuah mobil masuk ke pekarangan rumah tersebut. Salah satu koleksi mobil keluarga Wardana yang ternyata digunakan oleh Pak Jajang untuk mengantar Jasmine. Keenan menghampiri Jasmine yang baru saja turun dari mobil, “Hai Jasmine,” sapa Keenan pada adik Lily yang baru pertama kali bertemu. Pada acara pernikahan Grace dan Leo, keduanya tidak sempat bertemu. Jasmine menatap Keenan canggung, “Maaf, siapa ya?” tanya Jasmine bingung. Keenan mengulurkan tangannya, “Saya Keenan.” “Jasmine. Maaf kok Mas tahu nama saya?” “Saya asisten dari Kakak kamu, jadi saya tahu siapa kamu.” “Kak Lily maksudnya?” tebak Jasmine polos. “Oh bukan, tapi Axel. Saya bekerja untuk Axel.” “Oh Mas Axel, maaf ya kalau saya kurang sopan soalnya saya nggak tahu.” “Nggak apa-apa. Kalau gitu saya pergi dulu ya,” ucap Keenan dengan senyum ramah kemudian berlalu dari hadapan Jasmine. “Ya Tuhan, kenapa asistennya Mas Axel ganteng banget?” gumam Jasmine takjub. “Orang ganteng pasti bergaulnya sama orang ganteng juga. Tapi Mas Keenan lebih manis, karena raut wajahnya nggak segalak Mas Axel.” Jasmine benar-benar dibuat terpukau oleh asisten dari kakak tirinya. *** Makan malam kali ini hanya ada Lily dan Axel, sedangkan Jasmine tidak ikut karena masih merasa ada tugas yang harus dibereskan. Alhasil makan malam terasa sangat sunyi karena keduanya memilih untuk saling diam. “Besok elo berangkat kerja ikut mobil gue,” ucap Axel dingin. Lily menatap kesal kepada Axel, “Nggak usah, gue bisa pergi sendiri.” “Jangan besar kepala deh, ini juga Papa yang minta. Kalau bukan permintaan Papa, gue juga ogah nganterin lo.” “Bilang aja gue yang nggak mau. Pergi sama lo bisa bikin siál seharian.” “Lo dibaikin malah ngatain gue bikin siál. Jangan sok jual malah deh, udah enak kan hidup lo yang sekarang dibanding dulu. Masih aja ngelunjak jadi orang,” sindir Axel. “Dengar ya, masih mending hidup gue dulu dari pada sekarang, aman dan tenteram. Berurusan sama makhluk nyebelin kayak lo, bikin gue sakit kepala,” emosi Lily terpancing karena ucapan Axel yang keterlaluan, “Dan elo tolong ingat ya, tanpa nyokap gue nikah sama Om Leo, hidup kami juga baik-baik saja jadi jangan pernah berpikir uang lo bisa bikin keluarga gue bahagia.” Lily bangun d ari duduknya dan pergi meninggalkan Axel. Bahkan makanan yang ada di piring belum termakan barang setengahnya. Ia cukup tersinggung dengan ucapan pria di hadapannya. Axel terkejut dengan reaksi Lily terhadap ucapannya. Ia tidak menyangka, apa yang dikatakan begitu membuat Lily marah dan tersinggung. “Sejak kapan sih gue punya mulut pedas kayak gini. Kayaknya gue keterlaluan sudah menghina Lily kayak gini. Siál.” Axel benar-benar menyesali ucapannya. Lily masuk ke dalam kamar, membanting pintu dengan keras kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Ia kemudian membenamkan wajahnya di atas bantal. Ia sangat marah dan kesal dengan ucapan Axel. “Emang dia punya hak apa sampai berani menghina gue kayak gitu? Mentang-mentang dia anak orang kaya, seenaknya bilang gue ngelunjak,” ucap Lily sambil terisak. Entah kenapa ia tidak bisa membendung air matanya. “Pokoknya kalau Mama pulang, gue mau bilang nggak bisa tinggal di rumah ini. Nggak sanggup kalau tiap hari ketemu sama Axel si nyebelin itu,” gumamnya kesal. Tokk..Tokkk..Tokk Lily dikagetkan dengan suara ketukan pintu kamarnya. Ia segera menghapus air matanya lalu beranjak dari tempat tidur untuk membuka pintu. “Siapa sih yang ketuk pintu. Nggak tahu lagi bad mood apa?” gerutu Lily kesal. Lily membuka pintu dengan kasar, ia terkesiap karena yang sedang berdiri di hadapannya adalah sosok Axel. Rasa marah dan kesal yang belum hilang, kini muncul lagi karena melihat pria paling menyebalkan dalam hidupnya. “Mau apa lo? Mau ngusir gue dari rumah ini karena gue nggak tahu terima kasih?” tanya Lily sengit. Bahkan air matanya kembali mengalir membasahi pipinya. “Lo nangis?” tanya Axel pelan dengan pandangan menelisik, memastikan kalau pipi Lily memang basah. Lily mengusap air matanya, “Nggak, buat apa nangis karena ucapan lo.” “Tapi lo beneran nangis. Masa itu air mata buaya, kan nggak mungkin,” bisa-bisanya di situasi seperti ini, Axel malah menjaili Lily. “Lo kira gue buaya,” ucap Lily kesal. “Maaf..” suara yang keluar dari bibir Axel begitu pelan. Lily diam, ia takut jika indera pendengarnya salah. Apakah yang diucapkan Axel adalah sebuah kata maaf? Axel menatap Lily serius, “Gue minta maaf kalau ucapan tadi bikin elo tersinggung, marah dan kesal.” “Kenapa lo minta maaf? Kenapa nggak tadi aja sebelum ngomong dipikir dulu?” “Lo satu-satunya orang yang bisa bikin gue jadi Axel yang banyak omong. Jadi saat gue merasa nyaman, maka gue sendiri lupa buat nyaring kata-kata yang keluar dari mulut gue.” “Maksud lo?” Lily nampak sangat bingung. “Selama ini yang jadi lawan bicara gue cuma Keenan dan dia juga lebih sering mengalah debat sama gue. Sekarang ada lo di rumah ini, rasanya gue punya lawan yang seimbang untuk debat. Tapi nyatanya gue terlalu asik sampai lupa memilah mana yang pantas gue ucapkan mana yang nggak.” “Gue kok makin bingung sih?” tanya Lily. “Dasar Lilyput otak lemot, masa orang seperti elo bisa kerja di tempat yang perlu konsentrasi dan kecepatan berpikir tinggi” Lily mendelik, “Eh, bukanya barusan elo minta maaf sama gue. Kenapa sekarang elo ngatain gue lemot lagi, hah?” Axel cekikikan melihat Lily protes kepadanya, “Udah jangan marah-marah lagi. Elo nggak sayang apa sama wajah sendiri, nanti banyak kerutan karena keseringan marah.” Axel menarik tangan Lily, “Sekarang mending lanjutin makannya, tadi kan elo baru makan beberapa suap,” tanpa menunggu persetujuan dari Lily, Axel membawa Lily turun kembali untuk makan. Lily hanya diam, ia masih mencerna setiap perubahan sikap Axel beberapa detik yang lalu. Bagaimana pria itu menunjukkan senyum manis, perhatiannya mengajak Lily kembali makan dan sekarang sentuhan tangan pria itu justru membuat Lily merasa hatinya menghangat. “Gue kenapa ya?” pikir Lily sambil memegang dadanya. “Bisa-bisanya manusia nyebelin  ini bikin gue kesal dan terharu di waktu yang hampir bersamaan.” Jasmine heran melihat Axel berjalan dengan menggandeng tangan Kakaknya. Ia melihat wajah Lily datar seperti orang yang sedang terhipnotis, menurut tanpa perlawanan. Tapi matanya terlihat merah, seperti orang habis menangis. “Kak Lily kenapa, Mas?” tanya Jasmine kepada Axel. “Nggak kenapa kok,” jawab Axel santai setelah mendudukkan Lily di kursi semula. “Tapi matanya kok merah? Kalian habis berantem ya?” tebak Jasmine tanpa ragu. Lily yang tersadar, segera menggeleng, “Nggak kok, Kakak cuma ngantuk,” jawab Lily. “Terus kenapa Kakak bisa digandeng tangannya sama Mas Axel? Kalian dari mana? Bukannya tadi bilang mau makan malam?” Sepertinya Jasmine belum percaya sepenuhnya dengan jawaban dari kedua kakaknya. “Kamu mau makan, kan?” tanya Axel dengan tatapan yang membuat nyali Jasmine langsung menciut. “Iya Mas, ini mau makan laper banget,” jawab Jasmine takut-takut. Suasana hening menemani makan malam ketiganya. Axel mengunyah dengan santai dengan tatapan tidak beralih dari Lily. Sedangkan Lily hanya menunduk karena tidak tahan dengan tatapan Axel. Beda dengan Jasmine, ia memperhatikan kedua kakaknya yang sikapnya terlihat sangat aneh. “Ini berdua kenapa ya? Bukanya nggak akur kenapa jadi kalem banget?” pikir Jasmine. “Dik, besok berangkat sama siapa?” tanya Lily mencoba mengalihkan suasana canggung. “Sama Pak Jajang. Soalnya kata Papa, aku kemana-mana harus sama Pak Jajang.” Leo tidak mengizinkan Jasmine pergi sendiri demi keamanan anak tirinya. “Owh gitu.” “Kenapa Kak? Kakak mau ikut aku?” Lily melirik Axel takut-takut, dan benar saja pria itu sedang menatapnya. “Besok Lily pergi sama aku, jadi kamu sama Pak Jajang saja” “Wah bagus dong, Kak Lily nggak perlu naik ojek lagi” “Selama ini Kakak kamu naik ojek?” “Iya, dari awal kerja juga naik ojek. Kadang jalan kaki juga karena kosnya dekat tempat kerja. Iya kan, Kak?” Jasmine begitu polosnya menceritakan tentang Lily kepada Axel. Lily mendelik Jasmine agar berhenti mengoceh tentang dirinya, “Iya, yang dibilang Jasmine banar. Emang kenapa kalau naik ojek?” “Mulai saat ini jangan lagi naik ojek atau taksi sembarangan. Berangkat kerja bareng gue kalau pulang gue jemput atau nanti dijemput supir.” Lily dan Jasmine kompak saling melirik dengan ekspresi heran sekaligus tidak percaya. Sikap Axel benar-benar sulit ditebak. “Nggak usah lebay deh, gue bisa pergi kerja sendiri. Berasa mau diculik aja kalau dengar lo berlebihan begini,” ucap Lily. “Iya, Mas Axel agak berlebihan” Jasmine menimpali. “Kak Lily ini pemberani, kalau ada yang macam-macam pasti orang itu takut duluan.” “Tidak masalah kalau kalian menganggap berlebihan, tapi ini demi kebaikan kalian juga jadi tolong menurut saja,” jawab Axel tegas. ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan*
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN