Lily sedang berdiri di depan gedung tempatnya bekerja. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam dan artinya hari ini Lily bebas dari lembur. Awal bulan pekerjaan tidak terlalu padat sehingga segalanya masih bisa ditangani dengan mudah.
Beberapa karyawan sudah pulang lebih dulu sedangkan Lily sedang menunggu Axel datang menjemputnya sesuai dengan titah dari ayah tirinya. Lily yang sejak tadi pagi menghindari Axel berharap kalau sikap pria itu tidak membuatnya kesal atau setidaknya Axel tidak akan mengajaknya untuk banyak bicara.
Mengusir rasa bosan, Lily membuka ponsel sambil menjelajah dunia maya. Bukan hobinya tapi terkadang Lily membuka sosial media ketika ia sudah bingung harus melakukan apa. tanpa ia sadari, sebuah mobil berhenti di hadapannya. Perlahan kaca mobil berwarna silver itu terbuka, menunjukkan siapa yang ada di dalam.
“Lily? Belum pulang?” tanya Hery hingga membuat sosok Lily terkejut, bahkan nyaris melemparkan ponselnya.
“Pak Hery, kok belum pulang?” tanya Lily yang tidak berani mendekati pria yang berstatus atasannya.
Ternyata Hery tidak hanya sekedar berhenti tapi juga turun dari mobilnya untuk menghampiri Lily yang sedang berdiri di sisi terotoar. “Perasaan saya yang nanya duluan, kenapa kamu berdiri di sini dan kenapa belum pulang?”
Lily mengusap telinganya, sebuah kebiasaan ketika ia merasa terdesak atau canggung. “Itu Pak, saya sedang menunggu jemputan.”
“Kamu dijemput siapa?” tanya Hery penasaran.
“Saudara saya, Pak.” Jawab Lily cepat. “Bapak sendiri kenapa belum pulang?” Lily ingin mengalihkan perhatian Hery agar tidak mencecarnya dengan banyak pertanyaan.
“Saya mau pulang tapi tiba-tiba lihat kamu jadi saya berhenti.” Jawab Hery. “Saudara kamu sudah jalan menuju ke sini? Kalau belum kamu bisa ikut saya. Kata kamu tempat tinggalnya tidak jauh dari sini kan?”
Lily menggeleng cepat. “Tidak usah Pak!” Serunya tanpa sadar hingga membuat Hery terkejut. “Maaf Pak, maksudnya saudara saya sudah dekat sini kok jadi Pak Hery tidak perlu memberi saya tumpangan.”
Raut kecewa terlihat di wajah pria berkeca mata itu. “Harusnya saya sudah tahu kalau kamu akan menolak.”
“Pak Hery jangan tersinggung, maksud saya ada˗” kalimat Lily terpaksa menggantung saat ia melihat mobil yang tidak asing berhenti di depan mobil Hery. “Mámpus kau Lily,” batin gadis itu.
Hery melambaikan tangan di depan wajah karyawannya. “Ly? Kamu kenapa diam?”
“Eh! Maaf Pak, itu saudara saya sudah datang,” jawab Lily sambil melirik Axel yang masih di dalam mobil. “Saya pulang dulu ya, Pak. Permisi Pak Hery, hati-hati di jalan.”
Baru saja Lily hendak menghampiri Axel, tapi nyatanya pria itu malah turun dari mobil mewahnya. Lily tidak tahu apa yang akan terjadi saat Hery tahu kalau ternyata dirinya memiliki saudara tiri.
“Kamu sudah boleh pulang?” tanya Axel kepada Lily. “Atau kamu mau pulang sama dia?” Jelas Axel masih ingat siapa Hery, pria yang sempat dilihat sangat perhatian kepada Lily.
“Nggak kok, gue pulang sama elo,” jawab Lily cepat. “Pak saya pulang duluan ya, permisi.” Lily langsung masuk ke mobil Axel tanpa peduli dengan sikap bingung Hery.
Setelah meninggalkan Hery yang penasaran, kini suasana mobil terasa sangat canggung. Baik Lily atau Axel sama-sama tidak mau memulai percakapan. Entah sedang sibuk dengan pikiran masing-masing atau memang tidak berniat untuk memulai obrolan.
“Kenapa tadi pagi berangkat sendiri?” tanya Axel mulai memecah kesunyian di dalam mobil. “Atau sengaja menghindar dari gue?”
“Nggak kok, emang lagi buru-buru jadi berangkat duluan,” jawab Lily pelan.
“Oh gue kira dijemput sama cowok tadi. Kalian pacaran?” Axel sama sekali tidak peduli dengan perasaan tidak nyaman Lily ditanya soal Hery.
“Nggaklah, dia atasan gue. Tadi lihat gue sendirian jadi dia berhenti buat nanya gue lagi nunggu siapa.”
Axel mengangguk, “Oh, gue kira kalian pacaran.”
Hening kembali menyelimuti keduanya. Wajar saja sikap Lily dan Axel tidak seperti saudara pada umumnya karena mereka memang bukan saudara kandung. Ikatan batinnya berbeda, kalau dituntut untuk bersikap biasa saja, tentu perlu penyesuaian yang lama. Apalagi sejak awal sikap Axel sudah membuat Lily memiliki penilaian yang tidak baik.
“Kaki lo masih sakit?” tanya Axel yang tiba-tiba ingat dengan luka adiknya. “Nggak mau dibawa ke dokter gitu?”
Tanpa sadar Lily menoleh ke arah kakinya yang luka, lalu menggerakkannya sekilas. “Udah nggak apa-apa sih, cuma masih perih dikit. Bagi cewek hal kayak gini biasa kok, apalagi kerja dituntut mengenakan sepatu model begini, ya wajar kalau lecet.”
“Kenapa wanita selalu senang menyiksa diri sendiri,” gumam Axel.
Lily tidak menanggapi, ia memalingkan wajah ke arah luar mobil dan berharap Axel tidak akan mengajaknya bicara lagi. Pria itu nampak kalem tapi akan lebih baik kalau diam dan tidak mencoba mencari tahu lagi tentang masalah pribadi Lily.
Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama, mobil yang dikendarai Axel sampai juga di kediaman keluarga Wardana. Lily melepas seat belt dan turun dari mobil. Sedangkan Axel masih berada di dalam mobil tapi pintunya sudah terbuka.
“Makasih ya udah jemput,” ucap Lily sebelum pergi meninggalkan Axel.
“Iya sama-sama,” sahut Axel santai yang masih belum turun dari mobil.
Sambil melangkahkan kakinya, Lily berpikir kenapa sikap Axel nampak berbeda. Biasanya pria itu akan selalu berusaha mencari celah membuatnya jengkel.
“Mungkin selama ini gue yang terlalu berlebihan menanggapi jadi sikap dia juga bereaksi berlebihan,” pikir Lily. “Kalau gue kalem, dia ngikut kalem. Artinya dia akan bertindak sesuai reaksi apa yang didapat sama lawan bicaranya.”
Sampai di ruang keluarga, Lily sudah melihat Grace dan Leo duduk di sana. Ada perasaan senang yang Lily rasakan ketika senyum Grace yang lama menghilang kini muncul lagi.
“Segitu besarnya Papa Leo bawa pengaruh positif ke hidup Mama,” batin Lily.
Grace menyadari kedatangan Lily, langsung beranjak dari duduknya. “Ly, ternyata kamu sudah pulang,” sapa Grace. “Mama kangen sama kamu.”
“Ih Mama, biasanya juga kita tinggal pisah,” sahut Lily menggoda wanita itu. “Gimana bulan madunya? Pasti enak dong?” bisik Lily hingga membuat Grace tersipu malu.
“Kamu apaan sih, jangan goda Mama deh.”
“Yeee Mama malu, padahal seneng banget kan.”
“Ly gimana kabarnya?” kejailan Lily terhenti begitu suara Leo terdengar di telinganya.
Lily tersenyum ke arah Leo, lalu kemudian berjalan beriringan dengan Grace. “Baik Pa. Papa Leo gimana kabar?”
“Baik sayang. Axel dimana?”
“Tadi masih di mobil, mungkin sebentar lagi masuk. Kalau begitu Lily mau ke atas dulu ya.”
Suara benturan piring dan sendok terdengar mendominasi suasana makan malam di rumah keluarga Wardana. Si empu rumah tentu duduk di bagian ujung tengah, di dampingi sang istri yang nampak sangat memanjakan sang suami yaitu Leo. Lily yang tengah fokus makan, mengintip dari sudut matanya sikap Grace. Ia hanya tersenyum saat melihat bagaimana Mamanya begitu melayani Leo.
“Gimana masakan Mama, enak?”
“Enak dong Ma. Iya kan Kak?” tanya Jasmine sambil menyikut sang kakak hingga membuat Lily tersedak.
Uhukkk!
“Ya ampun Kak, aku minta maaf.” Jasmine segera menyodorkan gelas berisikan air kepada Lily. “Ini minum dulu.”
Lily meneguk habis air yang diberikan oleh adiknya. Ia malu sekali menjadi pusat perhatian karena tindakan Jasmin.
“Jasmine, lain kali jangan begitu. Liat mata Kakak kamu sampai berair karena batuk-batuk.”
Jasmine merasa menyesal dengan tindakannya. “Maaf, aku nggak sengaja Ma.
“Sudah, ayo lanjutkan makannya. Kamu tidak apa-apa, Ly?” tanya Leo.
“Nggak kok, Pa.”
Axel diam-diam menatap Lily dengan senyum meremehkan. Dan disaat bersamaan, Lily juga melirik Axel yang sejak tadi diam saja.
“Makanya hati-hati,” bibir pria itu bergerak tanpa mengeluarkan suara, namun Lily jelas paham apa yang dikatakan Axel.
Lily memutar bola matanya karena malas. Walaupun pria itu tidak bersuara tetap saja hatinya senang kalau melihat Lily menderita.
“Dasar nyebelin, seneng banget liat gue kesusahan,” batin Lily dongkol.
“Ly, mulai besok kamu akan diantar jemput sama supir baru ya. Jadi tidak perlu ikut dengan mobilnya Axel,” ucap Leo sambil mengelap bibirnya dengan serbet.
“Memangnya harus ya, Pa?” tanya Lily berusaha menawar.
“Papa dan Mama lebih tenang kamu pergi dengan supir. Atau kamu mau sama Axel terus?”
Lily menggeleng. “Nggak Pa, aku sama supir saja.”
“Idih, siapa juga mau nganter lo setiap hari,” cibir Axel.
Leo terkekeh geli melihat reaksi anak-anaknya. “Papa tahu kalau hubungan kalian pasti tidak baik. Tapi percayalah Axel ini anak baik Ly, sikap ketusnya ini nurun dari Mamanya.”
“Lily juga harus menyesuaikan diri sama Axel. Bagaimanapun kalian bersaudara dan jangan sampai saling menyakiti,” imbul Grace.
“Kenapa sikap Lily nggak semanis Jasmine?” sindir Axel. “Jangan bilang waktu hamil, Mama ngidam makan orang.”
“Axel,” tegur Leo yang tidak suka dengan pertanyaan konyol anaknya.
Grace tertawa mendengar pertanyaan lucu Axel. “Nggak apa-apa Pa, pertanyaan Axel memang lucu.”
“Ma, lucu apaan sih?” protes Lily.
“Axel benar Ly, kadang sikap kamu sama orang baru suka bablas galaknya.”
“Habisnya Axel nyebelin.”
“Dih malah bilang gue nyebelin,” Axel tidak terima.
“Tuh kan Pa, anak Papa ini lemesnya kayak perempuan. Nggak mau kalah, maunya menang sendiri.”
Leo menggeleng melihat perdebatan Lily dan Axel. Tapi dalam hatinya ia senang melihat keramaian di rumah ini. Rasanya hidup sepi yang dulu perlahan berlalu karena kehadiran Grace dan dua anaknya.
“Sebenarnya Mas Axel dan Kak Lily sama-sama menyebalkan dan nggak mau ngalah. Jadi jangan saling menuduh, tapi saling introspeksi diri. “Celetuk Jasmine yang dibalas pelototan tajam dari Axel dan Lily.
“Jasmine!” seru Axel dan Lily bersamaan.
Tawa Leo dan Grace kembali pecah melihat anak-anak mereka berdebat sesuatu yang sama sekali tidak perlu dipermasalahkan.
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*