Sukma mengangkat alisnya ketika melihat Lea masuk ke dalam rumah sambil membawa travel bag.
“Wah, tampaknya ada yang mau liburan nih, mau traveling kemana?” tanya Sukma melihat travel bag Lea tampak penuh sesak.
“Bukan mau traveling, Om … tapi pulang ke rumah ibu. Mumpung liburnya panjang jadi mau pulang kerumah aja, kangen sama ibu dan kedua keponakan.”
Mendengar ucapan Lea, Sukma hanya tersenyum lembut. Perempuan ini begitu sederhana dan memiliki keberuntungan wajahnya yang cantik. Dipoles sedikit saja ia sudah tampak mahal. Wajar jika Max dulu memilih Lea untuk menjadi istrinya, tampilannya cocok berada di kalangan apa saja.
“Jadi setelah pulang kantor nanti, saya mau langsung pulang Om, gak mampir ke rumah ini lagi,” ucap Lea tampak sedih.
“Kok kalimatnya seperti kalimat perpisahan begitu? Kamu masih akan tinggal dan ngontrak di rumah ini, kan? Kalau kamu gak ngontrak, nanti Om bisa dapat uang dari mana untuk bayar Sari dan bu Minah?” goda Sukma merendah.
“Ih, Om Sukma bisaaa ajaaa … mana mungkin Om Sukma gak bisa bayar Sari dan bu Minah! Oh iya, padahal Om Sukma rumahnya besar dan kamar di dalam rumah ini juga banyak, kenapa bikin kamar lagi dibelakang?” tanya Lea mencoba mengurai rasa penasarannya dengan bangunan baru yang begitu lengkap yang menjadi kamarnya saat ini.
“Dulu kamar itu di bangun untuk Theo. Saat ia sadar dari kecelakaannya, ia butuh tempat untuk recovery dan nyaman untuknya bergerak. Walau rumah ini luas tetapi terlalu banyak barang yang berat dan besar. Kalau kamu perhatikan, kamar mandi kamu luas dan anti slip. Ada banyak pegangan di kanan kirinya.”
“Oh begitu …, mas Theo sudah bangun belum ya Om? Apa dia masih sakit?” tanya Lea ragu.
“Kenapa? Kamu mau jenguk dia?”
“Oh, nggak … cuma mau nanya keadaannya aja sekalian pamitan karena long weekend ini aku mau pulang,” jawab Lea kikuk.
“Coba ketuk saja pintunya, kemarin malam sih sepertinya demamnya sudah turun, dia sudah duduk-duduk di ruang tivi, hanya pagi ini belum keluar dari kamarnya sama sekali.”
“Ah, nggak deh … nanti saja. Aku pamit ya Om, biar gak terlambat sampai di kantor. Tolong sampaikan salamku untuk mas Theo.”
Lea segera mencium punggung tangan Sukma dan mengangkat travel bagnya yang tampak berat. Setelah Lea berangkat tak lama Theo keluar dari kamarnya.
“Lea baru saja berangkat, ia titip pesan kalau setelah dari bekerja nanti ia akan kembali kerumah orang tuanya,” ucap Sukma saat melihat anak laki-lakinya dari balik kacamata.
“Hmmm… “ jawab Theo pelan.
“Hari ini akan berangkat bekerja?” tanya Sukma.
“Belum, tubuh masih terasa tidak enak, hari ini aku wfh saja.”
“Kalau masih sakit, kamu cancel saja acara kumpul dengan teman - teman kuliahmu. Jika sudah lebih sehat, kamu bisa mengundang mereka kembali.”
“Gak bisa! Saat ini sudah susah untuk bisa berkumpul dengan mereka semua. Sudah 5 bulan kami merencanakan ini … acara kumpul Jumat malam harus tetap ada.”
Sukma hanya bisa menghela nafas panjang dan tak mengatakan apa-apa lagi. Dalam beberapa bulan sekali, Theo dengan beberapa teman kuliahnya secara teratur datang untuk berkumpul agar mereka tetap terkoneksi satu sama lain. Kali ini giliran dilaksanakan di kediaman Theo. Sukma tahu bahwa Theo sangat menanti hal itu.
“Kamu yakin mau buat dirumah ini, kalau Max datang dan melihat Lea bagaimana? Kenapa tak dibuat dirumah mu saja?” tanya Sukma mengingatkan Theo tentang sepupunya. Bagaimanapun Theo dan Max kuliah bersama dan link pertemanan mereka juga sama. Saat menikah dulu, Theo memiliki rumah sendiri bersama untuk ia tinggal dengan mantan istrinya, rumah itu pula yang Theo gunakan untuk bersembunyi saat awal pindahnya Lea kerumah mereka.
Theo hanya diam, biasanya ia merasa bebas jika melakukan apapun di rumahnya sendiri, tetapi kali ini sejak ada Lea, ia merasa rumah sang ayah lebih ramai dan menyenangkan dari tempat tinggalnya.
“Lebih enak disini, tengah kota, mudah diakses oleh semua orang,” ucap Theo cepat mencari alasan.
“Lagi pula, saat pesta pertunangan Max, dia sudah bilang tak bisa datang karena di minggu-minggu ini adalah kesempatannya untuk bisa menyiapkan acara pernikahannya dengan Laras, ia ingin menemani Laras untuk menyiapkan segala sesuatunya.”
Sukma hanya diam tak berkomentar, hanya bisa mengingatkan meminta bantuan Selly sekretaris pribadi Sukma untuk menyiapkan segala kebutuhan acara reuni kecil Theo.
***
Lea menatap rumahnya dengan pandangan penuh rindu. Tinggal dirumah mewah milik Theo memang menyenangkan, tetapi hal itu tetap tak bisa menggantikan hangatnya suasana rumah sang ibu dengan semua hal di dalamnya.
Melihat anak bungsunya tiba, Alin segera menyambutnya dengan sangat gembira. Melihat sambutan sang ibu, hati Lea langsung terhibur dan merasa tenang, sentuhan lembut Alin selalu menenangkan perasaannya.
Malam itu Alin juga kedua anak gadisnya berkumpul di kamar tidurnya hanya untuk bertukar cerita tentang hari mereka. Amelia baru saja menceritakan tentang kesibukannya mencari ayah baru untuk kedua anaknya, sedangkan Lea akhirnya menceritakan apa yang terjadi pada dirinya di kantor, tentu saja ia tak bisa menceritakan bahwa Rendy hampir melecehkannya atau ia satu rumah dengan Theo–atasannya. Lea takut ibunya menjadi paranoid menganggap ia tak bisa menjaga dirinya sendiri sehingga akan menariknya pulang.
“Trus, kamu sudah bicara dengan pak Zul?” tanya Alin sedikit cemas.
“Sudah, walau ia bilang ia mengerti dan bisa memahami apa yang terjadi, tetapi ia sudah memberi jarak untuk tidak berteman lagi. Lea merasa apapun yang Lea lakukan untuk urusan perasaan jadi selalu salah …,” gumam Lea sedih.
“Trus atasan kamu bagaimana?”
“Pak Theo? Dia lagi sakit, sejak sakit Lea belum bertemu dia lagi. Sepertinya dia tersinggung dengan sikap Lea yang menuduhnya arogan dan ikut campur. Lea tak bermaksud begitu, tetapi Lea benar-benar kaget dengan sikap dingin pak Theo sama Rendy, otomatis Lea jadi membela Rendy sebelum tahu kebenarannya.”
“Mungkin pak Theo ada hati sama kamu, dek!” celetukan Amelia membuat Lea tersedak.
“Ck! Gak mungkin, tiap hari Lea dimarahin terus sama pak Theo! Dia itu orangnya detail banget, kalau moodnya lagi bagus, salah sedikit masih bisa senyum, tapi kalau moodnya lagi jelek, manggil aja bisa kedengeran dari ujung ke ujung!”
“Mungkin kamu dek, yang sebenarnya suka sama pak Theo!”
“Apaan sih mbak?! Walau dia duda dan aku janda, bukan berarti semua cowok lajang di kantor bikin aku jatuh cinta!”
“Tapi mbak rasa, pak Theo itu suka sama kamu deh, soalnya dia selalu ada disetiap kejadian! Sepertinya dia memperhatikan kamu. Kalau dia gak ada perasaan sama kamu sekalipun, seharusnya kamu bersikap baik sama dia, tandanya dia atasan yang baik karena sangat melindungi anak buahnya. Jangan di jauhi.”
Lea hanya diam mencoba mencerna semua ucapan Amelia.
“Trus rencana kamu sekarang apa kalau begitu?” tanya Alin mengalihkan pembicaraan.
“Kayanya Lea mau resign aja deh bu, Lea malu karena banyak drama urusan pribadi di kantor. Mulai senin depan Lea mau mulai cari kerjaan baru aja.”
“Kok malah nyerah gitu?”
“Lea gak enak bu dan rasanya juga Lea malas kalau harus bertemu Rendy lagi…”
Alin hanya bisa diam mendengar keinginan Lea, ia tak bisa memaksa karena tak ingin Lea menjadi tertutup dan trauma untuk urusan perasaan.
***
“Mas, catering akan datang pukul 6.30 malam. Tapi nanti siang aku sudah suruh beberapa cleaning service kantor bapak untuk datang kesini dan membantu merapikan rumah sebelum teman-teman mas Theo datang.” Theo mengangguk puas mendengar penjelasan Selly, perempuan itu memang bisa diandalkan.
“Ohya, tolong pesankan bunga sedap malam yang banyak ya … nanti aku suruh bu Imah untuk menyiapkan jar penyimpanannya,” pinta Theo. Selly pun mengangguk lalu berpamitan karena hari ini juga hari liburnya, jadi ia ingin menghabiskan waktu untuk urusannya sendiri.
Hari ini Theo mengundang 10 orang teman kuliahnya untuk menghabiskan waktu bersama. Annie juga akan datang bersama suaminya Pras, karena mereka dulu sekolah ditempat yang sama termasuk Max. Ada sedikit keraguan di hati Theo untuk menanyakan kembali apakah Max bisa hadir atau tidak di acara reuni kecil mereka malam ini. Bagaimanapun semua teman dekat Theo juga teman dekat Max. Karena dulu mereka selalu bersama-sama termasuk bersama Fara, mantan istri Theo yang juga berawal dari pertemanan akhirnya menjadi pernikahan.
“Mau kemana, Pa?” tanya Theo saat melihat sang ayah membawa koper kecil keluar dari kamar, padahal mereka rencananya mau berangkat untuk shalat jumat bersama.
“Papa mau menginap di hotel malam ini,” jawab Sukma santai.
“Loh, ngapain?”
“Ck, kamu pikir papa setua itu sehingga tak punya teman-teman untuk menghabiskan waktu bersama juga seperti kamu?!”
“Okay … cuma nanya, Pa. Gak perlu marah…”
“Kapan Lea kembali?” Pertanyaan Sukma membuat degupan di d**a Theo.
“Oh, aku gak tahu … kami belum berkomunikasi lagi…”
Sukma diam dan menatap Theo yang mencoba menyembunyikan keterkejutannya ketika nama Lea disebut.
“Berantem?”
“Oh, nggak! Kemarin kan aku sakit, Pa. Jadi belum ngobrol lagi aja, aku gak tahu kapan dia kembali.”
“Yang penting kamu make sure dia tidak ada jika Max datang. Ganjil rasanya, Papa dukung kamu kucing-kucingan begini dari Max soal hubunganmu dengan Lea.”
“Theo gak punya hubungan apa-apa sama Lea, hanya rekan kerja! Jadi gak ada yang kucing-kucingan!”
Sukma hanya diam dan menarik kopernya sampai akhirnya ia meminta tolong Sugi untuk membawa ke dalam mobil.
“Coba kamu hubungi Lea, pastikan ia tidak ada disini saat Max datang, atau pastikan Max tidak ada jika Lea datang.”
“Iyaa…”
Theo hanya bisa mengatur nafasnya, ia sendiri tak berniat untuk menghubungi Lea, yang akan ia lakukan adalah memastikan kehadiran Max, Lea tak mungkin kembali hari ini. Ia lebih suka berada di rumah ibunya daripada menghabiskan waktu dirumah kost-annya ini.