Lea hanya diam dan kedua orang itu akhirnya makan dalam kesunyian. Theo yang selesai makan terlebih dahulu segera meninggalkan Lea dari meja makan dan berjalan tertatih-tatih perlahan tanpa tongkat untuk duduk diruang keluarga.
Melihat atasannya sudah selesai makan, Lea pun segera menyelesaikan makan malamnya.
“Saya pamit ya pak, terimakasih untuk makan malamnya.”
“Mau kemana?”
“Kembali ke kamar…”
“Sini dulu sebentar, tolong bantu aku …”pinta Theo sambil memberikan sebuah tabung pada Lea. Dengan ragu segera menerima tabung itu dan berdiri disisi Theo.
“Kakiku sakit, tolong semprotkan mulai dari telapak sampai pergelangan kakiku yang sebelah kanan.”
Lea pun duduk di sudut sofa dan segera menyemprotkan cairan dalam tabung itu dikaki yang diminta oleh Theo. Cairan itu terasa begitu dingin menyentuh kulit dan tampak menenangkan Theo yang sepertinya menahan rasa ngilu sedari tadi.
“Trus diapain lagi pak?” tanya Lea setelah menyelesaikan tugasnya.
“Tolong pijat kaki kiriku. Kamu bisa pijit gak?”
“Hanya pijatan biasa, gak bisa sampai refleksi begitu.”
“Tak apa, tolong pijat kaki kiriku ya, dari telapak sampai tekukan lutut.”
Lea tampak seperti orang terhipnotis, ia segera meminta baskom berisi air hangat dan handuk kecil untuk membersihkan kaki Theo sebelum akhirnya ia memijat dengan essential oil.
Theo tampak meringis sekaligus menikmati pijatan Lea, ia hanya merasa lelah dan pijatan Lea membuatnya merasa relaks.
“Kamu punya bakat untuk jadi tukang pijat. Pijatannya pas, tidak terlalu keras juga tidak terlalu lembut, tetapi tepat menuju titik untuk melemaskan otot kaku. Aku yakin, mantan suami kamu pasti dulu senang kamu pijat seperti ini.”
“Hah? Boro-boro pijat pak! Pulang aja malam dan jarang,” ucap Lea spontan dan sambil terkikik sendiri membayangkan masa lalunya bersama Max.
“Masa sih? Kamu jadi jarang begituan dong?”
“Apaan sih bapak pertanyaannya!” pekik Lea dan tanpa sadar memukul kaki Theo tipis tapi terasa pedas.
“Haduh! Sakit! Kamu tuh hobby banget mukul ya?! Jangan-jangan kamu cerai karena KDRT sama suami!”
“Abis bapak nanyanya gitu sih!”
“Ya tapi gak perlu dipukul juga, sakit Lea!”
“Maaf ya pak…”
Lea menundukan kepalanya dan kembali mengusap kaki Theo, kali ini terasa lebih lembut karena merasa bersalah.
“Kalau kamu gak mau jawab soal masa lalu kamu juga gak apa-apa kok, saya bertanya hanya untuk membuka pembicaraan lebih banyak saja,” ucap Theo perlahan dan membuat Lea mengangkat kepalanya untuk menatap Theo.
“Terus terang saya canggung pak … bapak kan atasan saya di kantor, sekarang kita malah satu rumah, maksud saya, kita berada dirumah yang sama.”
“Aku mengerti … “
“Soalnya status saya juga membuat saya harus menjaga diri pak, biar gak jadi omongan orang.”
“Memangnya banyak yang menggunjingkan kamu?”
“Mereka sebenarnya cuma heran saja, kata mereka saya gak jelek tapi baru setahun menikah sudah bercerai, banyak yang berpikir saya yang berselingkuh atau yang berbuat kesalahan karena saya masih muda.”
“Padahal?”
“Padahal gak cocok aja … suami saya yang gak cocok sama saya …”
“Maksudnya?”
“Dia cintanya sama orang lain.”
“Dia selingkuh?”
“Nggak bisa disebut selingkuh juga, karena sebelum menikah saya tahu bahwa dia mencintai wanita lain.”
Theo terdiam, ia tak menyangka apa yang diceritakan Max memang benar adanya.
“Kok kamu mau menikah dengan mantan suamimu? Padahal kamu tahu dia cintanya sama perempuan lain. Ketemu dimana?”
“Pertama kali bertemu di acara kantor almarhum ayah saya. Ada acara silaturahmi keluarga besar perusahaan itu beberapa tahun yang lalu. Suami saya itu anak bos ayah saya. Tampan dan Kaya, tipe suami idaman dan ideal banget deh! Usia kami cukup jauh, sekitar 7 tahun, saat itu saya masih kuliah. Kami kembali bertemu ketika ayah saya meninggal, dari situ jadi ngobrol dan hanya sekedar bertukar kabar via wa. Dua tahun yang lalu kami tak sengaja bertemu kembali, kami jadi dekat awalnya seperti sahabat. Dia menceritakan kisah cintanya pada saya tanpa pernah tahu saya mencintainya.”
Lea menghentikan ceritanya dan kembali memijat kaki Theo sambil termenung sesaat.
“Trus?” tanya Theo tampak penasaran dan tak puas.
“Orang tuanya gak setuju sama pilihan mantan suami saya dan mencoba menjodohkannya dengan perempuan lain. Tapi mantan suami saya gak mau, dan akhirnya mengajak saya menikah agar tak terus menerus di jodohkan dengan perempuan lain.”
“Kok kamu mau?”
“Soalnya saya cinta sama mantan suami saya pak. Orangnya baik dan sangat perhatian. Saya begitu yakin jika menikah nanti saya bisa menaklukan hatinya dan dia akan berbalik mencintai saja. Saya begitu yakin jika ia bisa baik dan perhatian pada saya, tandanya perasaan sayang dan cinta itu pasti ada. Tugas saya hanya harus membuat perasaan itu tumbuh besar dan bersemi. Ternyata saya salah … dia tidak pernah memiliki perasaan sama saya selain rasa sayang seperti adik.”
“Apa kekasihnya sangat cantik, sampai-sampai dia tak melihatmu sama sekali? Menurutku kamu cantik Lea, sudah pasti banyak pria yang dengan mudah jatuh cinta padamu.”
Lea hanya tersenyum getir saat mendengar pujian Theo. Entah mengapa ia tak merasa tersanjung mendengarnya.
“Kekasih suami saya cantik dan luar biasa. Orangnya sangat cerdas sehingga ia mendapatkan beasiswa dan bisa sekolah sangat tinggi. Kini karirnya pun bagus. Beda sama saya pak, akademik saya hanya pas-pas an.”
Lea tersenyum sendiri, pijatannya dikaki Theo kini terasa seperti usapan saja karena ia terlarut mengingat masa lalunya.
“Tadi bapak nanya apa saya begituan sama suami saya,kan? Selama menikah hanya tiga kali pak, itupun yang pertama karena terbawa suasana saat bulan madu dan yang membuat saya super yakin bahwa saya bisa mendapatkan perasaan suami saya. Dua lagi saat suami saya pulang dalam keadaan mabuk … itu pun bukan nama saya yang ia panggil saat kami bercinta … tapi…”
“Sudah, cukup! Jangan diteruskan!” ucap Theo tiba-tiba sambil meletakan jari telunjuknya dibibir Lea.
“Kamu tak perlu menceritakan hal itu padaku, dan aku tahu itu sesuatu kenangan yang menyakitkan untukmu, Lea …” ucap Theo lirih merasa kasihan pada Lea. Mendengar ucapan Theo, mata Lea terlihat berkaca-kaca. Ucapan Theo terasa benar dihatinya, mengingat kenangannya bersama Max adalah sesuatu yang indah sekaligus sangat menyakitkan untuk Lea.
Lea menundukan kepalanya ketika air matanya jatuh tiba-tiba dan segera menghapusnya.
“Saya pamit ya pak, sudah ngantuk,” ucap Lea cepat sambil memalingkan muka dan berdiri meninggalkan Theo yang masih selonjoran di sofa.
Sepanjang jalannya menuju kamar, Lea tak bisa menahan tangisnya. Walau tak bersuara tapi bahunya terlihat naik turun. Walau sudah satu tahun berlalu, ternyata ia belum mampu mengikhlaskan semuanya. Hatinya masih sangat terluka begitu dalam.
Theo mendudukan tubuhnya sebelum ia berdiri dan berjalan tertatih-tatih menuju bagian belakang rumah dan melihat lampu kamar Lea yang masih menyala sebelum akhirnya padam. Lea tak menyadari saat ia menangis sedih didalam kegelapan, Theo berada dibalik pintu kamarnya, berdiri sesaat seolah ingin menemani Lea yang tengah mengeluarkan isi hatinya yang sedih.
Bersambung.