Lea tampak gugup ketika berpapasan dengan Theo di lobby kantor saat waktu pulang kerja. Tampaknya Theo tengah menunggu kendaraannya untuk pulang. Perempuan itu segera menundukan kepalanya dan tersenyum kikuk. Theo pun hanya membalas senyuman Lea dengan senyuman kaku dan membiarkan karyawannya itu berjalan meninggalkannya tanpa berkata apa-apa.
Tadi pagi Lea pun bersikap berbeda, ia tampak jauh lebih pagi untuk berangkat ke kantor. Padahal Theo ingin mengajaknya untuk sarapan bersama tetapi perempuan itu sudah tak ada dikamarnya. Selama di kantor pun Lea tampak berusaha menghindari Theo dengan selalu tidak berada ditempat ketika ada Theo disekitar.
Theo hanya bisa memaklumi sikap canggung Lea. Dan ia pun menceritakan pada Annie bahwa Lea sudah tahu bahwa induk semangnya adalah atasan kantornya sendiri saat makan siang.
“Tapi Lea belum mengatakan apapun padaku,” ucap Annie saat mendengar cerita Theo.
“Sudah biarkan saja, aku menceritakan hal ini agar kamu bersiap ketika ia bertanya mengapa kamu menawarkan rumah itu untuknya.”
“Menurutku, walau ia sudah berstatus janda, Lea masih termasuk polos untuk seusianya. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan pernikahannya dulu, tetapi aku sadar bahwa ia masih belum punya banyak pengalaman dalam hidup dan pekerjaan.”
Mendengar komentar Annie, Theo hanya diam. Di dalam hatinya ia mengiyakan hal itu. Mungkin selama ini ia hanya mendengar semua cerita tentang Lea dari mantan suaminya, Max.
Dering telepon menyadarkan lamunan Theo dan menatap nama yang tertera di layar kaca handphonenya dengan sedikit takjub. Baru saja ia mengingat pria itu kini orang itu malah menghubunginya. Max.
“Halo,” sapa Theo sambil masuk ke dalam mobilnya.
“Susah sekali sih aku hubungi. Om Dito apa sudah kembali dari Jepang?” tanya Max dengan suara yang terdengar riang.
“Belum, mungkin lusa.”
“Pas kalau begitu! Minggu depan kami akan mengundang seluruh keluarga makan malam. Aku harap kamu bisa datang bersama Om Dito.”
“Makan malam? Ada acara apa?”
“Hanya untuk mengumumkan bahwa aku sudah melamar Laras secara resmi dan akan mengumumkan tanggal pernikahan kami.”
“Congratulations! Apa tante Frida dan juga Om Ken sudah bisa menerima Laras?”
“Tentu saja. Akhirnya mereka menyerah dan bisa menerima Laras dengan baik. At the end, Love wins.”
Entah mengapa mendengar ucapan Max, hati Theo merasa sedikit kasihan pada Lea. Pria ini begitu bahagia karena mendapatkan cinta sejatinya, sedangkan di lain sisi ada perempuan yang menangis karena harus mengalah pergi.
“Mantan istrimu?” tanya Theo ragu tetapi ia tak tahan untuk tidak bertanya pada Max.
“Beberapa minggu yang lalu aku masih bertemu dengannya, ia mengembalikan uang yang kuberi. Tetapi dia harus move on, Theo. Saat ini aku hanya ingin bersama Laras.”
Theo hanya diam sesaat, lalu mengalihkan pembicaraan dengan sepupu jauhnya itu. Iya, Theo adalah sepupu jauh Max. Orang tua mereka bersepupu karena kakek- kakek mereka beradik kakak. Tetapi keluarga besar itu cukup dekat, apalagi usia Max pada Theo hanya terpaut satu tahun lebih muda. Mereka bahkan kuliah di universitas yang sama di Melbourne.
Max dan Theo selain memiliki hubungan keluarga juga sangat dekat seperti sahabat. Empat tahun yang lalu Max lah yang menyemangati Theo ketika ia hancur karena harus bercerai dengan Fara sampai ia mengalami kecelakaan fatal dan membuat kakinya kini menjadi pincang. Dalam masa itu lah, sambil menemani Theo, Max menceritakan kisah cintanya dengan Laras, anak asisten rumah tangga keluarga Max yang cantik dan cerdas.
Keluarga Max yang kaya raya tampaknya enggan merestui hubungan keduanya sampai akhirnya Max bercerita bahwa ia akan menikahi Lea, untuk menutupi hubungannya dengan Laras.
“Aku akan menikahi Lea, agar kedua orang tua ku tak berisik dan mencurigai terus menerus hubunganku dengan Laras. Aku akan menunggu Laras sampai ia bisa menyelesaikan S2 nya di Inggris. Aku akan membiayai semuanya. Laras adalah perempuan cerdas dan sangat cantik bagiku. Aku yakin suatu hari nanti kekasihku itu bisa menunjukan pada kedua orang tuaku akan kemampuannya sendiri, walau orang tuanya pernah menjadi asisten rumah tangga dirumahku.”
Tetapi Theo tak pernah bertemu dengan Lea, bahkan ia tak pernah menghadiri pernikahan sepupunya itu karena tengah pengobatan untuk kakinya. Ia hanya bisa melihat Lea sesekali dari sosial media Max dan mendengarkan cerita tentang dirinya dari Max sampai akhirnya Max memutuskan untuk bercerai dengan Lea setahun yang lalu.
“Lebih cepat lebih baik, aku tahu pernikahanku dengan Lea masih seumur jagung. Lea terlalu mencintaiku sedangkan aku tak bisa membalas perasaan cintanya, lebih baik kami berpisah dari sekarang sebelum perasaan istriku itu semakin hancur. Lagi pula ia masih sangat muda dan cantik. Masih banyak kesempatan untuknya mencari penggantiku.”
Kini, siapa yang menyangka takdir mempertemukan Theo dengan Lea sebagai karyawannya di kantor. Entah mengapa Theo segera mengenali wajah Lea walau belum pernah bertemu. Dugaannya benar, bahwa Lea adalah mantan istri sepupunya.
Pertolongannya untuk Lea saat ini bukan karena ia menaruh hati pada Lea, tetapi ia merasa kasihan pada perempuan itu karena ia bisa merasakan apa yang Lea rasakan, yaitu cinta yang bertepuk sebelah tangan. Seperti kisah cintanya dengan Fara sang mantan istri yang tak lagi mencintai Theo.
Theo menghela nafasnya ketika mobil yang ditumpangi memasuki gerbang halaman rumahnya. Sekelebat ia melihat seseorang segera menutup pintu kamarnya ketika mobil Theo diparkir di lorong jalan menuju halaman belakang. Ia tahu itu Lea yang tampaknya langsung pulang kerumah setelah dari kantor tadi. Entah mengapa Theo merasa lega ketika menyadari Lea bukan seperti perempuan mudanya yang sering menghabiskan waktu untuk bersenang-senang setelah pulang kantor.
“Mau makan malam sekarang, Mas?” tanya Sari salah satu asisten rumah tangganya. Theo menoleh dan melihat hanya ada satu piring diatas meja makan.
“Sediakan piring yang lain untuk Lea, tolong sampaikan saya ingin makan malam bersama.” Mendengar perintah majikannya, Sari segera mengangguk dan menyiapkan satu set piring lagi untuk Lea.
Tak lama, Sari pun mendatangi kamar Lea dan memberitahu bahwa Theo ingin makan malam bersama.
“Makan malam? Bilang saja saya sudah pesan go food…”
“Batalkan go foodnya, ayo masuk!” Lea hampir tersedak nafasnya sendiri ketika ucapannya dipotong oleh Theo yang ternyata sudah berdiri didepan pintu belakang dan menyuruhnya masuk.
“Ayo mbak, dipanggil mas Theo.”
Lea hanya mendengus kesal sesaat sebelum ia mengikuti langkah Sari untuk masuk rumah utama. Entah mengapa ia tak dapat bersikeras untuk menolak permintaan Theo. Tak hanya di kantor, kali ini dirumah pun ia merasakan hal yang sama, takut pada atasannya.
“Duduk!” suruh Theo yang telah berganti pakaian hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Lea pun segera menurut dan duduk dihadapan Theo.
“Ayo makan,” ajak Theo sambil mengambil piringnya.
“Saya pesan go food pak, untuk makan malam.”
“Memangnya sudah pesan?”
“Belum.”
Lea merasa ingin menampar mukanya sendiri karena jawaban spontannya. Theo hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala.
“Kenapa? Gugup?”
“Nggak!”
“Trus?”
“Gak mau aja disini!”
“Sudah, ambil nasi dan lauknya, makan! Kaya gaji kamu besar aja, tiap hari pesan makanan online.”
Mendengar sindiran Theo, Lea hanya merengut tetapi segera mengangkat piringnya untuk mengambil lauk.
“Seharusnya kita tak boleh begini,” gumam Lea pelan ketika mulai menyuap makanan ke mulutnya.
“Harusnya bagaimana?”
“Harusnya aku tak ada disini, gak enak pak.”
“Bosan,ah! Dari kemarin alasan itu terus yang kamu katakan!”
“Tapi kan betul!”
Theo hanya diam, lalu menatap Lea dalam.
“Tenang saja, kamu gak usah sungkan. Jika orang-orang tahu, aku bisa menjelaskan kepada mereka semua.”