4

505 Kata
Suara dering lagu Don't Watch Me Cry by Jorja Smith terdengar nyaring dari ponsel Lexi membuat sang empunya terbangun dari tidurnya. Sambil meraba-raba ponsel di tempat tidurnya, Lexi pun mengangkat tanpa membuka matanya. "Hallo," sapa Lexi dengan mata masih terpejam. "Hallo Kak. Kakak di mana?" tanya Laura. "Ooh Lau. Kakak di rumah. Ada apa?" "Kakak kapan datang ke rumah sakit?" "1 jam lagi Kakak ke sana." "Iya Kak. Aku tunggu yaa Kak." "Iya." "Ooh iya Kak tadi dokter yang merawat Mama mau bicara sama Kakak." "Iya nanti Kakak akan menemui dokternya." "Hati-hati di jalan ya Kak. Aku akan menunggu Kakak di sini."  "Iya Lau. Kamu baik-baik yaa Lau."  "Aku sayang kakak."  "Kakak juga Lau."  Suara hela napas terdengar berat dari bibir dara berusia 23 tahun tersebut. Lexi akhirnya membuka matanya. Rasa kantuk masih menderanya akan tetapi ia harus ke rumah sakit dan sudah tahu kalau dokter akan kembali bertanya tentang biaya operasi Mamanya.  "Aku lelah Yaa Tuhan," ucap Lexi tak bersemangat. "Mana Brenda belum kasih kabar lagi." Lexi merasa gusar sendiri. Dengan langkah tak bersemangat Lexi ke kamar mandi. Hanya mandi akan membuatnya menjadi lebih baik, ia butuh penyegaran sejenak agar terlihat baik-baik saja dihadapan Laura. Ingin rasanya ia menyuruh adiknya agar di rumah saja dan fokus dengan sekolahnya, tapi Laura memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya demi menjaga Sila di rumah sakit.  Setelah merasa segar Lexi hanya mengganti pakaian seadanya. Sudah tidak ada lagi baju branded yang bisa dipakainya. Semua sudah ia jual demi memenuhi kebutuhan dan biaya hidup sehari-hari.  "Seandainya Papa ga masuk penjara dan ga menggelapkan uang perusahaan, tentu semua ini ga akan pernah terjadi. Aku benci Papa yang membuat hidupku yang baik-baik saja menjadi sengsara," ucap Lexi dengan marah.  Lexi marah dengan keadaannya. Sulit rasanya menerima kenyataan yang ada saat ini. Papanya di penjara, Mamanya sakit kanker otak, putus kuliah, adiknya sudah tidak bersekolah, kehilangan mobil, rumah, bahkan kehilangan pria yang selama ini menjadi kekasihnya. Lengkap lah sudah penderitaannya. Dengan menggunakan bus yang dulu tidak pernah diliriknya, bahkan sama sekali tak pernah ada dalam bayangannya akan naik bus. Akan tetapi semua itu hanya cerita masa lalu pada kenyataannya bus lah yang sekarang jadi alat transportasinya. Setelah beberapa saat tiba lah Lexi di depan rumah sakit. Ia menghela napasnya dengan berat. Harus bertemu dokter yang akan membuat pikirannya semakin pusing. Seandainya keluarganya masih seperti dulu tidak mungkin ia akan mengalami sakit kepala yang tidak tertahankan seperti saat ini.  Lexi merasa horor saat melewati koridor rumah sakit yang terasa begitu mencengkam bagi orang yang kesulitan keuangan seperti dirinya. Kalau ada uang semua akan jadi lebih mudah. Ia tersenyum saar melihat Laura tertawa perlahan sambil memegang ponsel duduk di depan ruang rawat.  Bagi Lexi bisa melihat adiknya tertawa bagaikan mendapatkan semangat. Sudah lama ia tidak melihat Laura seperti itu, ia paling tidak tahan saat Laura menangis pilu dengan keadaan Sila, mamanya. Apa lagi Laura sangat terpukul saat mengetahui Josep, Papa mereka di penjara. Ia hanya bisa menyemangati Laura, tanpa orang tahu kalau ia juga lebih terpukul dengan semua yang terjadi.  Keadaan bisa membuat orang berubah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN