Meninggalnya Ilyas

1403 Kata
Aku pergi menyusul Candra, mengikuti nya berjalan di belakang. Candra terus berjalan kearah kebun. Aku terus mengikutinya sampai akhirnya dia berhenti di sebuah batu besar. Dia duduk di batu besar itu. Aku pun menghampirinya. Malam ini penuh dengan emosi. "Bang ?" tanyaku lembut, berdiri di belakangnya. "Pergilah !" seru Candra tanpa menoleh padaku. Dia duduk sambil tertunduk. "Aku tidak mau pergi, aku ingin menemanimu." "Tidak usah, pergilah aku ingin sendiri." Suara Candra terdengar berat dia seperti menahan tangis. Candra menarik nafas dalam-dalam. Entah kenapa perkataannya membuat hatiku sakit. Dia mengusirku, dia pasti sangat marah padaku, sampai-sampai tidak mau aku ada bersamanya. Aku tetap berdiri di belakangnya. Sambil tertunduk, aku menangis. Lenganku yang terbentur kursi kayu terasa sakit, tapi hatiku terasa lebih sakit lagi dengan sikap Candra padaku. Ini pertama kalianya dia dingin padaku sejak kami kenal dan akhirnya menjadi sahabat. Aku sering membuatnya marah, tapi dia tidak pernah bersikap sedingin ini. Ini pertama kalinya dia mengabaikanku. Hati ini terasa hancur tak terasa air mata menetes di pipi. "A-aku minta maaf Bang." kataku sambil menangis. "Sudahlah gak perlu minta maaf terus," jawabnya sambil terus membelakangiku. "Gak usah menangis, pergilah! " serunya dengan nada sedikit membentak. Astaga hatiku sakit sekali di usir oleh Candra. Nyesek banget, aku terus tertunduk lemas, terisak menahan tangis, air mataku bukannya berhenti tapi malah terus keluar. Dadaku sesak. Aku menghela nafas. Ku usap air mata yang mngalir di pipi. "Bang apa kau mambenciku ? Apa kau tidak ingin melihatku lagi ?" tanyaku lirih. Candra diam seribu bahasa. Jangankan menjawab pertanyaanku bahkan melihatku saja dia tidak mau. "Kenapa kau diam saja. Apa kau tidak mau berteman denganku lagi ? Kenapa kau tidak melihatku ?" Candra tetap membisu dia tidak menjawab pertanyaanku. Melihat sikapnya Candra padaku. Hatiku seperti di tusuk-tusuk . "Kenapa kau terus diam ? Apa ini berarti persahabatan kita berhenti sampai di sini ?" Aku menarik nafas dalam-dalam. "Baik lah kalau begitu aku tidak akan mengganggumu. Aku akan pergi, " ucapku sambil terisak. Aku pun berjalan sambil menangis pergi meninggalkan Candra. Ya ampun apa kau tau ? Putus persahabatan itu sakitnya dua kali lipat dari pada putus cinta. Asli nyesek banget. Aku kembali kerumah ketua adat, "Wah !" Sandi dan Reza menghampiriku. "Hey kenapa menangis? Candra mana ?" "Dia di sana, di kebun," jawabku. "Yaudah San temani Wahyu pulang ya, aku nyusul Candra," perintah Reza. "Iya baiklah, ayo Wah," jawab Sandi. "Jangan nangis lagi. Tenanglah semua akan baik baik saja." Sandi menggandeng dan menenangkanku. *** Pagi ini lenganku masih terasa sakit. Dan ternyata lenganku memar. Aku, Ichal dan Candra bersama teman-teman yang lain berada dalam satu ruangan. Tapi kami tak saling bicara, kami terdiam dengan pikiran kami masing-masing. Aku mengambil kotak P3K di ranselku. Aku ingin mengganti perban di lutut dan lenganku. "Wah ayo ikut aku sebentar, " ajak Riska sambil menarik lenganku. "Kya... au sh..." aku meringis kesakitan saat Riska menarik lenganku. Sontak semua mata tertuju padaku. Semua ornag yang ada di ruangan ini melihatku. "Eh Wah kau kenapa ?" tanya Riska. "Gak papa," jawabku sambil nyengir. Riska memperhatikan lenganku. "Coba lihat." Dia langsung menyibak lengan kaosku dan menangkatnya keatas. "Astaghfirulloh alhadzim Wah tanganku memar ini kenapa ?" Aku menggelengkan kepala sambil nyengir. "Gak papa," jawabku. "Itu pasti karena jatuh kemarin kan pas meleraiku berkelahi dengannya." Sahut Ichal sambil melihat Candra. "Bukan," jawabku. "Udah lah nanti juga sembuh cuma memar ini." "Tapi itu parah banget Wah, jangan sembrono. Luka memar sampai mennghitam gitu, jangan-jangan lenganmu retak," sela Reni. "Apaan sih mbak enggak kok lihat tanganku masih bisa gerak, kalau retak pasti sakit buat gerak," jawabku. "Kamu ini Wah di khawatirin juga," sahut Riska. "Iya, terimakasih ya kak udah khawatir. " "Candra di mana? " "Ada di sana, aku balik dulu ya kak. " "Yaudah ayo balik bareng aja, kita kasih waktu Candra untuk sendiri. " Aku menganggukan kepala, kami kembali ke rumah tetua adat. **** Keesokan harinya, pencarian kembali di lanjutkan, Candra dan bang Bar ikut bersama warga mencari Ilyas. Jam lima sore Candra dan rombongannya telah kembali namun bang Bar dan sebagian rombongan belum juga kembali. "Belum ketemu juga ya Ilyas Ndra? " tanya Riska. Sambil terduduk lemas dan menundukan kepala, Candra hanya menjawab pertanyaan Riska dengan menggelengkan kepala. "Yang sabar ya Ndra Ilyas pasti ketemu," ujar Riska sambil menepuk-nepuk bahu Candra. Aku hanya terdiam di pojokan memperhatikan mereka, Candra sepertinya masih marah padaku, jangankan berbicara dia bahkan tidak mau menatapku sama sekali. Perlakuan Candra padaku yang seolah-olah tidak mengenalku membuat hatiku sakit, aku lagi-lagi aku terdiam menahan tangis. Beberapa saat kemudian rombongan bang Barpun datang, ternyata mereka bersama Ilyas. Candra yang mengetahui Ilyas sudah ketemu ia langsung bergegas lari menghampiri bang Bar. Ilyas yang lemas di pikul dengan tandu, mereka membaringkannya di tempat tidur. "Alhamdulilah Ilyas ketemu Wah, " ujar Riska. Aku mengangguk sambil tersenyum lega, kami semua mengerumuni Ilyas, Candra memegang tangan Ilyas dan memeluknya, tapi tiba-tiba Ilyas mendorongnya dengan keras hingga Candra terpental dan hampir jatuh. Ilyas mengerang, "arg... Pergi ! " bentaknya. "Dia kenapa ini ? " tanya Candra. "Ilyas kerasukan, " jawab Bang Bari. Juru kunci segera mendekati Ilyas dan beliau membacakan doa untuk Ilyas. Ilyas meronta dan terus berteriak. "Aku mau minum, beri aku minum, " ujarnya sambil mengerang. Dia pun segera di beri air minum, namun gelas itu malah di buang, dia kembali menyerang dan marah-marah. "Tuak, aku mau minum tuak, " ujarnya. Juru kuncipun segera memberinya tuak, "aku berikan tuak ini, setelah minum kamu harus keluar dari tubuh ini ya, " ujar Juru kunci. Namun si Ilyas tidak menjawab dia segera merebut tuak yang di pegang Juru kunci, dengan rakusnya dia meminum tuak itu hingga tumpah-tumpah membasahi bajunya, hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuknya menghabiskan tuak yang begitu banyak, setelah meminum tuak itu, llyaspun terbatuk dan dia pingsan tak sadarkan diri, Juru kunci dan tetua adat memeriksa Ilyas, mereka saling melempar pandangan. Juru kunci pun tiba-tiba menggelengkan kepalanya. "Pak ada apa Pak? Kenapa dengan teman saya? " tanya Candra panik. "Iya Pak ada apa dengannya Pak? " tambah Bang Bar. "Temanmu sudah tidak ada lagi di dunia ini, dia sudah meninggal, inilah takdir yang harus dia jalani," ujar Juru kunci sembari menghela nafas dalam-dalam. "Tidak mungkin pak, teman saya tidak mungkin meninggal Pak, " tutur Candra sambil menangis. "Yas bangun Yas, Yas ayo bangun, jangan bercanda. " Candra menangis sambil terus menggerak-gerakan Ilyas, dia berusaha membangunkan Ilyas namun semua sia-sia karena Ilyas telah pergi. Melihat Ilyas yang seperti itu, aku menangis sejadi-jadinya aku benar-benar sangat merasa bersalah, karena ulahku Ilyas jadi kehilangan nyawanya. Riska yang berada di sampingku langsung memeluk sambil menangis. Candra histeris dia berteriak memanggil nama Ilyas, sambil memeluknya, tiba-tiba diapun beranjak berdiri dan mengambil mantan yang tergantung di dinding kayu. Sambil membawa mandaw dia pun ingin pergi dan di cegah oleh Bang Baro dan teman-teman yang lain termasuk juga tetua adat. "Mau kemana kamu ? " tanya Bang Bar. "Aku mau kembali ke hutan itu lagi, aku mau membalas kematian Ilyas, lepaskan aku, " ujar Candra dengan suara lantang. "Percuma kamu pergi kesana sambil membawa mandaw, percuma kamu menantang mereka, mau balas dendam sama siapa kamu, ini musibah, gak ada yang harus di balas, kalau kamu kesana yang ada kamu juga yang akan celaka, Ilyas udah gak ada dengan kamu marah-marah seperti ini dan pergi ke hutan sebayan lagi, Ilyas juga tidak bisa hidup lagi, jangan berbuat hal konyol Ndra, aku tau kamu sedih, tapi di sini bukan kau saja yang kehilangan Ilyas kita semua juga kehilangan, kita semua juga sedih, " kata Bang Bar sambil terus memegangi Candra. Juru kunci dan tetua adat pun juga ikut menenangkan Candra, Candra terduduk lemas bersimpuh di tanah sambil menangis, aku hanya memperhatikannya dan melihat tubuh Ilyas yang sudah tidak bernyawa sambil menangis di pelukan Riska. "Uhuk, uhuk, uhuk, " aku terbatuk, tenggorokanku terasa gatal dan sakit beberapa saat kemudian keluar darah dari hidungku, kepalaku pun terasa pusing mataku berkunang-kunang. Samar-samar aku mendengar suara Riska bertanya padaku, "Wah, Wah kau kenapa? " Aku merasakan dia menepuk-nepuk pipiku, sebelum akhirnya aku tak sadarkan diri. *** Beberapa saat kemudian aku terbangun, aku sudah berbaring di sebuah kamar, istri tetua adat memberiku segelas ramuan entah itu apa, dia menyuruhku meminum ramuan itu, hah, minuman ini benar-benar tidak enak, rasa pahitnya menempel di tenggorokan. "Wah kamu gak papa? " tanya lchal. "Gak papa Bang," jawabku lirih. "Syukurlah Wah, duh kamu itu bikin khawatir aja, " sahut Riska. "Istirahat aja Wah. " tutur Bang Bar. Aku pun menjawab ucapan Bang Bar dengan menganggukan kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN