Istana Utama

1152 Kata
Seandainya bisa memilih, Ivy rasanya ingin pergi saja dan kembali ke padepokan. Bagi Ivy, tinggal di padepokan bersama saudara-saudara seperguruannya, jauh lebih nyaman dan menyenangkan dibandingkan tinggal di istana yang mewah tapi penuh dengan aturan. Apalagi Ivy yang biasa hidup bebas dan berpenampilan apa adanya, tanpa polesan make up atau mengenakan gaun khas seorang wanita feminim, kini harus pasrah menerima dirinya sebentar lagi akan didandani oleh para dayang. "Aku bisa mandi sendiri," tolak Ivy, ketika dia diantar oleh ketiga dayang di istananya ke kolam yang khusus untuk dipakai Ivy berendam. Dia memang disarankan untuk membersihkan diri mengingat sebentar lagi harus menghadap raja. Ivy yang tidak suka diatur, tentu saja tak terima dirinya disuruh-suruh seperti ini, tapi merasa kasihan pada ketiga dayang yang mungkin akan dihukum berat jika tidak bisa mendandani Ivy, gadis itu pun terpaksa mengalah. Setelah dia sempat merajuk tak mau menyentuh makanannya, dalam hal mempersiapkan diri untuk menghadap raja, Ivy tak bisa menolak lagi. "Mohon ampun Yang Mulia, kami ditugaskan untuk membantu Anda mempersiapkan diri untuk menghadap raja. Tolong izinkan kami melaksanakan tugas kami." Ivy berdecak, jengkel bukan main pada situasi yang sedang dihadapinya ini. "Ya, ya, baiklah. Terserah kalian mau melakukan apa pun padaku." Mengabaikan ketiga dayang yang terus mengikutinya, Ivy pun memilih diam, termasuk saat ketiga dayang itu membantunya melepaskan pakaian hingga Ivy tampil polos sempurna tanpa sehelai benang pun yang menutupi. "Silakan masuk ke kolam, Yang Mulia. Kami akan membantu Anda membersihkan diri." Ivy memutar bola mata, tapi toh tetap dia turuti juga permintaan para dayangnya. Ivy memasukan dirinya ke dalam air kolam. Gadis itu juga diam saja tanpa berkomentar apa pun ketika para dayang mulai membersihkan tubuhnya. Mengoleskan sabun dan entah ramuan apa, yang pasti Ivy merasa aroma wangi menguar dari tubuhnya. "Yang Mulia, maaf lancang bertanya seperti ini." Ivy mengernyitkan dahi saat salah satu dayangnya berkata demikian, ingin menanyakan sesuatu tapi seperti ragu untuk mengutarakannya. "Kau ingin bertanya apa? Tanyakan saja, jangan malu atau ragu." "Punggung Anda, kenapa banyak bekas luka seperti ini?" Ivy mendengus. "Itu bekas luka akibat pertarungan. Aku ini berbeda dengan kalian yang selalu merias diri dan merawat kulit kalian agar selalu mulus. Sekarang kalian paham, kan, aku sebenarnya tidak pantas menjadi seorang putri kerajaan. Huh, ini gara-gara si pembohong itu, nasibku jadi begini," gerutu Ivy, masih merasa jengkel pada Clyde yang memberikan penawaran konyol, tapi tak bisa Ivy tolak demi kepentingan orang banyak. "Anda cantik, Yang Mulia. Menurut kami, Anda sangat cocok menjadi seorang putri kerajaan." Ivy mendengus mendengar pujian itu. "Sekarang kalian bisa berkata begini karena belum tahu bagaimana kepribadianku. Aku yakin kelak kalian akan menyesal sudah menganggapku layak menjadi seorang putri kerajaan, pasti kalian akan menarik kata-kata kalian ini," sahut Ivy seraya menatap ketiga dayang itu secara bergantian. Setelah itu tak ada lagi perbincangan karena para dayang yang fokus membersihkan tubuh Ivy. Dan setelah sesi membersihkan diri itu selesai, Ivy dibawa ke kamarnya. Gadis itu menghembuskan napas lelah dan frustrasi ketika menemukan banyak gaun mewah sudah disiapkan untuknya, jangan lupa berbagai alat make up pun sudah berjejer di atas meja rias. "Kalian serius akan mendandaniku?" tanya Ivy dengan memasang raut masam, tak suka. "Benar, Yang Mulia. Silakan Anda memilih gaun yang akan Anda kenakan." Ivy berdecak, tatapannya kini tertuju pada gaun-gaun yang digantung. Gaun-gaun mewah yang biasa dipakai wanita-wanita keturunan bangsawan. Ivy meringis, tak bisa membayangkan bagaimana penampilannya jika mengenakan gaun seperti itu padahal dia sudah terbiasa mengenakan pakaian santai yang cenderung mirip pakaian pria karena mengenakan celana dan kaos terlampau sederhana. "Silakan dipilih gaunnya, Yang Mulia." Ivy kembali berdecak. "Kalian pilihkan saja untukku. Tidak ada satu pun gaun yang membuatku tertarik," sahut Ivy malas, memilih para dayang yang memilihkan gaun untuknya. Ketiga dayang itu tentu mematuhi perintah Ivy, mereka memilihkan sebuah gaun yang cantik untuk Ivy. Gaun berwarna putih yang saat dikenakan Ivy sukses menguarkan aura kecantikan gadis itu yang biasa terpendam oleh penampilan sederhananya. Kini Ivy harus menahan keinginannya untuk kabur saat dirinya diminta duduk di depan meja rias karena wajahnya akan dipoles dengan make up, sesuatu yang tidak pernah sekalipun dilakukan Ivy. Sayangnya gadis malang itu terjepit dalam situasi tidak ada yang bisa dia lakukan selain diam dan menurut, hingga dengan terpaksa dia hanya duduk dan membiarkan para dayang melakukan apa pun pada wajahnya. Menghabiskan waktu sekitar 30 menit hingga penampilan Ivy sempurna. Dia sudah siap pergi ke istana utama untuk menghadap raja. "Aku terlihat seperti bukan diriku," ucap Ivy ketika melihat pantulan dirinya di cermin. "Anda sangat cantik, Yang Mulia," puji salah seorang dayang. Ivy mendengus, tak senang atau tersanjung sedikit pun mendapatkan pujian seperti itu. "Menurutku justru aneh. Seperti bukan diriku saja. Tapi ya sudahlah, ayo antar aku ke istana utama. Aku ingin segera menyelesaikan kekonyolan ini." Ivy melangkah pergi dengan cepat diikuti ketiga dayang dan dua pengawal yang akan mengantarnya ke istana utama di mana raja berada. Di sepanjang jalan, Ivy berpapasan dengan banyak orang, para dayang maupun prajurit istana yang membungkuk hormat padanya. Namun, saat dia berpapasan dengan beberapa orang yang mengenakan pakaian mewah, Ivy tahu mereka merupakan anggota keluarga kerajaan. Ivy tak peduli pada mereka, bahkan tak ambil pusing saat mereka berbisik-bisik karena membicarakan dirinya. Ivy juga tak ingin beramah tamah dengan menyapa atau memberikan senyum untuk mereka, Ivy terus berjalan tegak menuju tempat tujuannya. "Wow, Ivy, ini benar kau?!" Ivy mendengus saat reaksi heboh dan histeris itu keluar dari mulut Clyde saat mereka berpapasan di pintu masuk istana utama. Ya, Ivy akhirnya tiba di istana di mana singgasana sang raja berada. "Ternyata kalau didandani, kau cantik sekali." Clyde memuji dengan tulus karena memang Ivy tampil sempurna saat ini, sangat cantik dan menawan, sama sekali tak terlihat bahwa sebenarnya Ivy hanyalah seorang gadis yatim piatu dari pedepokan kumuh dan serba kekurangan. Ivy mendelik tajam pada Clyde yang sedang menatapnya takjub dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Bisa kita temui raja sekarang? Aku sudah tidak tahan memakai semua ini. Aku ingin segera berganti pakaian dan menghapus make up sialan ini." Clyde terkekeh. "Kau harus membiasakan diri dengan semua yang kau kenakan ini, Ivy. Karena mulai sekarang, penampilanmu akan seperti ini setiap hari." Clyde mendaratkan salah satu tangannya di pundak Ivy, mengabaikan tatapan tajam gadis itu yang tak suka dirinya disentuh sembarangan. Clyde lalu mendekatkan wajah ke telinga Ivy dan berbisik, "Bersiaplah menjadi wanita feminim dan ucapkan selamat tinggal pada penampilanmu yang tomboi seperti seorang pria." Clyde terkikik geli, benar-benar mengabaikan wajah Ivy yang memerah karena amarah. "Diam kau. Dasar penipu tidak tahu diri. Kau…" "Laporkan kedatangan kami pada Yang Mulia Raja." Namun, Ivy tak bisa melanjutkan ucapannya yang masih menggantung karena Clyde yang tiba-tiba berkata demikian pada prajurit yang berjaga di depan pintu istana utama di mana di dalamnya sang raja tengah menanti pertemuan dengan Ivy. "Persiapkan dirimu. Kita akan menghadap raja sebentar lagi." Clyde kembali berbisik, dan tentu saja Ivy sudah siap untuk bertemu dengan sang penguasa. Lalu di dalam benak gadis itu bertanya-tanya… apa gerangan yang akan terjadi di dalam istana utama? Dan apa yang akan dikatakan sang raja padanya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN