BAB ENAM

2987 Kata
Ivy keluar dari kamar Renata dengan mengendap-endap karena dia tak ingin para prajurit yang masih mencarinya menemukan dirinya.  Sebelum keluar dari area rumah b****l tempat Renata menetap, dia melirik ke dalam bangunan yang merupakan bangunan utama rumah b****l tersebut. Dia melihat ada Renata di dalam, sedang duduk menemani pria paruh baya dengan perut buncit yang mungkin seorang klien yang telah menyewanya yang disebutkan Renata tadi. Di dalam sana Renata terlihat tertawa setiap sang klien tertawa dan melontarkan candaan tak lucu padanya.  Ivy tak buta, dia bisa melihat tawa yang meluncur dari mulut Renata hanya sebuah kepura-puraan karena nyatanya wajah sendu wanita itu tak berhasil dia sembunyikan dengan baik. Ivy semakin merasa iba pada Renata. Seandainya saja bisa, dia ingin membebaskan wanita malang itu dari rumah b****l yang mengurungnya selama bertahun-tahun lamanya. Tapi untuk saat ini, dia tak tahu bagaimana cara menyelamatkan wanita baik hati yang baru saja menyelamatkan nyawanya.  “Kak, kalau aku sudah tahu cara untuk menyelamatkanmu. Aku janji akan mengeluarkanmu dari tempat terkutuk ini,” gumam Ivy teramat pelan sehingga hanya dirinya yang bisa mendengar.  Tak ingin membuang-buang waktu, Ivy pun kembali melanjutkan pelariannya.  Saat tiba di area jalan raya, Ivy sengaja berbaur dengan rakyat yang sedang berlalu-lalang untuk melakukan aktivitas masing-masing. Mengingat tempat itu merupakan pusat kota Wyred, jadi sangat wajar meski langit sudah mulai menghitam kondisinya masih saja ramai oleh pejalan kaki.  Keberadaan Ivy tak diketahui karena gadis itu sudah kembali melakukan penyamaran, mengenakan pakaian gadis biasa yang sudah dia siapkan untuk penyusupan ini.  Ketika melihat gerombolan prajurit yang tentunya sedang mencari dirinya, Ivy berpura-pura bersikap biasa. Toh, mereka tak akan mengenali wajahnya karena tadi dia mengenakan cadar hitam.  Ivy menyeringai dikala para prajurit itu melewatinya begitu saja tanpa mencurigai bahwa dirinya merupakan sosok pencuri yang sedang mereka cari.  “Para prajurit istana mengaku mereka yang paling hebat, nyatanya mereka hanya pecundang payah tak punya nyali,” gerutu Ivy, tentu saja hanya terlontar di dalam hatinya.  Langkah demi langkah Ivy, membawanya semakin jauh meninggalkan jalan utama kota Wyred yang ramai. Kini dia berbelok dan memasuki jalanan yang cukup sepi. Dia sengaja mengambil jalan sepi ini untuk mempersingkat waktu agar bisa secepatnya tiba di padepokan.  Walau suasana begitu gelap, Ivy sama sekali tak gentar. Dia sudah biasa menghadapi situasi seperti ini jika sedang menjalankan misi karena biasanya dia dan rekan-rekannya di padepokan memang lebih sering menjalankan misi saat tengah malam.  Kruuuuk … Kruuuuk …  Ivy berdecak saat perutnya baru saja mengeluarkan suara yang memalukan. Terhitung sejak meninggalkan padepokan tadi pagi, dia memang belum sempat memakan apa pun. Ivy terlalu bersemangat untuk mencuri stempel milik Menteri Perpajakan sehingga melupakan mengisi perutnya sendiri dengan makanan. Jadi sangat wajar jika perut itu kini meraung-raung minta diisi.  Dalam keheningan perjalanan Ivy yang sebatang kara menempuh area sepi dan penuh dengan pohon yang tumbuh menjulang tinggi di sekeliling jalan, indera pendengaran Ivy yang tajam mendengar suara teriakan seseorang.  Ivy seketika menghentikan langkah, bola matanya bergulir ke sekeliling untuk mencari sumber suara itu.  “Toloooooong!”  Meski samar-samar, Ivy yakin suara teriakan itu terdengar meminta tolong, suara seorang pria alih-alih suara wanita yang biasa berteriak meminta tolong seperti itu.  Ivy semakin mempertajam indera pendengarannya untuk mencari asal suara itu berasal, hingga dia meyakini suara tersebut berasal dari arah kirinya.  “Dari arah sana,” katanya sebelum dia berlari ke arah yang dia yakini merupakan sumber suara itu berasal.  Namun belum sempat Ivy berlari kencang, gerakan kakinya langsung terhenti karena dia merasakan sakit pada luka di pinggangnya yang mungkin kembali terbuka akibat dirinya yang terlalu banyak bergerak.  Ivy meringis sembari memegangi pinggangnya, tepat di bagian lukanya yang sekarang terasa berdenyut nyeri dan perih luar biasa.  “Toloooong!”  Suara teriakan itu kembali terdengar, bahkan sekarang terdengar lebih kencang dibanding sebelumnya pertanda asal suara memang semakin dekat dari tempat Ivy berada. Mengabaikan rasa sakit pada lukanya, Ivy melanjutkan perjalanannya menuju sumber suara.  Sesampainya dia di sana, dengan memanfaatkan semak-semak tinggi yang tumbuh di sepanjang jalan, Ivy menyembunyikan diri. Lalu mengintip ke depan dan menemukan seorang pria sedang dikepung oleh tiga pria mengenakan pakaian serba hitam yang sepertinya sekelompok perompak yang ingin merampok pria malang itu.  “Kalian kenapa terus mengejarku? Aku kan sudah menyerahkan tas dan cincinku pada kalian?” Suara pria itu mengalun, terdengar bergetar pertanda dia ketakutan bukan main.  “Kau pikir hartamu saja sudah cukup, kami menginginkan harta keluargamu juga. Jika kami menyanderamu pasti kami akan mendapatkan uang tebusan lebih banyak lagi,” ucap salah seorang perompak. Setelahnya suara tawa ketiga perompak pun mengudara dan tentu saja sampai ke telinga Ivy yang masih mengawasi di tempat persembunyiannya.  “Tapi aku ini bukan putra bangsawan. Sudah kukatakan orang tuaku sudah meninggal. Aku ini anak yatim piatu.”  Salah seorang perompak mendecih, “Kau pikir kami percaya? Dilihat dari pakaianmu saja terlihat jelas kau ini putra keluarga  bangsawan. Jangan harap kata-katamu itu bisa membohongi kami.”  “Aku tidak berbohong. Pakaian ini, tas dan cincin yang aku berikan pada kalian merupakan harta peninggalan ayahku yang terakhir. Kalian ambil saja tas dan cincin itu, semua hartaku ada di sana. Aku tidak keberatan semua milikku jadi milik kalian. Asalkan lepaskan aku. Biarkan aku pergi.”  “Jangan harap. Kami akan menangkapmu dan menjadikanmu sandera. Cepat tangkap dia, teman-teman.” “OK!” sahut dua rekan perompak tersebut.  Pria malang itu tak bisa melakukan perlawanan apa pun saat ketiga perompak kini menghampiri dirinya, hanya suara teriakan minta tolongnya yang terus mengalun.  “Terus saja berteriak meminta tolong seperti wanita padahal kau ini seorang pria. Di sini kalau malam hari sangat sepi. Tak akan ada orang yang lewat jadi sampai suaramu habis pun tidak akan ada yang datang menolongmu.”  Suara tawa ketiga pria itu kembali mengalun kencang, puas karena mangsa mereka walaupun seorang pria bertubuh gagah tapi sama sekali tak memiliki kemampuan bela diri.  Ivy yang menyaksikan kejadian itu tak kuasa lagi menahan rasa iba pada si pria yang tak berdaya melawan ketiga perompak yang ingin menculik dan menjadikannnya sandera untuk memeras uang keluarganya. Ivy juga tak bisa tinggal diam melihat seorang pria lemah ditindas dan disakiti. Apalagi mendengar pria malang itu seorang yatim piatu justru mengingatkan Ivy pada kejadian yang dialaminya di masa lalu. Gadis itu juga seorang yatim piatu.  Ivy tak peduli meski dia sedang terluka, gadis itu dengan berani keluar dari tempat persembunyiannya.  “Hei, kalian. Lepaskan pria itu!” teriak Ivy, yang sukses menarik atensi ketiga perompak yang awalnya ingin menangkap si pria malang, kini berubah haluan menatap ke arah Ivy.  Ivy memang tidak memegang pedangnya lagi karena pedang itu tertinggal di mansion Menteri Perpajakan akibat dia yang sempat terdesak dan memilih mengaku kalah. Pedang itu dia jatuhkan ke lantai. Tak sempat dia ambil kembali ketika melarikan diri. Meski tanpa memegang senjata bukan berarti Ivy tak sanggup menyerang ketiga pria itu. “Heh, mau apa seorang wanita menggangu kesenangan kami?” tanya salah seorang perompak begitu menyadari orang yang berani mengganggu mereka ternyata hanya seorang wanita. “Wanita itu cantik juga. Kita sekalian saja bawa dia.” “Hm, kau benar. Dia cukup cantik. Kita bisa bersenang-senang dengannya malam ini.”  Ketiga perompak itu tertawa, merasa malam ini mereka mendapatkan mangsa yang empuk. Seorang pria keturunan bangsawan yang akan mereka keruk harta keluarganya dan juga gadis cantik yang datang dengan sendirinya seolah pasrah menyerahkan diri pada mereka.  Ivy mendecih karena tahu persis sedang diremehkan hanya karena dirinya seorang wanita. “Maju kalian bertiga kalau berani,” tantang Ivy.  Perkelahian pun tak terelakan lagi. Ivy menyerang dengan tangan kosong, memanfaatkan kepalan tangan untuk memukul dan kedua kakinya untuk menendang. Kemampuan bela diri Ivy dengan mudah mampu memukul telak ketiga lawannya. Dia dikepung oleh dua orang sekaligus. Satu pria menghunuskan pedang pada Ivy, namun dengan lihai Ivy membungkuk dan kepalan tangannya dia layangkan tepat mengenai rahang sang lawan. Menggunakan kakinya, Ivy pun menendang d**a pria itu, dengan sekuat tenaga sampai sang lawan terpental jatuh dan terjengkang di tanah.  Ivy kini sedang sibuk menghindari serangan rekan pria tadi yang tiada henti menebaskan pedang padanya. Terlalu fokus pada lawan di depan, Ivy melupakan masih ada satu pria yang harus dia lawan. Ivy juga tak menyadari pria yang terakhir sudah mengincarnya dari arah samping. Pria itu dengan menggunakan kakinya menendang pinggang Ivy dan tepat mengenai lukanya. Ivy meringis kesakitan, dia yang sejak tadi bergerak lincah seketika berubah tak berdaya. Berulang kali Ivy harus menerima pukulan demi pukulan dari ketiga lawannya. Kendati demikian saat mereka hendak menusuknya dengan pedang atau menebasnya dengan senjata mereka, Ivy masih cukup lincah melompat mundur untuk menghindarinya.  Napas Ivy tersengal-sengal, dia memegangi pinggangnya. Luka itu sepertinya kembali mengeluarkan darah akibat ditendang kaki salah satu lawannya.  “Dia sepertinya terluka. Bagus, kita tahu kelemahannya sekarang.”  Ketiga lawannya kini berdiri berjajar tepat di depan. Refleks Ivy melangkah semakin mundur. Kondisinya sekarang sungguh tak menguntungkan karena selain tidak memiliki senjata, lawannya pun kini sudah mengetahui dirinya sedang terluka. Jelas mereka akan menjadikan letak luka itu sebagai kelemahan Ivy.  Salah satu pria kini berlari sambil mengangkat tinggi pedangnya di udara. Ivy berdecak, tak memiliki senjata untuk menangkis serangan itu. Ivy tertegun dikala kakinya terasa menginjak sesuatu. Dia pun menatap ke bawah dan menemukan sebuah bongkahan kayu yang dia pikir bisa dijadikan senjata untuk perlindungan diri.  Dengan gerakan gesit Ivy mengambil kayu tersebut, menggulingkan diri ke samping, Ivy lantas kembali berdiri dan memukul kaki pria yang nyaris menusuknya. Pria itu pun terhuyung nyaris terjatuh akibat pukulan Ivy dan dengan cerdasnya Ivy memanfaatkan situasi tersebut. Sebelum sempat sang lawan mengembalikan keseimbangan tubuhnya, Ivy dengan cekatan merebut pedang di tangan sang lawan sehingga dalam sekejap pedang itu kini berada di tangannya.  Ivy lalu menebas pria itu tepat di bagian perut membuat si pria menjerit kesakitan dan rupanya hal itu sukses membuat murka kedua rekannya.  “Kurang ajar. Kita bunuh wanita sialan itu!”  Ivy mendecih saat melihat dia diserang sekaligus oleh dua perompak. Namun Ivy tak gentar sedikit pun terlebih karena dia kini memiliki senjata untuk mengimbangi serangan mereka.  Trang … Trang … Trang  Suara dentingan dari bilah pedang yang saling beradu pun terdengar. Ivy dengan kemampuan berpedangnya yang tak perlu diragukan lagi itu pun dengan mudah berhasil membuat pedang salah satu musuhnya terpental dari tangan. Ivy lantas menebaskan pedangnya pada d**a sang musuh.  Namun gadis itu sedikit lengah karena tak menyadari satu lawannya ikut menebaskan pedang dan mengenai lengan Ivy. Ivy berdecak, luka di tubuhnya kini bertambah akibat pertarungan ini. Beruntung hanya luka tebasan kecil sehingga tak mengurangi kemampuannya untuk membalas serangan musuh.  Ivy yang murka pada pria yang telah melukainya pun balas mengangkat pedang lalu menusukkan pedang itu tepat ke perut si pria sehingga dia pun tumbang di tanah sembari memegangi perutnya yang berlubang karena tusukan pedang Ivy. Bahkan pedang itu masih menancap di perut si pria karena Ivy yang melepaskan pedang dari tangannya.  “Sial, dia sangat kuat walaupun seorang wanita. Ayo, pergi dari sini. Kita mundur!” titah salah satu dari ketiga perompak.  Kedua pria yang mengalami luka ringan karena hanya terkena tebasan pedang Ivy, kini membantu temannya yang terkena tusukan Ivy agar kembali berdiri dengan memapahnya. Lalu mereka pun melarikan diri karena tahu tak memiliki kesempatan untuk menang melawan Ivy yang ternyata tangguh meski hanya seorang wanita.  “Hei, hei, kenapa kau membiarkan mereka pergi? Seharusnya kau menangkap mereka dan menyerahkan mereka pada pihak berwajib,” protes si pria yang telah Ivy selamatkan, tampak kecewa karena Ivy tidak mengejar mereka dan membiarkan ketiga perompak itu kabur begitu saja.  “Hei, kau dengar tidak?”  Namun Ivy tak peduli meski dia tahu pria itu sedang mengajaknya bicara. Rasa sakit pada luka di pinggang ditambah luka akibat tebasan pedang di lengannya membuat gadis itu kini jatuh terduduk di tanah, rasa-rasanya sudah tak sanggup lagi mempertahankan diri untuk tetap berdiri.  “Hei, kau kenapa, Nona? Kau baik-baik saja?”  Pria itu ikut berjongkok, terlihat khawatir melihat kondisi Ivy yang sedang meringis kesakitan sembari memegangi luka di pinggangnya.  “Sakit sekali. Lukaku sakit sekali,” gumam Ivy masih setia memegangi lukanya tersebut. “Hm, maaf ya aku lancang dan tidak sopan. Tapi izinkan aku memeriksa lukanya.”  Jika Ivy yang biasa, tentunya tak akan membiarkan seorang pria sembarangan menyingkap bawah pakaiannya, namun kini dia tak berdaya sekadar mengatakan penolakan. Gadis itu sama sekali tak melakukan gerakan penolakan apa pun ketika luka di pinggangnya kini terekspos jelas karena pakaiannya disingkapkan pria yang telah dia tolong.  “Lukamu sepertinya cukup parah. Kau tunggu di sini sebentar ya. Kalau aku tidak salah di tasku ada obat. Tunggu di sini. Jangan kemana-mana.” Tanpa menunggu respon dari Ivy, pria itu bangkit berdiri dan berlari entah kemana. Ivy sama sekali tak peduli karena yang dia harapkan sekarang adalah seseorang menolongnya untuk menghilangkan rasa sakit pada luka di pinggang yang sepertinya semakin parah karena ditendang lawannya tadi.  Ivy merangkak mundur saat menemukan pohon yang tumbuh tak jauh dari tempatnya duduk. Dia hanya ingin beristirahat sejenak sembari menyandarkan punggung pada batang pohon. Tadi itu sebenarnya Ivy nyaris kalah, jika para perompak tidak melarikan diri dan memilih kembali menyerangnya, Ivy tak yakin dirinya bisa menghindar dan selamat. Katakan Dewi Fortuna masih memihak dirinya karena ketiga perompak itu memilih kabur alih-alih terus melawannya.  Ivy memejamkan mata, suara ringisan kesakitan tak kunjung berhenti keluar dari mulutnya. Dalam situasi itu Ivy kembali membuka mata saat mendengar suara langkah kaki seseorang yang berlari menghampirinya.  “Maaf, aku tidak lama, kan?”  Ivy mengerjapkan mata, rupanya pria yang dia tolong kini kembali sembari membawa sebuah tas kain, pria itu mengeluarkan botol obat dari dalam tas.  “Rasanya mungkin akan sangat perih, kau tahan sebentar ya,” kata pria itu berniat menaburkan bubuk di dalam botol obat miliknya pada luka Ivy.  Ivy tak berkomentar, kali ini saja dia pikir tidak ada salahnya mempercayakan lukanya pada orang asing, toh hanya pria itu yang sekarang bisa diandalkan untuk menolongnya.  “Aaaaaahhkk!”  Ivy berteriak saat merasakan sakit dan perih luar biasa saat pria itu menaburkan bubuk berwarna kekuningan di sepanjang luka di pinggangnya. Rasa sakit yang Ivy rasakan sekarang jauh lebih menyiksa dibandingkan saat Renata mengobatinya tadi sebelum dia pergi.  “Obatnya memang membuat sakit tapi percaya padaku, lukamu pasti akan cepat mengering. Lagi pula rasa sakitnya tidak akan lama. Aku sudah sering menggunakan obat ini jadi tahu persis obat ini memang begitu mujarab menyembuhkan luka luar.”  Rupanya yang dikatakan pria itu memang benar karena tak lama berselang rasa sakit itu perlahan menghilang. Napas Ivy yang terengah pun kini perlahan mulai normal.  “Bagaimana? Kau sudah merasa lebih baik?” tanya pria itu sembari menelisik ekspresi wajah Ivy yang tak lagi meringis kesakitan seperti tadi.  “Itu obat apa?”  Si pria mengerjap, terkejut karena Ivy yang sejak tadi tak meresponnya kini mengajaknya bicara. “I-Ini obat peninggalan keluargaku,” jawabnya sambil menyengir lebar. “Obat yang hanya bisa dimiliki keluargaku karena tidak dijual di tempat lain bahkan di apotek atau klinik juga tidak ada,” tambahnya.  Karena Ivy hanya terdiam dan tak mengatakan apa pun lagi, pria itu tiba-tiba mengulurkan tangan kanan, mengajak Ivy berjabatan tangan. “Terima kasih sudah menyelamatkanku dari ketiga perompak tadi padahal kau sedang terluka begini. Namaku Clyde.”  Ivy hanya menatap dalam diam tangan kanan pria itu yang terulur padanya. Mendengus pelan karena merasa tak berkewajiban untuk membalasnya lagi pula Ivy tak tertarik berkenalan dengan orang asing.  Ivy pun berniat bangkit berdiri, namun itulah kesalahannya karena dia kembali jatuh terduduk akibat luka di pinggangnya yang kembali terasa sakit.  “Hei, jangan berdiri dulu. Butuh waktu sampai obatnya benar-benar bereaksi. Istirahat saja dulu sampai lukanya pulih. Setidaknya sampai tidak sakit lagi.”  Ivy menggeleng, menolak saran dari pria yang baru dia ketahui bernama Clyde tersebut. “Aku harus pergi dari sini. Orang-orang di padepokan pasti sedang menungguku.” “Padepokan? Kau tinggal di sebuah padepokan? Pantas saja bela dirimu hebat.”  Mengabaikan ucapan Clyde, Ivy kembali berniat bangun. Sekali lagi nyaris kembali terjatuh, kali ini Clyde berhasil menangkap tubuh Ivy tepat waktu sebelum gadis itu kembali jatuh terduduk.  “Lepaskan aku,” tolak Ivy sembari mendorong Clyde agar melepaskan rangkulan pria itu yang memang sedang memeganginya. “Kau ini sedang terluka, jadi jangan keras kepala.” “Aku sudah mengatakannya tadi, aku harus segera pergi dari sini.”  Bukan hanya ingin segera kembali ke padepokan, alasan Ivy ingin segera pergi karena takut para prajurit yang masih mengejarnya akan mencari sampai ke tempat itu mengingat letak tempatnya berada ini masih cukup dekat dengan pusat kota Wyred.  “Kau tidak akan sanggup berjalan. Jangankan berjalan, berdiri saja kau kesusahan barusan.” “Jangan pedulikan aku. Kau pergi saja dari sini agar tidak diganggu perompak lagi,” sahut Ivy. “Aku mana bisa meninggalkanmu sendirian. Apalagi kau jadi seperti ini setelah menolongku.” “Sejak awal aku memang sudah terluka.” Ivy membantah ucapan Clyde yang menganggap luka itu disebabkan oleh pertarungan Ivy dengan ketiga perompak tadi. “Iya, tapi lukamu jadi semakin parah karena melawan ketiga perompak itu, kan? Semua ini karena kau menolongku. Aku harus membalas budi.”  Ivy berdecak, “Tidak perlu. Aku hanya tidak suka melihat orang dirampok makanya aku menolongmu.” “Tetap saja aku merasa harus membalas budi,” balas Clyde yang tak kalah keraskepalanya dengan Ivy. “Kau ingin kembali ke padepokan tempatmu tinggal, kan? Aku antar kau ke sana.” “Hah? Memangnya kau mau mengantarku dengan apa?” tanya Ivy sembari memicingkan mata. “Itu …”  Clyde menunjuk ke satu arah, Ivy pun mengikuti arah yang ditunjuk pria itu. Seketika Ivy pun terbelalak begitu melihat seekor kuda tengah berdiri tak jauh dari mereka.  “Kuda itu milikmu?” “Tentu saja. Kau pikir milik siapa? Kan tidak mungkin aku mencuri kuda orang lain. Ayo, aku antar kau pulang ke padepokan dengan kuda itu.”  Ivy merasa tak ada salahnya menerima kebaikan pria ini, lagi pula dia bilang ingin membalas budi karena pertolongannya tadi.  Setelahnya dengan terpaksa Ivy mengangguk dan tak melawan maupun menolak saat Clyde memapahnya dan menaikkannya ke atas punggung kuda. Yang terjadi setelah itu adalah Clyde yang memacu kuda dengan cepat menuju padepokan tempat Ivy menetap. Tanpa kedua orang itu ketahui, takdir mereka dimulai sejak saat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN