BAB EMPAT

2158 Kata
Peluh sebiji jagung semakin bercucuran dari pelipis Ivy, kondisinya sekarang benar-benar memprihatinkan. Jika dia tak cepat-cepat melarikan diri maka sudah dipastikan dia akan tertangkap. Hukuman untuk orang yang berani menyusup masuk ke dalam kediaman Menteri Perpajakan, terlebih dia mencuri stempel yang sangat berharga, Ivy sudah memperkirakan dirinya pasti akan dihukum mati karena kesalahannya sudah sangat fatal. Terutama jika sampai ketahuan tujuannya mencuri stempel tidak lain agar rencana kenaikan pajak dibatalkan, Ivy semakin yakin dia akan dijatuhi hukuman penggal karena akan dianggap sebagai pemberontak kerajaan. Biasanya para pemberontak akan dieksekusi mati dengan cara dipenggal kepalanya di hadapan rakyat agar tak ada yang berani melakukan pemberontakan pada kerajaan lagi.  Ivy berdecak karena dia tak memiliki akses untuk melarikan diri, terlalu banyak orang di dalam ruangan tempatnya bersembunyi ini karena kedua menteri masih berada di sini begitu pun dengan beberapa prajurit.  “Cepat. Temukan penyusup itu dan seret dia ke hadapanku!” teriak Menteri Perpajakan, murka bukan main. Tanpa dia ketahui seseorang yang sedang para prajurit cari mati-matian berada di dalam ruangan tempatnya berada.  Meski berada di dalam lemari besi, Ivy bisa mendengar suara ribut di luar. Juga suara derap langkah dari para prajurit yang mencari keberadaan sang pencuri dengan memeriksa satu demi satu ruangan di dalam mansion mewah tersebut.  Ivy berharap ruangan tempatnya berada tak akan ikut diperiksa karena jika para prajurit ikut memeriksanya, maka tamat sudah riwayat gadis itu.  “Ngomong-ngomong soal memeriksa ruangan, bukankah ruangan ini belum diperiksa?”  Ivy mendecih dalam hati, itu suara Menteri Keuangan yang memberikan saran agar ruangan kerja Menteri Perpajakan yang dijadikan Ivy sebagai tempat persembunyian, ikut diperiksa.  “Ah, benar juga. Kalian periksa juga ruangan ini. Mungkin si penyusup masih bersembunyi di suatu tempat di dalam ruangan ini!” “Baik, Tuan!” sahut beberapa prajurit dengan serempak, detik itu juga mereka berhamburan masuk ke dalam ruangan untuk melaksanakan perintah sang Menteri Perpajakan.  Ivy semakin panik di dalam lemari, bisa dia lihat dari celah, para prajurit kini mulai melakukan pencarian. Semua celah mereka periksa, bahkan kini ada satu prajurit yang berjalan menuju lemari besi tempat Ivy sedang memasang ancang-ancang untuk melakukan perlawanan jika sampai pintu lemari benar-benar dibuka.  Ivy sudah mengeluarkan pedang miliknya dari dalam sarung yang tersampir di pinggang. Begitu pintu terbuka sehingga menciptakan suara derit yang memekakan telinga. Belum sempat prajurit itu berteriak karena menemukan keberadaan sang penyusup, Ivy lebih dulu menggorok leher prajurit itu dengan pedangnya. Sang prajurit pun tumbang dengan darah yang menyembur keluar dari luka di lehernya yang menganga.  Kondisi di dalam ruangan seketika kacau balau karena semua prajurit yang ada di sana bersiap menyerang Ivy yang sudah membunuh satu rekan mereka. Ivy tentu tak tinggal diam, dengan ilmu bela diri yang dia pelajari selama menetap di padepokan, dia melakukan perlawanan dengan menyerang lebih dulu para prajurit itu sebelum dirinya yang diserang.  Ivy melompat sembari menghunuskan pedangnya untuk melukai para prajurit yang mengepungnya. Sebenarnya Ivy tak ingin melukai apalagi sampai membunuh para prajurit karena dia tak merasa memiliki urusan dengan mereka. Hanya saja demi melindungi dirinya sendiri, Ivy terpaksa melakukan ini.  Karena tebasan pedang Ivy, beberapa prajurit mengalami luka yang cukup serius di beberapa bagian tubuh mereka. Bahkan ada beberapa yang terkena tusukan di bagian perut, bahu, punggung dan paha. Ivy sengaja menghindari menusuk di bagian d**a, biarlah satu prajurit yang dia gorok lehernya tadi menjadi satu-satunya prajurit yang terpaksa dia bunuh karena tak memiliki pilihan lain.  Prajurit terus berdatangan begitu keberadaan Ivy diketahui dan dia berhasil memukul telak para prajurit sehingga banyak yang terluka parah. Sedangkan hingga detik ini kondisi Ivy masih segar bugar tanpa terdapat satu pun luka di tubuhnya. Itu karena Ivy selalu berhasil menghindari serangan para prajurit.  Jika prajurit hanya menyerangnya dengan senjata berupa pedang dan tombak, maka Ivy masih cukup percaya diri menghadapinya. Dia yakin masih bisa menghindari serangan mereka dengan mudah. Namun lain ceritanya jika para prajurit itu sudah menggunakan senjata berupa senapan laras panjang atau pistol. Ivy tahu dirinya tak memiliki kesempatan untuk menang begitu menyadari beberapa prajurit yang baru datang ke dalam ruangan kini membawa senapan di tangan mereka.  Ivy mendecih kesal, merasa telah dicurangi. Sudah dikepung sekarang mereka juga menggunakan senapan untuk menyerangnya. Kini Ivy sedang berusaha mati-matian mencari cara agar dirinya bisa melarikan diri dengan selamat tanpa mengalami luka sedikit pun.  Awalnya tatapan Ivy tertuju pada jendela, berniat untuk melompat keluar. Namun kesialan menimpanya karena di luar jendela rupanya banyak prajurit yang sudah berbaris sambil memegang senapan, bersiap menangkapnya jika sampai dia nekat melompat keluar. Mungkin Ivy akan langsung ditembak mati jika nekat melompat melalui jendela.  “Angkat tangan! Menyerah atau kami akan menembakmu?!”  Dengan terpaksa Ivy mengangkat kedua tangan, pertanda dirinya memilih menyerahkan diri daripada harus mati konyol dengan ditembak oleh para prajurit yang kini mengepungnya sambil menodongkan senapan mereka.  “Jatuhkan pedangmu!”  Ivy pun menurut, dia menjatuhkan pedangnya. Kini pedang itu tergeletak di dekat kakinya.  “Jadi ini penyusup kecil yang berani mencuri stempel berharga milikku,” kata Menteri Perpajakan, dengan congkak berjalan mendekati Ivy yang sudah tak berdaya sehingga hanya mampu berdiri mematung sambil mengangkat kedua tangan ke atas. Gadis itu tak berani melakukan pergerakan sedikit pun karena dia tahu akan langsung ditembak jika sampai nekat melakukan itu.  Menteri Perpajakan kini berdiri tepat di depan Ivy. Di matanya sosok gadis di depannya hanyalah gadis bodoh yang siap mati karena sudah berani menyusup ke dalam mansion dan mencuri stempelnya. Tapi rupanya sang menteri penasaran ingin melihat wajah gadis pencuri itu karena cadar hitam menutupi sebagian besar wajahnya sehingga hanya kedua matanya yang terlihat.  Penasaran ingin melihat wajah Ivy, sang menteri mengulurkan satu tangannya mendekati kain cadar yang menutupi wajah Ivy. Tanpa tahu dengan mudah tindakan gegabahnya itu dimanfaatkan oleh Ivy.  Ivy menarik tangan sang menteri yang terulur padanya, lalu memelintirnya ke belakang sehingga kini posisi mereka berbalik, Ivy mengunci tubuh sang menteri dari belakang, dengan gesit mengambil belati yang diselipkan di ikat pinggang, Ivy menempelkan belati itu ke leher sang menteri.  “Jangan bergerak atau aku akan mengiris lehernya!” teriak Ivy pada beberapa prajurit yang sepertinya berniat menembaknya sekalipun sang menteri kini dijadikan tameng oleh Ivy untuk melindunginya dari tembakan para prajurit.  “Suruh mereka turunkan senapan jika kau tidak ingin aku mengiris lehermu,” ancam Ivy sembari berbisik pelan di depan telinga Menteri Perpajakan yang kini berteriak histeris karena ketakutan. Dia sama sekali tak menyangka Ivy yang sudah menyerah kalah dan tak berdaya rupanya masih berani melakukan perlawanan dengan menjadikannya sandera.  Menyesal karena sudah meremehkan gadis kecil yang mencuri stempelnya pun sudah terlambat untuk Menteri Perpajakan karena tentunya Ivy tak akan melepaskannya begitu saja.  “Cepat!” teriak Ivy sembari menekan bilah belati yang tajam ke kulit leher sang menteri sehingga sedikit terluka dan meneteskan darah karena perintahnya tidak dituruti sang menteri. “Turunkan senjata kalian. Turunkan!” teriak sang menteri yang ketakutan karena ancaman Ivy yang akan mengiris lehernya ternyata bukan hanya isapan jempol.  Detik itu juga suara senapan besi yang membentur lantai menjadi satu-satunya suara yang terdengar karena semua prajurit langsung menuruti perintah majikan mereka.  Ivy mendengus, senang karena Dewi Fortuna kembali memihak padanya sehingga dia bisa membalikan keadaan seperti ini.  Ivy berjalan mendekati jendela masih dengan menjadikan Menteri Perpajakan sebagai sandera sekaligus tamengnya. Selama menteri itu ada bersamanya maka Ivy yakin tak akan ada prajurit yang berani menembaknya.  Ivy melompati jendela masih dengan membawa sang menteri bersamanya.  “Suruh mereka jatuhkan senapan!” bentak Ivy pada sang menteri begitu mereka kini mendaratkan kaki di luar jendela dan menemukan para prajurit di sana masih menodongkan senapan.  “Jatuhkan senapan kalian atau aku akan mengiris lehernya?!”  Menteri Perpajakan semakin berteriak histeris karena Ivy kembali menekan belati itu ke lehernya sehingga luka di lehernya semakin terasa perih.  “Jatuhkan! Jatuhkan senapan kalian! Kalian ingin melihatku mati, Hah?!!” teriak sang menteri, ketakutan luar biasa.  Ivy pikir dirinya sudah aman sekarang karena kembali para prajurit menuruti perintah sang menteri dengan menjatuhkan senapan di tangan mereka sehingga kini tergeletak di tanah. Namun pemikiran Ivy salah besar saat dia tak menyadari dari arah salah satu sudut di dekat pohon, seseorang sedang membidiknya. Begitu orang itu menekan pelatuk dan peluru pun melesat cepat ke depan, peluru menancap tepat di pinggang Ivy dari arah samping.  Ivy meringis kesakitan dan kunciannya pada sang menteri seketika terlepas. Menteri Perpajakan berhasil melarikan diri darinya dan Ivy tahu persis kini dia berada dalam bahaya. Para prajurit berniat mengambil senapan mereka yang tergeletak di tanah. Memanfaatkan situasi itu Ivy berlari cepat, berencana naik ke atap dengan cara merangkak naik dengan gerakan cepat layaknya laba-laba pada pipa besi yang tertempel di sepanjang dinding.  Peluru bertubi-tubi dilepaskan ke arah Ivy, beruntung gadis itu sudah mendarat sempurna di atap. Kini dia sedang berlari di atas genting yang cukup licin namun Ivy yang terlatih sama sekali tidak kesulitan berlari di sana.  Dengan lincah Ivy berhasil menghindari puluhan peluru yang terus melesat ke arahnya. Dia terus berlari meskipun rasa sakit luar biasa kini sedang dia rasakan di bagian pinggang.  Ivy nyaris terpeleset saat sebuah peluru nyaris mengenai betisnya. Ivy mengikuti arah peluru itu berasal, rupanya dari pohon tadi. Sekali lagi pria yang berhasil menembak pinggangnya melepaskan peluru yang nyaris mengenainya. Beruntung genting telah menyelamatkan Ivy karena peluru itu kini bersarang di genting yang kini hancur lebur akibat terkena peluru yang melesat cepat.  “Sialan. Siapa pria itu? Apa dia seorang penembak jitu? Aku tidak menyangka ada orang sehebat itu dalam kelompok para prajurit istana yang semuanya pecundang,” gumam Ivy sambil menatap tajam pria itu. Tak akan pernah dia lupakan sosok pria yang sudah melukai dan menggagalkan rencananya.  Karena para prajurit begitu gencar menembakinya meski tak ada satu pun yang tepat sasaran, Ivy kembali berlari cepat.  Ivy melihat ada sebuah pohon besar yang bisa dia manfaatkan untuk melarikan diri. Memanfaatkan rantingnya, Ivy melompat ke ranting pohon yang berukuran besar itu, sempat bergelantungan, Ivy kembali mendapat serangan berupa tembakan yang nyaris mengenai punggungnya. Beberapa inci lagi akan mengenainya jika dia tak cepat-cepat bergerak dengan merangkak menuruni ranting pohon.  Pohon besar itu membawa Ivy keluar dari mansion karena memang pohon tumbuh di dekat benteng tinggi mansion namun rantingnya menjuntai sampai ke atap belakang mansion. Ivy melompat turun hingga kedua kakinya berhasil mendarat di tanah. Sambil memegangi pinggangnya yang terluka dan terus mengeluarkan darah, Ivy berlari menghindari para prajurit yang terus mengejarnya.  Mereka tak berani menembak lagi karena banyak rakyat jelata yang berlalu-lalang di depan benteng mansion. Memanfaatkan situasi itu, Ivy dengan sengaja berlari di antara orang-orang yang sedang berjalan.  “Menyingkir. Jangan halangi jalan kami! Kami sedang mengejar pencuri!”  Suara prajurit yang membentak dan menyuruh para pejalan kaki untuk tidak menghalangi jalan mereka, tertangkap jelas telinga Ivy.  Ivy tak gentar meski tahu dirinya masih diburu, napasnya semakin terengah karena dia kehilangan cukup banyak darah akibat luka di pinggangnya. Hingga dia nyaris tak kuasa berlari lagi karena kepalanya yang mulai pusing dan berkunang-kunang.  Ivy mengerjapkan mata agar bisa kembali melihat dengan jelas karena pandangannya mulai buram. Di tengah-tengah ketidakberdayaannya, Ivy teringat pada seseorang yang dia pikir bisa menolongnya begitu melihat sebuah bangunan yang berdiri kokoh tak jauh darinya. Dalam kondisi dirinya tak memiliki pilihan selain meminta bantuan orang lain, Ivy pun tanpa ragu menerobos masuk ke dalam bangunan itu, yang tidak lain merupakan bagian belakang sebuah rumah b****l.  Ivy berjalan tertatih-tatih sambil memegangi luka tembakan di pinggangnya yang terus mengeluarkan darah. Saat dirinya tiba di depan sebuah pintu. Tanpa ragu Ivy mengetuk pintunya. Tak lama kemudian sosok wanita cantik muncul dari balik pintu dan terlihat begitu terkejut saat melihat kondisi Ivy yang mengkhawatirkan.  “Ivy, kau kenapa? Kenapa bisa terluka seperti ini?” “Tolong aku, Kak. Aku butuh bantuan Kak Renata. Aku sedang dikejar.”  Wanita bernama Renata itu tanpa ragu langsung menarik tangan Ivy agar masuk ke dalam kamarnya. Begitu Ivy sudah masuk ke dalam, Renata menatap sekeliling, memastikan tak ada yang melihat sosok Ivy saat masuk ke dalam kamarnya. Lalu dia pun menutup pintu setelah yakin kondisinya sudah aman. Renata tak lupa mengunci pintu dari dalam agar tak ada yang menerobos masuk.  “Siapa yang mengejarmu, Ivy?” tanyanya sambil membantu Ivy mendudukan diri di kursi.  Ivy tak menjawab karena gadis itu tengah sibuk membuka ikat pinggang terbuat dari kulit dan menyingkap pakaian atasannya untuk memeriksa luka di pinggangnya.  Renata meringis, ikut merasa ngeri begitu melihat luka di pinggang Ivy yang cukup parah. Tapi beruntung karena peluru mengenai ikat pinggang sehingga tak terlalu dalam menembus pinggang Ivy. Hanya ujung peluru yang melubangi pinggang Ivy namun sangat cukup memberikan rasa sakit yang luar biasa untuk Ivy.  “Lukamu harus diobati. Sebentar, aku akan mengambilkan obat.”  Renata bermaksud melangkah pergi menuju tempat obat diletakan yaitu di laci meja rias. Namun belum sempat dia sampai di meja rias, Renata maupun Ivy dikejutkan oleh suara derap langkah beberapa orang yang mendekati pintu. Lalu suara gedoran pada pintu pun terdengar, seketika Ivy dan Renata saling berpandangan.  Sial, itu mereka. Para prajurit yang mengejar Ivy rupanya sampai ke rumah b****l itu dan kini datang untuk mencarinya di kamar Renata. Detik itu juga Ivy dan Renata panik dan tak tahu harus melakukan apa agar para prajurit tak menemukan keberadaan Ivy.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN