4. A Momen Like Magic

1616 Kata
Dalam perjalanan menuju ruang club Putri melihat club sepak bola yang tengah berlatih di lapangan. Langkah kakinya terhenti, lalu berdiri diam mengamati. Mungkin saja Sarif seorang di antara mereka yang sedang belatih di tengah lapangan, pikir Putri. Sejak awal jika Putri memiliki keinginan untuk mencari pemuda yang bernama Sarif, sang pengirim surat-surat itu. Putri bisa dengan mudah menemukannya. Putri memiliki cukup petunjuk tentang identitas Sarif dan keberadaannya. Pertama, Sarif sepupu Lia. Kedua, Sarif dekat dengan Dimas. Ketiga, Sarif anggota club sepak bola. Keempat, Sarif siswa dari kelas sebelah. Dengan semua kaitan hubungan petunjuk itu Putri memilih untuk tidak melakukan apa pun. Maka Lia dan teman-teman berpikir Putri tidak tertarik pada Sarif. Begitu juga kesimpulan yang bisa Sarif tarik dari semua potongan fakta yang terkumpul. Ketika rasanya tidak ada harapan lagi dan kesempatan untuk bertemu, mengapa kini Putri dan Sarif harus berpapasan jalan seolah telah ditakdirkan. Putri akhirnya mengenali rupa Sarif untuk pertama kali. Sulit berpura-pura bahwa itu bukanlah dia dengan seragam sepak bola yang bertuliskan nomer pemain serta namanya. Putri terpaku diam, ada kecanggungan menyergap seketika. Putri merasa seakan tertangkap basah karena diam-diam mengamati latihan club sepak bola. Begitu juga dengan Sarif yang sama terkejutnya, tidak menduga pertemuan tiba-tiba ini. Namun Sarif tidak luput memberi senyuman yang mungkin akan terlihat amat dipaksakan. Tidak menemukan alasan untuk tetap berada di sana, Sarif berlalu pergi secepat mungkin. Putri menyadari wajahnya memerah. Putri merasa sangat malu, entah karena pertemuan yang tidak terduga atau karena sikap Sarif yang di luar bayangan tentang dirinya yang Putri kira selama ini. Putri merasakan sesuatu, meski samar. “Apa Sarif memang pribadi yang ramah seperti itu?” Putri tidak mengira Sarif akan menyapa dirinya meski hanya dengan senyuman. “Apa seharusnya aku balas tersenyum juga?” Pikiran itu masih membebani Putri meski momen pertemuan mereka telah berlalu. “Tidak, seharusnya aku meminta maaf karena tidak membalas suratnya.” Putri tidak bisa berhenti memikirkan pertemuan tadi. Harus Putri sebut dengan ungkapan apa rasa yang baru saja menyerang hatinya. Putri belum pernah mengalami getaran rasa seperti ini sebelumnya. Momen pertemuan Putri dan Sarif hanya berlangsung hitungan detik. Tapi mengapa akibat yang diterima terasa fatal, khususnya pada bagian hati dan ingatan Putri. Momen singkat itu terekam dengan sangat jelas dalam setiap hitungan detiknya, seolah Putri memiliki kekuatan super untuk melakukan itu. Apa yang baru saja terjadi pada Putri tidak bisa ia temukan ungkapan yang akurat dalam kamus hidupnya. Putri harap semua itu bukanlah apa-apa, tidak bermakna apa pun. Putri tidak ingin berpikir jauh dan bereaksi berlebihan. Putri masih belum mengerti atau pun memahami bahwa apa yang baru saja ia alami adalah di mana orang menyebutnya dengan jatuh hati. Dalam lingkup kehidupan Putri sejauh ini, ia tidak mengenal getaran hati atau ketertarikan untuk lawan jenis. Putri tidak mengenal arti kata asmara. Putri tidak memiliki kesempatan untuk bersinggungan jalan dengan kata asmara dalam kehidupannya. Mengingat selama ini Putri hanya bersekolah di sekolah Khusus Wanita. Sekali pun Putri memiliki kesempatan untuk merasakan asmara, Ayah tidak akan tinggal diam. Sebelum itu terjadi Ayah pasti sudah mencegahnya lebih dulu. *** Di suatu pagi, Putri datang ke sekolah lebih awal. Bangunan sekolah masih tampak lenggang, kelas 1-4 juga masih kosong. Putri sengaja datang lebih awal karena ia ingin mampir ke suatu tempat yang mengusik pikiran dan mengganjal hatinya belakangan ini. Putri tampak terkejut karena ada seseorang selain dirinya sudah berada di kelas lebih dulu. Sebelumnya Putri pikir ia akan menjadi siswa pertama yang hadir di sekolah. “Lia, selamat pagi..” Sapa Putri. “Oh Putri, selamat pagi juga!” Suara riang semangat khas Lia kala mengawali hari. “Kamu datang awal sekali, apa kamu selalu datang sepagi ini?” Putri berjalan ke mejanya. Sementara Lia tampak sibuk entah melakukan apa. “Tidak, aku datang pagi untuk melakukan kegiatan club. Ah! Aku ikut club Penelitian Sosial, kegiatan club lebih banyak dikerjakan secara individu.” Lia menerangkan tanpa dipinta. “Lalu kamu datang untuk mengerjakan kegiatan clubmu sepagi ini seorang diri?” Putri kaget, berpikir kegiatan club Lia sungguh berat. “Iya, aku harus segera menyelesaikannya. Aku cemas kalau kukerjakan siang atau sore hari tidak akan terkejar untuk diserahkan.” Lia selesai mengemas barang-barang club dan siap pergi. Putri baru dengar ada nama club seperti itu di sekolah. Apa selama ini yang Putri lihat saat Lia mengerjakan sesuatu seorang diri itu, dalam berbagai tempat dan kesempatan merupakan bagian dari kegiatan club juga. Tiba-tiba Lia penasaran. “Bagaimana denganmu? Datang sepagi ini apa ada sesuatu?” Tanyanya. “Aku? Uhm, aku ingin mendatangi suatu tempat.” “Suatu tempat? Di mana itu?” Tanya Lia, suatu tempat itu luas karena tidak spesifik menjelaskan. Rasanya tak mengapa bila Putri mengatakan nama tempat tujuannya karena Lia tidak tahu bahwa kepentingan Putri ini masih berkaitan dengan Sarif. “Pohon Besar di belakang sekolah.” “Ah! Aku tahu tempat itu, tanah lapang di belakang sekolah. Kamu akan ke sana? Untuk apa?” “Oh, ngg.. Aku mencari sesuatu. Ya! Aku rasa aku menghilangkannya di sana.” Putri sendiri tidak mengerti mengapa dirinya berbohong menjawab pertanyaan Lia. Padahal pada Egi ia bisa terbuka bercerita apa adanya. Wajah Lia berubah cemas dan panik. “Benarkah? Aku akan ikut membantumu mencari—” “Tidak, jangan! Itu.. Aku akan cari sendiri Lia. Ehm, maksudku... Kamu harus menyelesaikan tugas club jadi aku tidak ingin merepotkanmu.” Putri dengan cepat mencari alasan untuk menolak bantuan Lia. “Sungguh? Kamu tidak membutuhkan bantuan? Dua orang mencari lebih baik.” Tentu maksud Lia baik dan perhatian, akan lebih cepat mencari bersama dari pada sediri. “Tidak apa, aku bisa melakukannya.” Putri tersenyum, ia ingin meyakinkan Lia. Lia sejenak diam, menatap Putri merasa sedikit aneh dan bingung. “Baiklah, jika itu maumu.” Tidak mungkin Lia memaksa Putri kalau sudah menolak begitu. “Ah! Tapi kamu harus segera menemukannya Put, karena yang kudengar tempat itu akan segera menghilang. Pihak sekolah akan membangun gedung baru di sana.” Kabar diluar dugaan bagi Putri. Tak menyangka tempat yang baru saja ia coba kenal akan segera menghilang. Raut wajah Putri berubah pilu namun tetap mencoba tersenyum meski pudar. “Aku mengerti, terima kasih Lia.” Pohon besar di belakang sekolah. Dalam suratnya kali terakhir yang Sarif kirimkan, ia mengatakan bahwa sebenarnya telah menulis dua surat. Satu yang berada di tangan Putri dan yang satunya Sarif simpan dalam botol kaca pada pohon besar di belakang sekolah. Sarif memberitahu hal itu pada Putri di dalam suratnya, setelah merenung bagaimana pun Putri pikir Sarif berharap Putri mencari satu surat yang tersisa itu dan membaca isinya. Tapi jika pun Putri tidak melakukannya biarlah surat itu tetap berada di sana, menghilang tanpa pernah tersampaikan. Hampir dua minggu setiap istirahat siang Sarif pergi ke tanah lapang di belakang sekolah. Duduk berteduh di bawah pohon besar. Entah untuk menjaga suratnya atau menunggu seseorang datang, atau mungkin keduanya. Pada beberapa kesempatan satu-dua kali Putri melihatnya di sana, hanya melihat dari kejauhan tanpa pernah menyapa sekali pun. Tapi belakangan ini Sarif sudah tidak datang lagi ke tempat itu. Tampaknya dia sudah lelah menunggu dan menyerah, tapi bisa jadi Sarif sibuk dengan hal lain. Atau bisa juga Sarif telah menemukan seseorang yang lain, itu akan lebih baik untuknya. Alasan mana yang tepat Putri tidak tahu, yang pasti Sarif tidak pernah datang lagi ke tempat janji pertemuan itu. Dan Putri beranikan diri datang ke tempat itu karena yakin bahwa sepagi ini belum ada siswa lain yang hadir di sekolah yang mungkin bisa melihatnya di sana. Putri datang mendekat ke bawah pohon besar, ini kali pertamanya ia berada di sini. Pantas Sarif betah berlama-lama terduduk diam atau membaringkan diri di bawah pohon besar ini karena Putri dapat merasakannya juga. Perasaan nyaman dan tentram. Dahan lebat dan daun pohon yang rindang. Di pagi hari udara segar berhembus dari daun-daun pohon yang masih berselimuti embun. Jika siang hari, panasnya terik matahari yang menyengat, Putri yakin tidak mampu menembus rindangnya daun pohon ini. Angin yang bertiup tidak serta-merta lewat begitu saja, tapi singgah menyelinap di antara dedaunan bergerak seirama beriringan. Pohon yang sudah sangat tua dan paling besar di antara pohon lainnya. Pada batang pohon itu memang ada lubang seperti sarang hewan. Hanya saja tampaknya sarang itu telah ditinggalkan pemiliknya. Dalam lubang ada botol kaca seperti yang Sarif katakan. Dan di dalam botol ada surat yang Sarif tulis. Putri mengeluarkan surat dalam botol lalu mengembalikan botol kaca kembali ke dalam lubang. Saat itu juga Putri membuka surat untuk membacanya.   Yang terindah adalah senyumanmu yang kau tujukan pada bunga-bunga dan pepohonan di sisi jalan. Membuatku ingin lebih menggenal seperti apa dirimu yang sebenarnya. Yang terberat dan membuatku tidak bisa berpaling darimu adalah air mata yang membasahi pipimu. Andai jemari ini bisa meraih untuk menghapus air mata itu. Tidak hanya jemari, yang lain pun dapat kuberikan. Yang membuatku ingin lebih dekat denganmu dan menjadi teman seperjalanan adalah sosokmu di sudut kelas yang tengah membaca buku. Tapi aku tahu kini kamu tidak sendiri lagi. Melihat wajah ceriamu bersama teman-teman, itu melegakan hati dan perasaanku. Mungkin aku telah jatuh cinta pada semua nuansa itu, senyumanmu, kesunyian dan air mata. Jatuh cinta.. Ya mungkin seperti ini rasanya. Aku bukanlah penyair yang pandai merangkai kata tapi cinta sedikitnya telah mengajariku untuk meyampaikan ini padamu.. Andai air mata adalah bukti cinta, jujur aku tidak memilikinya karena air mata dapat menguap tak berbekas. Andai rangkaian kata-kata indah adalah bukti cinta, aku juga tidak memilikinya karena perbuatan dapat membuktikan ketulusan dan jauh lebih indah dari perkataan yang terindah. Yang aku punya hanya waktu. Biarlah waktu yang mencatat dan menjadi saksi bukti cintaku padamu..                               Cinta. Kata itu berputar berulang-ulang di benak Putri. Sarif mengatakan dalam suratnya, mungkin seperti ini rasanya jatuh cinta. Rasa seperti apa, yang bagaimana. Kata cinta menjadi satu misteri baru bagi Putri yang harus ia tambahkan dalam daftar kamus hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN