"Apa nama kakakku itu Karina, Bik?" tanya Kirana. Bik Maryam sontak menatap Kirana dengan kening berkerut.
"Kamu tahu dari mana, Kirana? Apa kamu sudah pernah bertemu dengan dia?" tanya Bik Maryam heran.
"Aku pernah melihatnya, Bik, dan hal itulah yang membawaku datang ke sini, aku ingin tahu tentang Ibuku, juga Karina kakakku."
"Mas Damarmu lebih tahu soal itu, Kirana."
"Mas Damar? Ooh ... aku sampai lupa. Di mana Mas Damar Bik?"
"Mas Damarmu sekarang sudah jadi dokter, Kirana. Ia bertugas di salah satu rumah sakit swasta ternama di Jakarta."
"Alhamdulillah, akhirnya cita-cita Mas Damar jadi dokter tercapai juga ya, Bik. Tapi kenapa Bibik bilang Mas Damar lebih tahu soal Ibu, dan Kakakku Bik?"
"Mas Damarmu bercerita, kalau dia bertemu dengan Ibu, dan Kakakmu di rumah sakit. Ibumu sakit, dan dirawat di sana, Kirana. Hanya ada seorang pembantu yang menjaganya, karena kakakmu harus bekerja untuk membiayai pengobatan Ibumu."
"Jadi Ibuku sedang sakit? Bisa Bibik memberiku nomer telpon Mas Damar, aku ingin sekali bertemu Ibuku, Bik," pinta Kirana.
"Sebentar ya." Bibik masuk ke dalam, dan kembali dengan ponsel di tangannya. Bik Maryam menyebutkan nomer kontak Damar putranya. Dengan sedikit gemetar Kirana menekan nomer Damar.
"Assalamuallaikum ... hallo siapa ya?" suara lembut di seberang sana terdengar menyapa.
"Walaikumsalam ... ha ... hallo. Mas ... Mas Da-mar, ini Ki-ra-na," sapa Kirana dengan suara terbata.
"Kirana? Kirana mana ya?"
"Ki ... Kirana gadis kecilmu du-lu ...."
"Kirana!? Kiranaku!? Sungguh ini Kiranaku!? kamu di mana? Tahu dari mana nomerku? Aku ... aku, aaakkhh ... ya Allah, kau tahu, aku merindukanmu Kiranaku."
"Aku juga rindu pada Mas Damar, aku sekarang ada di kampung kita Mas, aku ada di rumah Ibu Mas."
"Haah, kamu ada di rumah ibuku? Kenapa tiba-tiba kamu pulang ke kampung kita, setelah menghilang bertahun-tahun Kirana?"
Kirana menarik nafas panjang sebelum menjawab.
"Aku ingin tahu tentang Ibu, dan Kakakku, kata Ibu Mas Damar ... Mas Damar yang tahu soal itu."
"Kamu mencari Ibumu? Ooh ... bagaimana kabar Ayahmu, Kirana?"
"Ayah sudah enam tahun meninggal, Mas. Aku sekarang tinggal dengan Ayah angkatku."
"Innalillahi wainnailaihi ro'jiun, aku turut berduka atas kepergian Ayahmu Kirana."
"Terima kasih, Mas. Jadi bisakah Mas ceritakan tentang Ibuku?"
Damar pun bercerita tentang keadaan Kartika ibu dari Kirana, dan Karina.
Ia juga menceritakan tentang Karina.
Akhirnya Kirana, dan Damar berjanji bertemu di rumah sakit hari ini juga.
"Jadi kamu pulang hari ini juga Kirana? Tidak ingin menginap di sini dulu."
"Maaf Bik aku tidak menginap, tapi kalau Bibik tidak repot bisa temani aku jalan-jalan sebentar, aku masih punya waktu 4 jam Bik, aku ingin makan rawon di warung Bik Tuminah, masih jualankan beliau?"
"Masih, masih ... ayo Bibik temani, kamu bisa bawa motorkan, Bibik kalau bawa sendiri bisa, tapi kalau bawa orang nggak berani."
"Ya bisa Bik, eeh Bapaknya Mas Damar ke mana Bik?"
"Masih seperti dulu kerja bertukang, padahal sudah dilarang Mas Damar mu, tapi katanya nggak enak diam saja di rumah."
"Ooh ... sudah terbiasa kerja, jadi nggak enak diam saja ya, Bik?"
"Iya."
___
Kirana menyempatkan bernostalgia di kampung kelahirannya dengan ditemani Ibu Damar.
Ia sempat menumpang mandi di rumah Ibu Damar, dan mengganti bajunya dengan busana muslim milik Mbak Hamidah, kakak Damar yang dipinjamkan Bik Maryam, karena ia tidak membawa baju ganti.
Sebelum pulang, Kirana sempat berpesan kepada Bik Maryam jika bertemu Bik Suti agar menanyakan di mana mereka tinggal sekarang.
Meskipun suami Bik Suti dulu pernah melakukan pelecehan terhadapnya, tapi Bik Suti tetaplah adik Ayahnya, satu-satunya keluarga dari pihak Ayahnya. Dan Bik Suti juga dulu sempat merawatnya saat ia kecil, ia memilik hutang budi pada Bik Suti yang tak mungkin bisa ia bayar, karena Bik Suti memperlakukannya sama dengan anaknya sendiri.
Kirana tidak ingin sepupu-sepupunya hidup kekurangan sementara ia sendiri hidup di atas kemewahan.
--
Lepas Maghrib Kirana baru tiba kembali di Jakarta karena keberangkatan pesawat yang tertunda 2 jam. Kirana langsung menuju rumah sakit tempat Damar bekerja.
Mas Damarku, begitulah ia dulu menyebutnya.
Kiranaku, begitulah dulu Damar menyebutnya.
Selisih umur mereka sangat jauh sebenarnya. Dua belas tahun, sangat jauh, tapi dulu di masa kecilnya, Damar adalah pangeran impiannya.
Damar gagah, ganteng, pinter, baik, soleh, lemah lembut, pokoknya komplitlah bagi Kirana.
Damar selalu membantunya mengerjakan PR dari sekolah.
Damar sangat sabar menghadapi anak-anak kecil seperti dirinya dulu.
Ia memberikan bimbingan belajar bagi anak-anak disekitar rumah dengan cuma-cuma.
Bagi Kirana, Damar adalah Super Heronya, pahlawannya.
Tapi tidak bisa lagi menjadi pangeran impiannya, karena ia tidak bisa lagi berharap Damar menjadi teman hidupnya.
Taksi berhenti di depan lobi rumah sakit. Kirana turun setelah membayar. Dibuka masker yang menutupi separuh wajahnya, tapi dibiarkan kacamata tetap bertengger di atas hidung bangirnya.
Diambil ponsel dari dalam tasnya.
Belum sempat Kirana menekan nomer kontak Damar, ketika seseorang memanggil namanya.
"Kirana!"
"Mas Damar!"
"Bener ini kamu Kiranaku?" tanya Damar dengan mata lekat menatap dari kaki, sampai kepala berulang kali. Kepala Kirana mengangguk.
"Iya Mas ... ini aku Kiranamu dulu," jawab Kirana.
"Kamu cantik sekali Kirana, dan wajahmu persis sekali dengan Ibu, dan Kakakmu, Karina, hanya usia yang membedakan kalian."
"Mas Damar juga ganteng banget, tambah gagah, tambah keren," puji Kirana membuat Damar tertawa.
"Sudah siap bertemu Ibumu?"
"Siap tidak siap Mas, yang jelas aku ingin sekali bertemu Ibuku, dan aku minta semuanya sesuai yang kita bicarakan tadi ya."
"Oke Kirana, ayolah aku akan membawamu kepada Ibumu."
Kirana memasang kembali maskernya, sebelum berjalan beriringan dengan Damar menuju ruang perawatan Ibunya. Ibu kandung yang bahkan tidak pernah dilihatnya, bahkan didalam fotopun tak pernah.
Tok...
Tok...
Tok...
Damar mengetuk pintu, pintu terbuka.
"Ooh dokter Damar, masuk Pak dokter," seorang wanita usia sekitar empat puluh tahunan mempersilahkan mereka masuk.
Damar menggenggam tangan Kirana, seakan memberi kekuatan.
Seorang wanita yang usianya sekitar lima puluh tahun lebih, tampak terbaring di atas ranjang, tubuhnya terlihat kurus, dan ringkih. Tapi wajah tuanya, meski terlihat sudah menua tapi Kirana bisa memastikan, wajahnya adalah duplikat dari wajah wanita itu di masa muda.
Melihat kedatangan mereka, wanita itu segera bangun dari rebahnya, tampak sinar kebahagiaan terpancar dari wajah tuanya.
"Selamat malam Ibu, maaf malam-malam begini berkunjung," sapa Damar.
"Ooh Damar, tidak apa-apa, Ibu selalu bahagia kalau kamu datang, kamu membawa temanmu Damar, siapa dia? Apa calon istrimu?" tanya Kartika.
"Aamiin ... doakan saja ya Bu," jawab Damar, membuat Kirana menatap ke arah Damar. Kirana merasa apa yang diucapkan Damar barusan bukan sekedar basa-basi, tapi benar-benar keluar dari kesungguhan hati.
"Kenalkan Bu, namanya Anna, dia lagi sakit flu jadi terpaksa pakai masker," Damar memperkenalkan Kirana pada Kartika.
Kirana duduk di kursi di sisi ranjang, dan mengulurkan tangannya untuk menyalami tangan kurus milik Ibunya. Diciumnya tangan itu dengan penuh perasaan, meski sejak ditinggalkan Ibunya, ia tak pernah merasakan belaian kasih dari tangan itu, tapi bagi Kirana Bu Kartika tetaplah Ibunya yang sudah mengandung, dan melahirkannya.
Tanpa sadar Kartika mengangkat tangannya yang lain untuk mengusap kepala Kirana. Sekuat tenaga Kirana menahan agar tangisnya tidak pecah.
"Boleh saya panggil Ibu?" tanya Kirana dari balik maskernya.
"Tentu saja boleh," jawab Kartika.
"Sejak kecil saya sudah ditinggalkan Ibu saya Bu, melihat Ibu, saya jadi merasa menemukan Ibu saya," kata Kirana pelan.
"Ke mana Ibumu nak?" tanya Kartika, tangannya menggenggam jemari Kirana.
Kirana menggeleng.
"Saya tidak tahu Bu."
"Ayahmu?"
"Ayah saya sudah meninggal."
"Jadi kamu tinggal dengan siapa Nak?"
"Ayah angkat saya Bu."
"Ehmm ... ini kalian, enghh ... maksud Ibu, Nak Damar dengan Nak Ana kenalnya di mana? Apa Nak Ana dokter juga?"
Kirana menatap ke arah Damar, berharap Damar yang menjawab pertanyaan itu.
"Ketemunya di rumah sakit ini Bu, Ki ... eeh, maksud saya, Ana ini tadinya pasien saya," jawab Damar terpaksa berbohong.
"Ooh ... kalau begitu sih namanya sakit membawa jodoh ya, Nak Ana," goda Bu Kartika. Damar, dan Ana saling pandang, lalu ikut tertawa bersama Bu Kartika.
Tawa mereka terhenti saat pintu ruangan terbuka.
Andai tidak sedang duduk, mungkin tubuh Kirana sudah limbung, saking terkejutnya melihat Karina masuk bersama Arsyl.
***BERSAMBUNG***