"Karina ...."
"Mas, setelah ... ehmm, setelah sepuluh tahun, akhirnya kita bertemu lagi."
"Ya, setelah sepuluh tahun, dan semuanya masih tetap sama Karina, masih tetap sama, tak ada yang berubah, kecuali usia kita yang semakin bertambah, dan perasaan kita yang sudah berbeda." Suara Arsyl terdengar sangat sinis bagi telinga Karina.
Karina menundukan wajah, rasanya ia tak sanggup menanggung tatapan Arsyl yang setajam pedang, bagai menusuk sampai ke ulu hatinya.
Tapi bukan Karina namanya jika tak mampu menguasai keadaan. Karina sudah terbiasa menghadapi pria dengan berbagai karakter di dalam hidupnya
Karina mengangkat kepala, dibalas tatapan Arsyl dengan tatapan lembut matanya.
"Ya, Mas benar, dan meskipun sudah sangat terlambat, tapi aku ingin Mas mendengarkan penjelasanku tentang apa yang terjadi. Tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskannya Mas," pinta Karina. Suaranya menghiba sama seperti sorot matanya.
Arsyl ingin bicara tapi ponsel di tangannya berbunyi. Arsyl menatap layar ponsel, ternyata dari kantor Ayahnya. Sejenak Arsyl sibuk bicara dengan sekretaris Ayahnya.
Arsyl menutup ponselnya.
"Aku harus pergi."
"Mas Arsyl bisa aku minta nomermu, setidaknya anggaplah aku teman lamamu yang ingin kembali menjalin silaturahmi denganmu," pinta Karina dengan suara manja merayu yang pasti tak akan bisa ditolak pria manapun juga.
Arsyl menarik nafas dalam kemudian menyebutkan nomer kontaknya pada Karina. Arsyl sadar, sesungguhnya, ia tak pernah bisa benar-benar membenci Karina. Atau sesungguhnya, semua perasaannya pada Karina sudah sirna.
"Aku harus pergi Karina," pamit Arsyil.
"Silahkan Mas, sampai bertemu lagi."
Arsyl masuk ke dalam mobilnya, ia menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Arsyl tahu, pertemuan mereka pasti akan terjadi, dan tak akan bisa dihindari.
Yang Arsyl tidak tahu adalah, kenapa perasaan bencinya tak bisa ia ungkapkan pada Karina. Rasa marah yang terpendam selama ini, seperti menguap saat ia berhadapan dengan Karina. Meski ia berusaha berkata, dan menatap tajam wajah Karina.
'Ataukah sebenarnya perasaan benci itu sudah sirna tanpa aku sadari. Tapi, kenapa saat melihat Kirana, aku teringat Karina, dan ingin membalas sakit hatiku pada Karina lewat Kirana.'
Arsyl berusaha menelaah perasaannya saat ini pada Karina. Setelah ia berhadapan dengan Karina sesaat tadi, awalnya memang ada rasa marah, setelahnya ....
'Tak ada benci, tak ada rindu, dan tak ada cinta, semuanya terasa biasa saja.
Ada apa dengan hatiku?
Apa perasaanku sudah mati?
Apa? Hhhh ... entahlah ....'
---
Beberapa hari setelah pertemuan pertama mereka, Arsyl dan Karina janji bertemu, dan makan siang bersama. Mereka duduk berhadapan di sebuah restoran yang pengunjungnya tak begitu ramai.
"Kau ingin menjelaskan semuanya Karina, sekarang mulailah bicara," pinta Arsyl.
Karina menarik nafas panjang untuk mengisi udara pada dadanya yang terasa sesak.
"Kamu benar tentang aku sudah menjual diriku Mas, tapi yang kamu tidak tahu adalah alasan dibalik itu."
"Apapun alasannya Karina, menjual diri adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan," sahut Arsyl cepat.
"Tapi aku harus melakukan itu untuk bertahan hidup Mas." Karina menatap wajah Arsyl. Meminta Arsyl memahami posisinya dulu.
"Kamu bukan melakukan itu untuk bertahan hidup Karina, tapi kamu melakukan itu untuk memuaskan gaya hidupmu yang selalu ingin jadi yang ter! Tercantik, termodis, dan ter-ter lainnya, Karina!" Rasa sakit itu kembali hadir di relung hati Arsyil.
Karina terdiam, ia tak bisa mengelak tuduhan Arsyl. Yang dikatakan Arsyl memang benar. Ia terperangkap dalam kehidupan konsumtif yang sangat berlebihan. Karena salah pergaulan. Dulu, Arsyl selalu mengingatkan, tapi peringatan Arsyl ia abaikan.
Arsyl menarik nafas berat lalu menghembuskannya pelan.
"Apa kamu masih melakukan hal itu sampai sekarang Karina?" tanya Arsyl tiba-tiba. Kepala Karina mengangguk.
"Ya, itu masih aku lakukan, aku tak punya pilihan, ibuku sedang sakit parah, dan aku perlu banyak uang untuk kesembuhannya," jawab Karina.
"Hhhh ... apakah itu alasan baru Karina?"
"Tidak Mas, itu sebuah kebenaran, tadinya aku ingin berhenti bekerja seperti ini. Setelah melihat kondisi ibu yang sakit, karena ibu dulu juga seperti aku. Tapi aku tak punya pilihan Mas, pekerjaan ini adalah pekerjaan dimana aku bisa dengan mudah mendapatkan uang," air mata Karina menggenang di pipinya.
Tiba-tiba timbul rasa kasihan di dalam hati Arsyl.
"Jadi Ibumu dirawat di rumah sakit itu?"
"Iya."
"Aku turut prihatin Karina."
"Mas Arsyl, bisakah kamu membantuku sekali saja?" tanya Karina penuh harap.
"Bantuan apa yang kau inginkan dariku?"
"Ibuku, mungkin umurnya tak akan lama lagi, dia ... dia sangat berharap bisa melihatku menemukan laki-laki yang bisa mencintaiku dengan tulus Mas. Jadi ... jadi, aku mohon, bantulah aku untuk membuat ibuku bahagia. Aku mohon erpura-puralah kalau Mas adalah kekasihku, calon suamiku. Aku mohon bantu aku Mas." Karina menarik nafas dalam.
"Aku ... aku, tidak tahu harus minta bantuan siapa Mas, saat bertemu Mas tempo hari, ide untuk minta bantuan Mas itu muncul begitu saja," suara Karina terbata saat memohon pada Arsyl. Arsyl menatap langsung ke bola mata Karina, dan ia melihat kejujuran, dan ketulusan di sana.
Arsyl merasa apa yang diharapkan Ibu Karina persis seperti harapan Ayahnya, hanya saja Ayah sudah menyiapkan sendiri wanita yang harus dinikahinya.
Entah apa yang mendorong Arsyl untuk menggenggam jari Karina.
"Aku akan membantumu Karina, tapi demi ibumu bukan karena dirimu," janjinya.
"Terimakasih Mas, akupun akan melakukan ini demi ibuku," sahut Karina dengan mata berbinar bahagia. Tanpa mereka ketahui sepasang mata dari seseorang yang duduk tidak jauh dari mereka tengah mengamati mereka.
Mata milik Kirana.
Sungguh, saat Kirana melihat Karina berjalan memasuki restoran bersama Arsyl tadi ia bagai melihat dirinya di masa depan, meskipun mungkin ia tidak akan memakai pakaian, dan perhiasan seperti yang dipakai Karina saat ini. Benak Kirana dipenuhi berbagai pertanyaan.
Siapa wanita yang seperti dirinya versi tua itu?
Apakah wajahnya yang mirip wanita itu yang membuat Arsyl memandangnya seakan ia sumber penderitaannya?
Tapi Kenapa Arsyl, dan wanita itu terlihat baik-baik saja, bahkan Arsyl menggenggam tangannya mesra?
Apakah mungkin ada dua orang yang berbeda tanpa ada ikatan darah sama sekali bisa semirip mereka?
"Oke Karina, aku kira sudah saatnya aku kembali ke kantor, aku berjanji akan segera mengunjungi ibumu dirumah sakit," suara Arsyl yang cukup nyaring mengagetkan Kirana yang duduk tidak jauh.
"Karina ...." gumam Kirana.
'Bagaimana bisa dua orang dengan nama, dan wajah hampir sama tanpa ada ikatan darah di antara mereka, aku harus cari jawabannya, dan jawaban itu hanya akan bisa aku temukan jika aku pulang ke kampung halaman Ayahku, karena aku tidak ingin bertanya langsung pada Arsyl apa lagi pada wanita itu.'
Tiba-tiba, Kirana teringat sesuatu.
'Kampung halaman Ayah, datang ke sana sama artinya dengan mengoyak kembali luka lama, luka yang masih membekas hingga sekarang.
Tapi ini harus aku lakukan, demi menjawab berbagai pertanyaan yang tak bisa aku hilangkan, dan menuntut segera jawaban.'
*****