Aku menghela napas kasar, akhirnya semua perjalanan panjang ujian akan berakhir besok. Hari terakhir UN. Aku sangat berharap Gritany bisa menyelesaikan soal-soal dan tidak melupakannya.
Beberapa bulan ini, aku cukup lelah memperhatikan dua orang anak sekolahan yang menghadapi UN.
Yang satunya butuh perhatian khusus, yang satunya tidak ingin diperhatian baginya aku lebih banyak mengganggu dibanding membantu.
"Hai Miss!" ucap Gritany menyapaku.
"Hai, gimana? Bisa ujiannya?"
Ia mengangguk semangat, "Semua soalnya mirip-mirip sama miss kasih. Aku yakin deh bisa dapet NIM tinggi."
Aku tersenyum, "Yuk, besok terakhir perjuangankan?"
Tiga jam aku membantu Gritany, akhirnya aku pulang ke rumah. Ketika sampai rumah aku melihat Al sedang duduk menonton TV.
Aku duduk di sampingnya, tetapi fokusnya hanya pada film Ironman yang sedang diputar di TV.
"Kamu nggak belajar?" tanyaku.
"Udah."
"Udah bisa?"
"Iya. Mama baru pulang?"
Aku mengangguk, "Iya, murid mama ini juga 3 SMA. Tapi selama ini kok mama bisa lupa ya tanya dia sekolah dimana."
"Mungkin faktor umur, Ma."
Aku memukul Al pelan di lengannya, "Sembarangan kalau ngomong. Gini-gini mama masih laku nih buat jadi bintang iklan."
"Iya, iklan sepatu yang nggak butuh muka atau cat kuku yang Cuma tangan."
Aku mencibirnya, bisa-bisanya dia menjelek-jelekanku seperti itu. Melihat Al yang sudah fokus kembali ke film membuatku ingin bertanya tentang kuliah yang ia mau. Sampai sekarang bahkan besok terakhir UN, Al masih saja belum memberitahuku kemana ia akan melanjutkan kuliahnya. Ck, bikin kesal aja.
"Eh, Ma."
"Hmm, apa?"
"Ke Mall yuk?"
"Ngapain?"
"Nonton, lagi ada film bagus."
"Besok UN. Nggak lupa kan?"
"Nggak, udah gih mandi siap-siap yuk nonton."
Aku bangkit berdiri karena paksaan yang Al kasih. Kebiasaan, memaksaku pergi ke mall dan menemaninya nonton film. Coba kalau aku yang ajak, fuh! Harus sekali menggunakan taktik pemotongan uang jajan untuk menemaniku ke Mall.
30 menit kemudian aku sudah berada di mobil, Al sudah duduk disamping dengan tangan memencet-mencet radio mencari lagu yang bagus.
"Mau nonton apa emangnya?"
"Nggak tau. Kan belum lihat ada film apa aja."
Aku menyerngit, "Kan katanya ada film bagus?"
Al tertawa garing, "Bohong. Cuma bete aja di rumah."
Aku berdecak kasar. Bisa-bisanya anak ini.
Sesampainya di mall, kami berdua langsung menuju bioskop dan melihat-lihat film yang sedang diputar.
Bukan aku tidak sadar, sangat sadar. Jika aku berjalan dengan Al, Al selalu merangkulku dan aku pasti melingkarkan tangan ke pinggang Al itu sontak membuat orang-orang melihat kearah kami. Mungkin mereka kira anak SMA yang jalan sama tante-tante. Hei, aku nggak setua itu kan?
"Nggak ada film yang menarik ya ternyata."
"Yauda makan aja gimana? All you can eat?"
"Setuju!"
Aku dan Al jalan menuju Shaburi, kami mengikuti pramusaji yang mengantar kami ke meja.
Al mulai memasak dagingnya sendiri, aku memperhatikannya. Betapa bersyukurnya aku memiliki anak ini. Meskipun dengan berbagai perbedaan pemikiran denganku. Tetapi anak ini tumbuh dengan baik, aku termasuk ibu yang lumayan berhasilkan?
Al bukan anak yang pembangkang, bahkan jika ia tidak setuju ia tidak akan membentakku atau menunjukan dengan cara keras. Semua yang aku inginkan selalu ia turuti, tidak ada sama sekali perintah atau nasehat yang ia langgar. Hanya satu kali ia tidak menurutiku, dimana ia harus bersekolah sewaktu SMA.
Melihatnya sudah menyusun sendok dengan rapi menandakan ia sudah selesai makan dan sedang minum minumannya itu, aku tiba-tiba membahas pertemuanku dengan David.
"Kemarin, ehm, nggak kemarin juga sih. Aku ketemu papa kamu."
Al berhenti sejenak minum, "Dia tau aku ada?" lalu melanjutkan minum. Dasar anak Onta, bisa-bisanya ia kembali fokus pada minumannya.
"Nggak tau. Maksudnya mama yang nggak tau, dia tau ada kamu atau nggak. Tapi sempet nanya sih, Cuma mama nggak jawab."
Al mengangguk, "Setelah lama, baru ketemu. Pertanda apa ya?"
Aku menyerngit, "Maksudnya tanda apa?"
Lalu ia mengangkat bahunya cuek, "Dia udah nikah?"
"Mama nggak tau juga."
Lalu Al diam tidak menjawab, "Yuk pulang. By the way, mama ketemu dimana?"
"Di kantor omnya yang mama ajarin. Ternyata dia kerja disana."
Al tidak pernah bertanya mengapa aku dan David tidak pernah bersatu, mengapa aku membesarkannya sendiri, mengapa David tidak pernah melihatnya dan terlalu banyak pertanyaan yang seharusnya ia tau tetapi aku tidak menjelaskan. Jika aku menjelaskan sudah pasti ia akan membenci papanya, aku nggak mau.
Setidaknya peran orangtua itu harus menjadi contoh, aku takut Al akan mencontoh dirinya.
ބ
Keesokan harinya, aku pergi menuju Kantor Reeve lagi. Aku akan mengembalikan uang yang ia berikan karena terlalu banyak lebihnya.
Ketika aku keluar lift, aku disambut oleh David yang sedang menunggu lift juga. Aku keluar lift tanpa menghiraukannya, bertindak seolah tidak ada orang di hadapanku.
Tetapi ia menahan tanganku, "Bisa kita bicara sebentar?"
David mengajakku keatap gedung ini, ia brjalan menuju ujung gedung agar bisa melihat pemandangan, mungkin?
Sedangkan aku stay di dekat pintu tidak mengikutinya, bisa saja sewaktu-waktu ia mendorongku. Aku tidak ingin mati sekarang, belum menikah dan meninggalkan Al, tidak sekarang tidak.
"Mau ngomong apa?" ucapku menyadarkan David kalau kami sudah terlalu lama berdiam, panas!
"Kamu apa kabar? Seharusnya ini kan yang aku tanyakan ketika pertama kali bertemu?"
Aku tersenyum sinis, "Aku nggak butuh basa basi kamu atau pertanyaan nggak mutu kamu."
"Aku mau minta maaf soal kejadian dulu."
"Telat, udah Cuma itu aku mau turun, panas." Ucapku sambil mengipas tanganku kearah muka.
"Kamu banyak berubah."
"Kamu mau aku kaya dulu? Cuma diem aja?"
David menggeleng, "Aku bener-bener minta maaf."
"Hais, Hell yeah." Ucapku sedikit mengumpat kasar, "Kamu kira maaf kamu bisa kembaliin harga diri yang keinjek-injek? Kamu kira maaf bisa mengembalikan keadaan? Kamu kira maaf kamu bisa buat aku sama keluarga aku lupa sama kelakuan orangtua kamu? Kamu kira maaf bisa balikin masa depan aku yang hancur? Coba deh, kamu pikir. Maaf nggak bisa menyelesaikan semuanya!" ucapku meninggi. "Kalau udah nggak ada apa-apa aku mau turun."
Aku meninggalkan David tanpa menunggu jawabannya lagi. Pergi menjauh darinya lebih baik dibanding harus menambah keriput yang sudah bermunculan di wajahku.
Aku menarik napas dan membuangnya kasar. Aku memutuskan untuk pulang dan membatalkan niat bertemu dengan Reeve.