Aku melihat wajah bingung Gritany. Sudah dua kali aku bertemu dengannya dan menurutku sama sekali tidak ada perubahan pada Gritany. Sebagai tutornya aku merasa ada yang salah denganku. Aku sudah mengajarkan cara yang sesuai dengan gurunya, cara yang berbeda bahkan cara bodoh alias cara mudah tapi tetap saja anak itu sulit memahami seperti pasrah dengan keadaannya.
Aku mulai berpikir, apa yang mengganggunya sehingga ia tidak fokus belajar? Karena menurutku di dunia ini tidak ada orang bodoh, yang ada hanya orang malas. Tetapi keinginan untuk bisa dan semangat belajar itu penting. Entah mengapa aku jadi merasa bersyukur memiliki Al yang pandai.
"Kamu lupa? Kemarin Miss sudah ajarkan kan?" tanyaku.
Gritany mengangguk, "Tapi lupa lagi."
Aku menghela napas kasar, "Kamu kenapa selalu nggak konsen? Nggak ngerti sama yang Miss jelaskan atau kamu nggak suka sama Miss? Ngaruh loh."
Kali ini Gritany menggeleng cepat, "Aku suka sama Miss. Suka banget malah, beda cara ngajarnya. Kemarin aku bisa pas Miss jelasin, tapi hari ini lupa lagi. Apa emang aku beneran bodoh ya?"
Aku mengerutkan kening, "Siapa yang pernah bilang kamu bodoh?"
Gritany menghela napas, ia melihat kearah jendela yang terlihat kolam renang di rumah ini. "Ada, aku suka sama dia Miss tapi dia bilang aku bodoh."
"Ah masa sih ada yang sekejam itu?"
Gritany mengangguk keras sampai melihat kearahku, "Beneran Miss. Malah ya, dia bilang gini. Cewek itu ya kalau cantik, kaya pasti bodoh. Sedangkan, kalau pinter, muka biasa aja pasti nggak kaya. Lagian cewek cantik Cuma mikirin penampilankan? Nggak pernah mikirin nilai. Ya itu lo! Dia bilang gitu Miss."
Aku bergedik ngeri. Kejam sekali laki-laki yang Gritany suka. Terlalu jujur.
"Terus kamu jawab apa?"
Gritany berubah menjadi lesu, lalu menggeleng pelan "Aku Cuma diem aja. Emang aku sebodoh itu? Kayanya nggak deh."
Aku mengelus rambut panjang dan halus milik Gritany, "Justru itu, kamu buktiin dong. Kalau kamu paket lengkap. Udah cantik, pinter dan kaya. Buktiin kalau ucapan dia salah dan bikin dia nyesel ngomong gitu." Ucapku lagi.
Gritany tersenyum semangat, "Aku bisa? Beneran?"
Aku mengangguk, "Pasti bisa. Asal kamu mau usaha."
"Iya, iya aku mau usaha. Miss bantu aku ya? Hemm, kalau bisa lesnya setiap hari jangan seminggu tiga kali. Gimana?"
Aku mengerjapkan mata, setiap hari? Yang bener aja? Tapi aku tersenyum, seminggu tiga kali bertemu denganku saja membuatnya ingin muntah, apalagi setiap hari. Aku hanya tersenyum saja menjawab pertanyaannya.
ބ
Ternyata Gritany sungguh serius. Sudah hampir dua minggu aku mengajarinya dan banyak perubahan yang terjadi. Meskipun tidak terlalu terlihat tetapi nilai Gritany sudah di atas KKM sekolah.
Hari ini, Pak Reeve minta agar aku mengajari Gritany di kantornya. Karena Gritany langsung ke kantor dan tidak pulang ke rumah. Aku mengemudikan mobilku mencari alamat yang diberikan oleh Pak Reeve.
Setelah berada di depan kantor tersebut, aku melihat keatas gedung tersebut, sangat tinggi dan dilapisi kaca.
Aku masuk ke dalam kantor tersebut dan bertanya pada resepsionis dimana letak ruangan Pak Reeve. Awalnya wajah resepsionis sangat sinis melihatku entah kenapa tetapi ketika aku mendengar suara Gritany memanggilku wajah resepsionis itu berubah. Dasar penjilat!
"Ayo, kita naik. Belajar di ruangan om aja katanya."
Aku berjalan berdampingan dengan Gritany dan ketika berada di dalam lift aku bertanya pada Gritany, "Memangnya nggak ganggu? Tumben belajar disini?"
"Iya, om nanti ajak aku pergi ke acara kantor yang ada disini. Jadi katanya belajar disini aja takut nggak keburu. Miss ikut ya keacaranya!"
Aku menggeleng, "Nggak. Nanti kita lebih cepet selesai aja." Ucapku pas bertepatan sampai di lantai yang kami tuju.
Aku mengikuti Gritany yang berjalan santai dan riang. Gritany masuk ke dalam ruangan kaca. Ruangan ini seperti aquarium. Ketika aku masuk, dari dalam aku bisa melihat semua aktivitas di luar ruangan ini. Ck, orang kaya memang tidak bisa bohong.
"Hai, udah sampe? Susah nyarinya?" sapa Reeve.
Aku tersenyum, "Nggak susah. Kantornya terkenal kok. Jadi gampang dicari."
"Maaf ya jadi repotin kamu harus kesini."
Setelah berbasa-basi, aku duduk di sofa yang ada di ruangan ini. Mulai mengajari Gritany pelajaran baru.
Semenjak percakapan kami kemarin, Gritany jadi semangat belajar. Mungkin memang terkadang kita membutuhkan motivasi untuk diri kita sendiri agar mencapai sesuatu.
Setelah selesai, Gritany pamit ke toilet sebentar. Aku duduk seperti orang bodoh, menyadari itu Reeve menghampiriku.
"Makasih, Gritany banyak perubahan nilai. Menurut kamu dia anaknya gimana?"
"Bukan anak yang sulit sebenarnya tetapi memang Gritany butuh motivasi untuk mencapai sesuatu hal. Terlalu psimis mungkin."
"Berarti dia jatuh ke tangan yang tepat? Setidaknya nilainya udah nggak kebakaran. Sudah padam."
Aku tertawa, "Sudah padam tetapi masih belum bisa untuk membangun bangunan kan? Bapak harus banyak mendukungnya."
"Saya terlalu sibuk sepertinya."
Gritany masuk lalu duduk di samping Reeve dan bermanja di lengan laki-laki itu.
"Jadi apa yang buat kamu berubah, Grit?"
Gritany langsung tergagap dan melihat kearahku. "Cuma nggak mau kecewain om aja, ya kan Miss?" Gritany melihat kearahku dengan tatapan untuk mengiyakan ucapannya.
Aku tersenyum dan mengangguk, "Saya pamit dulu ya." Ucapku sopan.
"Saya antar." Ucap Reeve.
Aku berjalan mengikuti Reeve yang memimpin jalan. Ketika sudah hampir sampai di lift aku dan Reeve berpapasan dengan seseorang yang tidak pernah ingin aku lihat lagi di muka bumi ini.
"Siang Pak Reeve." Sapa David. Ia melihatku terkejut.
"Siang, Vid. Gimana laporan? Sudah bisa kamu taruh di meja saya?"
"Sebelum jam pulang kantor Pak."
Tiba-tiba ponsel Reeve berbunyi dan ia ijin untuk meninggalkanku dan David berdua.
"Kamu?" ucap David.
Aku tidak menanggapi, menganggapnya tidak ada disini. Hanya ada roh jahat yang berkeliaran disini.
"Gimana kabar kamu?" tanyanya lagi.
"..."
"Kamu kenal Pak Reeve dari mana?"
Sekian lama tidak bertemu, hanya itu pertanyaan yang ia ingin tanyakan? Tidak berniat minta maaf meskipun aku tidak mengharapkannya? Setidaknya bisakan basa-basi?
Aku hanya menghela napas kencang tidak menjawab.
"Apa dulu kamu melahirkan seorang anak?" tanyanya lagi.
Iya gue lahirin anak lo! Untungnya mirip gue, bukan mirip lo. Ucapku dalam hati.
"Kamu nggak ada hubungan apa-apa kan sama Pak Reeve?"
Aku melihat kearahnya sinis, "Penting kamu tau?"
"Kamu muncul disini tiba-tiba bukan untuk balas dendam ke aku kan? Atau apapun?"
Belum aku jawab, Reeve sudah kembali dan mengajakku masuk ke dalam lift. David melihatku yang sudah masuk ke dalam lift bersama Reeve tersenyum kaku. Aku yakin di dalam hatinya bertanya, apa yang aku lakukan disini.
Setidaknya sekarang aku tau, kami berdua bekerja dibawah kekuasaan Reeve.
Sesampainya di luar aku pamit pada Reeve dan menuju mobil. Setelah duduk dan memasang seatbelt. Aku menyandarkan kepalaku diatas stir. AKu merasakan tubuhku bergetar hebat.
Kamu melakukan hal yang benar Zemora. Ucapku dalam hati.
Melihat David setelah lama tidak melihatnya, menyadarkanku betapa menyedihkannya hidupku karenanya. Aku yang terluka karena keluarganya sedangkan mereka bisa hidup dengan damai.
Papa dan mama menanggung malu, Al menanggung semua perbuatanku tetapi David bisa hidup dengan damai bahkan tidak terganggu, adilkah semua ini?
Aku sudah tidak memiliki cinta ataupun dendam, tapi bisakah aku meminta untuk tidak bertemu dengannya lagi? Setidaknya biarkan kami hidup masing-masing tanpa saling mengganggu.