Bagian 7
Mentari pagi sudah menampakkan sinarnya. Cahayanya menembus kaca jendela saat aku menyingkap gorden berwarna coklat tua tersebut. Membuat Mas Fahri yang masih berbaring di atas tempat tidur kembali membungkus tubuhnya dengan selimut.
"Bangun, Mas!"
"Iya, iya! Bawel banget sih!"
"Ke mana sisa uang gajimu, Mas? Kenapa hanya tersisa tiga juta di dompetmu?"
Aku langsung menanyakan apa yang mengganjal di hati. Tidak peduli Mas Fahri baru bangun tidur atau belum mandi sekalipun. Yang jelas aku sudah tidak sabar untuk mendengar penjelasan darinya.
"Apa-apaan, sih? Suami begitu bangun udah langsung diinterogasi? Udah kayak tahanan aja! Ucapin selamat pagi, kek. Tawarin sarapan atau apa, gitu? Ini malah nanya soal gaji." Mas Fahri protes.
"Jawab saja pertanyaanku, Mas."
"Ini ada apa, sih, sebenarnya?"
"Enggak usah pura-pura enggak tahu. Ke mana sisa uang gajimu? Kenapa hanya ada tiga juta di dompetmu. Bukannya gaji kamu itu tujuh juta? Mama sisanya?"
"Ya ampun! Kamu marah-marah sampai bangunin mas segala hanya karena masalah gaji? Zahra, Zahra, kamu ini keterlaluan banget, sih!"
"Apanya yang keterlaluan? Terus ini apa?" Aku menunjukkan kertas kwitansi yang kutemukan di dompetnya tersebut.
"Oh, itu, nemu di pinggir jalan," jawabnya santai.
"Nemu? Kok bisa ada nama kamu dan nama Maria, Mas?"
Mas Fahri terlihat salah tingkah saat mendengar pertanyaanku.
"Kamu sama Maria itu bukannya rekan bisnis?" Aku kembali bertanya.
"Iya, dia itu emang rekan kerjanya Mas, Zahra."
"Rekan kerja apa? Bisnis apa? Sampai sekarang enggak jelas. Palingan itu cuma alasan kamu doang!"
"Kan belum mulai, Nanti juga kalau udah mulai akan Mas kasih tahu ke kamu. Kamu juga nanti yang akan menikmati hasilnya." Mas Fahri berusaha meyakinkanku.
"Tuh, kan, jawabannya enggak jelas gitu! Jangan-jangan bisnis buat bikin anak. Iya, kan? Apalagi, coba? Saat seorang lelaki dan wanita yang bukan muhrim berduaan, apalagi yang mereka lakukan?"
"Zahra, kamu jangan nuduh sembarangan, ya! Mas enggak suka." Mas Fahri mulai meninggikan nada bicaranya.
"Jujur aja bahwa kamu punya wanita lain di luar sana, Mas. Separuh dari uang gajimu kamu kasih ke wanita itu, kan? Wanita itu sedang hamil dan kamu kemarin nganterin dia periksa kandungan. Jawab, Mas!"
Mas Fahri terdiam sesaat. Aku yakin sekali kalau ia sedang mencari alasan untuk meyakinkanku.
"Benar, kan? Buktinya kamu enggak bisa jawab."
Mas Fahri malah mengalihkan pandangannya ke arah jendela.
"Mau pake alasan apa lagi sih, Mas? Kamu enggak bisa bohongin aku."
"Kamu itu cuma asal nuduh," kilahnya.
"Apa kurangnya aku, Mas? Kurang cantik? Kurang seksi atau tidak menarik lagi?"
"Hentikan omong kosongmu, Zahra. Pagi-pagi kamu sudah menuduh Mas dengan tuduhan macam-macam. Kamu juga udah membuat mood suamimu ini kacau, Zahra." Mas Fahri langsung menyambar handuk, masuk ke kamar mandi dan membanting pintu.
Astaghfirullah! Aku hanya bisa mengelus d**a melihat kelakuan suamiku itu.
***
"Zahra, kamu tadi ribut sama Fahri? Kenapa, Nak?"
"Enggak kenapa-kenapa, Bu, biasalah ada selisih paham sedikit."
"Enggak baik ribut-ribut loh, Nak. Apalagi saat ini kamu sedang mengandung. Enggak baik buat perkembangan janinmu jika kamu marah-marah. Maaf, bukannya mau ikut campur. Ibu tadi dengar kalau kalian adu mulut. Ada apa, Nak?" Ini terus saja mendesakku.
"Ini soal gajinya Mas Fahri, Bu. Mas Fahri hanya memberikan setengah dari gajinya." Akhirnya kukatakan juga kepada ibu. Jujur, aku tidak sanggup memendam semua ini sendirian.
"Yang benar kamu, Zahra?" tanya Ibu seperti tidak percaya.
Ibu terlihat begitu shock mendengar ucapanku sampai-sampai beliau beristighfar berulang kali.
"Iya, Bu."
"Loh, kok gitu? Harusnya Fahri menyerahkan semua gajinya untukmu seperti biasa setelah dipotong biaya transportasinya selama sebulan. Ke mana sisanya?"
"Enggak tahu, Bu."
"Ini tidak bisa dibiarkan. Kamu tunggu di sini. Biar ibu yang bicara dengan Fahri.
Ibu mertua beranjak dari sofa, menuju kamar kami. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan dan tidak ingin mencari tahu. Namun aku yakin ibu mertua akan bijak dalam hal ini.
Hari ini aku tidak memasak sarapan. Selain karena masih kesal dengan Mas Fahri, aku juga mulai dilanda morning sicknes. Saat mencium aroma masakan, perutku akan langsung mual. Makanya aku tidak ke dapur untuk memasak.
"Zahra, apa yang kamu katakan pada ibu, hah? Kenapa kamu mengadu pada ibu? Bukankah Mas sudah jelasin semuanya? Kenapa , Zahra?" Mas Fahri langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan begitu ia menginjakkan kakinya di ruang tamu.
"Apanya yang dijelasin? Kamu justru marah-marah saat aku meminta jawaban." Aku tidak mau kalah. Enak saja pake acara nyalahin aku!
"Gajinya Mas dipotong, Zahra. Bulan ini cuma dapat segitu."
"Dipotong? Yakin? Alasannya apa? Perusahaan tidak mungkin sembarangan memotong gaji karyawan jika tidak ada apa-apa. Apalagi belum lama ini kamu diutus perusahaan untuk menangani proyek di luar kota. Pasti kamu dapat bonus dari situ, kan?"
Mas Fahri terlihat menghela napas sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku.
"Tidak semuanya harus Mas ceritakan padamu, Zahra. Asal kamu tahu, perusahaan terancam gulung tikar. Masih sukur gaji karyawan dibayar setengahnya. Suamimu ini masih beruntung karena tidak termasuk dalam daftar karyawan yang dirumahkan. Mas minta kamu jangan banyak nuntut, ya. Mulai sekarang kita harus berhemat karena sewaktu-waktu semua karyawan bisa dirumahkan, Zahra."
Masa, sih, perusahaan sebesar itu terancam bangkrut? Enggak masuk akal bangat! Aku yakin ini hanya akal-akalan Mas Fahri saja!
"Terus bagaimana dengan kwitansi p********n pemeriksaan USG yang kutemukan di dompetmu itu, Mas?"
"Udah Mas bilang, itu hanya nemu di pinggir jalan. Enggak penting!"
"Kok bisa kebetulan ada nama lengkapmu tertulis di kwitansi itu? Nama dan umurnya juga sama. Apa itu juga merupakan kebetulan, Mas?"
"Zahra, kok' kamu jadi curigaan gini? Ada apa denganmu?"
Mas Fahri masih saja berkilah padahal semuanya sudah jelas.
"Zahra, sudahlah, Nak. Ibu yakin Fahri berkata jujur. Dia tidak mungkin tega melakukan hal yang akan menyakiti hati dua wanita. Hati istrinya dan hati Ibunya."
Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tidak mungkin memperpanjang masalah lagi. Biarkan saja. Pasti nanti semuanya akan terbongkar.
"Iya, itu benar. Mas enggak mungkin tega menyakiti kalian. Kamu tahu kan, Zahra? Mas itu sangat sayang kepadamu dan juga Ibu. Kamu dan ibu adalah anugerah terindah yang dikirimkan tuhan untuk Mas."
Aku tidak mudah untuk dibohongi dan tidak akan melayang ke awang-awang mendengar gombalan seperti itu. Aku akan tetap menyelidikinya dan mengungkap semua kebohongan Mas Fahri.
"Maafin Zahra ya, Mas." Akhirnya aku mengucapkan permintaan maaf dengan terpaksa karena aku tahu ibu akan sedih jika aku cekcok dengan Mas Fahri. Ini semua kulakukan demi ibu. Aku tidak mau membuat beliau sedih.
Sebenarnya, di sini aku yang jadi korban malah terkesan aku yang salah jadinya.
"Zahra, nanti tolong siapkan pakaiannya Mas ya, soalnya Mas mau berangkat ke luar kota lagi. Ya sudah, Zahra, Bu, aku pamit ya."
Perasaan, Mas Fahri keluar kota terus. Beneran atau bohongan ya? Katanya perusahaan mau bangkrut, sampai-sampai gaji karyawan dipotong. Ini kok' masih ada proyek di luar kota? Jangan-jangan alasan tugas keluar kota hanya akal-akalan Mas Fahri saja.
Seperti biasa sebelum berangkat kerja, Mas Fahri akan mencium punggung tangan ibunya dan aku mencium punggung tangannya. Walaupun hati masih dongkol, namun aku berusaha bersikap biasa saja.
Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus menyelidikinya. Untuk itu, aku perlu. bantuan seseorang. Kurasa, Bella adalah orang yang tepat. Hanya gadis itu satu-satu sahabat yang kumiliki. Aku yakin Bella pasti membantuku.
"Bella, bisa jemput aku sekarang? Aku lagi butuh bantuanmu, Bel." Aku mengirim pesan kepada sahabatku Bella.
"Tumben? Kenapa? Kangen, ya?" balasnya.
"Geer bangat, sih, jadi orang!"
"Kali aja," tulisnya lagi sambil menyertakan emoticon ketawa di akhir kalimatnya.
"Aku butuh bantuanmu. Buruan, ya, enggak pake lama."
"Sip, otewe," balasnya lagi.
Aku sengaja meminta bantuan Bella. Jika aku membuntuti Mas Fahri menggunakan mobilku sendiri, pasti akan ketahuan dan rencanaku bisa gagal.
Oke, saatnya beraksi. Aku ingin lihat bagaimana reaksi Mas Fahri saat aku memergokinya. Masih bisakah ia berkilah?
Bersambung