Bagian 6
"Zahra?" Mas Fahri langsung berdiri dari tempat duduknya. Wajahnya terlihat panik.
"Ngapain kamu di sini?" Mas Fahri malah bertanya. Seharusnya aku yang pantas bertanya seperti itu.
"Harusnya aku yang bertanya. Ngapain kamu di sini, Mas? Katanya sedang meeting di kantor dan tidak ingin diganggu. Meeting nya di sini? Suap-suapan dengan wanita lain, gitu?"
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Zahra. Mas bisa jelasin."
"Tolong jelaskan. Aku butuh penjelasan darimu, Mas."
"Iya, Zahra, tapi tidak di sini. Ini tempat umum. Malu diliatin banyak orang." Mas Fahri menarik tanganku, tapi aku langsung menepisnya.
"Lepasin! Sekarang katakan siapa wanita ini, Mas? Jawab!" Aku bertanya dengan nada pelan karena aku juga tidak mau menjadi pusat perhatian nantinya.
"Ini Mbak Maria, rekan bisnisnya Mas."
"Hay, kenalin saya Maria." Wanita itu mengulurkan tangannya hendak bersalaman denganku tapi aku tidak mau menyambutnya. Kubiarkan tangannya mengambang di udara. Aku tidak sudi bersalaman dengannya.
Rekan bisnis? Mereka pikir bisa dengan mudah membohongiku? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Mereka terlihat begitu mesra, pake acara suap-suapan segala lagi! Rekan bisnis selingkuh, iya!
Aku tidak mudah dibohongi dan aku tidak akan percaya begitu saja. Melihat dari penampilannya saja aku tidak yakin jika wanita ini adalah kliennya Mas Fahri. cara berpakaiannya juga tidak sopan. Mengumbar aurat dengan mengenakan pakaian yang kurang bahan.
"Zahra, kamu apa-apaan, sih? Mbak Maria udah mengulurkan tangannya untuk bersalaman denganmu. Kenapa kamu tidak menyambutnya?" Mas Fahri protes.
"Enggak apa-apa, Mas Fahri. Sepertinya istrinya Mas Fahri ini cemburu sama saya. Mungkin dia mengira jika kita memiliki hubungan spesial, padahal hubungan kita hanya sekadar rekan bisnis, tidak lebih." Wanita itu memandangku sinis. Dari tatapan matanya dapat kulihat bahwa wanita itu tidak suka melihatku.
"Mas, kita pulang sekarang, kita bicara di rumah." Aku menarik tangannya, namun Mas Fahri menolak.
"Kamu pulang duluan ya, Zahra. Mas masih mau ngantar Mbak Maria ke kantornya. Habis itu Mas juga masih mau balik ke kantor."
"Oke, aku tunggu di rumah. Ingat, jangan sampai telat pulangnya."
Lebih baik masalah ini diselesaikan di rumah saja. Tidak baik membahas hal seperti ini di tempat ramai.
"Iya, iya. Ya sudah, kamu pulang duluan, ya. Mas janji akan pulang lebih awal kalau kerjaan Mas udah selesai. Hati-hati di jalan ya Sayang."
Wanita itu terlihat kesal saat Mas Fahri memanggilku dengan sebutan sayang. Pasti ia cemburu. Jika mereka tidak ada hubungan apa-apa pasti ia tidak akan cemburu. Sudah tertangkap basah masih saja mengelak. Dasar wanita perebut suami orang!
***
Malam kian larut, tetapi Mas Fahri belum juga pulang. Teleponku tidak diangkat. Pesanku juga tidak dibalas.
Kamu kemana sih, Mas? Bukankah kamu sudah janji mau pulang cepat? Mana janjimu? Padahal aku ingin membahas soal yang tadi. Aku tidak bisa membiarkanmu bersama dengan wanita lain, Mas. Aku tidak mau suamiku terjerumus ke dalam jurang dosa.
Lagi, aku menghubungi ponselnya, tersambung tapi tidak diangkat. Sepertinya Mas Fahri memang sengaja tidak mau mengangkat telepon dariku.
Bunyi ketukan di pintu mengharuskanku untuk beranjak dari atas tempat tidur. Gegas aku menuju ke arah pintu, lalu membukanya.
"Eh Ibu, ada apa, Bu?"
"Zahra, Fahri belum pulang, ya? Apa dia lembur lagi? Udah kamu telepon?"
"Zahra enggak tahu, Bu. Zahra udah telepon tapi Mas Fahri enggak mau ngangkat teleponnya."
"Kenapa akhir-akhir ini Fahri berubah, ya? Apa kalian punya masalah? Cerita sama Ibu, Nak."
Aku harus jawab apa? Sungguh aku tidak tega untuk memberitahu Ibu. Ibu punya riwayat sakit jantung. Aku takut sakitnya kumat jika mendengar kabar yang tidak menyenangkan. Aku harus bagaimana?
"Assalamualaikum."
Tiba-tiba terdengar suara salam dan diikuti dengan ketukan di pintu.
"Waalaikumsalam." Aku dan Ibu serentak menjawab salam.
"Itu suara Fahri. Alhamdulillah Fahri sudah pulang. Ayo kita buka pintunya."
Aku pun mengekor di belakang Ibu. Ternyata benar Mas Fahri sudah pulang. Aku langsung meraih tas kerjanya setelah Mas Fahri selesai melepas sepatu.
"Fahri, kok pulangnya malam bangat?" tanya Ibu.
"Iya, Bu. Tadi rencananya Fahri mau pulang cepat. Tapi ternyata ada lembur."
"Yaudah, mandi dulu sana. Ibu mau ke kamar dulu."
"Kita ke kamar yuk, Mas." Aku kemudian menggandeng tangan Mas Fahri.
"Enggak usah pegang-pegang. Mas gerah nih, belum mandi." Mas Fahri langsung menarik tangannya.
Semakin hari sikap Mas Fahri semakin dingin saja.
Mas Fahri masuk ke kamar mandi, sementara aku menyiapkan baju gantinya. Selang lima menit, ia telah keluar dari kamar mandi.
"Kok cepat banget mandinya, Mas?"
"Iya, soalnya tadi Mas udah mandi."
Dahiku mengernyit mendengar ucapannya barusan. Sudah mandi? Bukankah tadi Mas Fahri mengatakan kalau ia belum mandi? Ia kan lembur di kantor. Kapan mandinya?
"Kenapa kamu manatap Mas seperti itu?"
"Itu, kamu tadi bilang belum mandi. Sekarang malah ngakunya udah mandi. Gimana, sih?"
"Maksudnya Mas sudah selesai mandi, barusan. Udah ah, Mas capek mau istirahat." Mas Fahri langsung naik ke atas tempat tidur dan menarik selimut.
Mas Fahri memilih untuk tidur. Ia sama sekali tidak menghiraukanku. Padahal aku sudah menunggunya dari tadi.
Sikap Mas Fahri semakin mencurigakan. Apa benar tadi ia sudah mandi? Tapi mandi di mana? Memang saat aku menyambut kedatangannya, kulihat rambutnya sudah rapi dan aku juga mencium aroma shampo.
Astaghfirullah, apa mungkin Mas Fahri mandi di rumah wanita itu? Jangan-jangan mereka berdua habis mandi bersama?
Tidak. Itu tidak mungkin!
Tak terasa air mataku sudah mengalir dari sudut netra. Membayangkannya saja aku sudah tidak sanggup.
Lebih baik aku tanyakan saja kepada Mas Fahri. Aku tidak akan bisa tenang sebelum mengetahui siapa sebenarnya wanita itu. Jika memang bener Mas Fahri memiliki hubungan spesial dengan wanita itu, maka aku akan menyuruh Mas Fahri untuk mengakhiri hubungan mereka. Demi keluarga kecil kami, demi ibu dan juga demi buah cinta kami yang sedang berada di rahimku.
"Mas udah tidur?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.
Biasanya Mas Fahri tidak pernah bersikap seperti ini. Sebelum tidur ia akan mengajakku mengobrol. Menceritakan tentang pekerjaannya di kantor. Kadang juga kami bernostalgia untuk mengenang masa-masa pacaran dulu hingga kantuk menyerang dan akhirnya kami tertidur. Namun sekarang semuanya sudah berbeda. Mas Fahri seolah menciptakan jarak di antara kami.
"Iya, Mas ngantuk," jawabnya dari balik selimut.
"Mas, aku mau ngomong sama kamu."
"Besok aja, Mas udah ngantuk, nih!"
"Aku maunya sekarang."
Mas Fahri langsung duduk, sepertinya ia gusar karena aku memaksanya.
"Mau ngomong apa?"
"Tolong jelaskan siapa wanita yang bersamamu di restoran tadi, Mas. Tolong jujur padaku! Bukankah kamu sudah janji mau menjelaskannya padaku? Kenapa sekarang kamu memilih untuk tidur? Pura-pura lupa soal kejadian tadi siang."
"Tadi 'kan sudah! Dia itu rekan bisnisnya Mas. Apalagi yang harus dijelaskan?"
"Kenapa tadi kalian mesra sekali? Sambil suap-suapan segala lagi! Kamu pikir aku tidak melihatnya, Mas?"
"Itu biasa, Ra. Jika Mas enggak ramah sama rekan bisnisnya Mas, mana ada yang mau kerja sama dengan Mas, Zahra. Kamu ini kayak enggak ngerti aja dunia bisnis." Mas Fahri malah merendahkanku karena menurutnya aku tidak tahu apa-apa soal bisnis.
"Oh, begitu? Bisnis apa kalau boleh tahu?" tanyaku penuh selidik.
"Sebenarnya baru mau mulai. Nanti saja kalau udah jalan Mas jelasin ke kamu, ya."
"Kamu tidak sedang berbohong kan, Mas?"
"Ngapain Mas bohong? Enggak ada gunanya juga, kan? Udah ah, Mas ngantuk. Mas tidur duluan, ya. Met istirahat."
"Mas!" Aku mengguncang tubuhnya agar ia tidak tidur dulu.
"Apa lagi, Zahra?"
"Jangan tidur dulu!"
"Oh iya, Mas lupa. Hari ini tanggal gajian. Gaji Mas ada di dompet. Silakan kamu ambil, tapi jangan ambil semuanya. Sisakan buat pegangan dan juga biaya transportasinya Mas selama sebulan. Udah, Mas mau tidur. Ngantuk."
Mas Fahri kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur, meninggalkan aku dengan sejuta pertanyaan yang belum terjawab.
Tak lama kemudian suara dengkuran halus terdengar. Mas Fahri sudah terlelap dalam mimpi indahnya. Sementara aku masih gelisah. Terlalu banyak beban pikiran membuatku sulit untuk tidur.
Aku menatap dompet Mas Fahri yang ia taruh di atas meja rias. Kuraih dompet tersebut, lalu membuka isinya. Mataku seketika menyipit melihat jumlah yang ada di dalamnya.
Uang sebesar tiga juta aku keluarkan dari dalam dompet. Kenapa hanya segini, ya? Setahuku gaji Mas Fahri itu tujuh juta. Kenapa tinggal segini? Ke mana sisanya?
Biasanya Mas Fahri selalu memberiku enam juta setiap bulannya. Sedangkan satu juta lagi untuk pegangan katanya.
Aku kembali memeriksa dompetnya. Barangkali ia menyimpan separuhnya lagi di tempat lain.
Semua isi dompetnya telah aku keluarkan namun aku tidak menemukan uang lagi di dalamnya.
Ingin bertanya, tapi Mas Fahri sudah tidur. Aku harus bagaimana?
Baiklah, biar kutanyakan besok saja.
Saat hendak memasukkan kembali KTP serta SIM yang telah kukeluarkan dari dompetnya, tiba-tiba aku menemukan sebuah kertas kecil. Karena penasaran, aku membuka isinya.
Mataku langsung terbelalak melihat isinya. Sebuah kwitansi p********n di sebuah klinik yang cukup terkenal di kota ini. p********n untuk pemeriksaan USG.
Dompet Mas Fahri yang tadi berada dalam tanganku terjatuh begitu saja. Dadaku sesak. Lututku lemas. Rasanya kedua kaki ini tidak mampu lagi menopang tubuhku.
Detik itu juga, aku luruh ke lantai.
Air mata mengalir deras dari kelopak mata. Aku rapuh dan terluka.
Di tengah malam yang dingin. Saat semua orang sudah terbuai dalam mimpi indah justru aku di sini malah menangis, meratapi pengkhianat dari orang yang sangat aku cintai.
Aku berharap semua ini adalah mimpi. Nyatanya bukan. Ini benar-benar nyata.
Ya Allah, rasanya aku tidak sanggup lagi menghadapi semua ini. Sakit! Aku tidak bisa menerima pengkhianatan ini.
Bersambung