02

1009 Kata
Terduduk diam di depan meja rias, memerhatikan wajahnya yang tampak kelelahan sebelum akhirnya membungkuk untuk menyentuh kakinya yang terasa letih. Tumitnya berdenyut, Clara memijat-mijatnya pelan. Hari yang sangat melelahkan. Berdiri berjam-jam, tersenyum, berpura-pura bahagia. Yah, pada asalnya berpura-pura bahagia memang menguras tenaga. Tetapi tidak sepenuhnya ia berpura-pura bahagia, ada rasa asing yang membuncah hingga menyesakkan dadanya dengan sedemikian rupa, membuatnya pada satu masa terharu hingga rasanya ingin menangis. Apalagi ketika Jaddah berpelukan padanya ketika pamit pulang tadi, wanita tua itu mengingatkannya akan sosok ibu panti yang sayangnya tidak pernah tulus itu. Clara tidak pernah merasakan kasih sayang orang lain yang begitu besar padanya kecuali kasih sayang ibu panti yang dulu diberikan, meskipun kasih sayang itu semu. Jika kasih sayang adik-adik pantinya tidak perlu diragukan tetapi, bentuk kasih sayang mereka berbeda. Clara butuh seseorang yang menjadi penyemangat dalam setiap pilihannya atau penasihat dalam setiap kesalahannya. Clara ingin merasakan kehangatang seorang ibu, itulah mengapa melihat Jaddah membawa rasa haru yang sensional sehingga mau tidak mau membuatnya larut dalam rasa aneh berbalut kesedihan. Seseorang mendekapnya dari belakang dan ia tidak perlu mendongak untuk melihat pantulannya dari cermin meja rias, siapakah gerangan yang saat ini sedang menghembuskan napas hangatnya di leher Clara. Karena sudah pasti pemilik tubuh tegap dengan pelukan hangat ini adalah Lucas, pria yang menjadi suaminya dengan ancaman yang aneh. Tetapi entah mengapa, atas dasar alasan yang tidak bisa dikemukakan dari bibir dan hanya tersimpan rapat dari hati, Clara merasa bahwa dirinya tidaklah menaruh rasa takut yang amat sangat pada Lucas. Tidak seperti awal pertemuan mereka atau awal penjara dan siksaan itu dimulai. Harus diakui bahwa beberapa belakangan hari ini Lucas tidak lagi memukulnya tetapi bukan berarti pria itu melunak, terkadang nada pria itu berubah tajam dan ucapannya dingin dan terdengar sinis. Clara berharap semoga suatu saat nanti dirinya tidak mengalami stockholm syndrome, dimana seseorang yang tersakiti menyukai orang yang menyakiti. "Lelah?" pertanyaan itu bernaung ketika Lucas mulai mendaratkan kecupan ringan di sekitar pundaknya yang halus dan lembut. "Seperti yang kau lihat." Clara menegakkan punggungnya, menatap ke arah Lucas dari pantulan cermin meja rias miliknya. "Katakan kau ingin berbulan madu dimana," ujar Lucas disela-sela kecupan ringannya disekitar bahu Clara. Sesekali giginya turut andil dalam mencumbui bahu Clara, mengigit kecil dengan gemas. Bulan madu? Clara sama sekali tidak memikirkan hal itu, dipikannya hanya ada Mansion Lucas dan taman serta kebun. Clara tidak pernah memikirkan apapun seolah pikirannya hanya berjalan di tempat. Lenguhan serta ringisan tercetus menjadi satu dari bibirnya tatkala Lucas mencium dengan kuat di bagian lehernya, memberi kismark yang keesokan harinya berubah menjadi merah atau bahkan kebiruan. "Ntahlah, aku tidak memikirkan apapun soal bulan madu. Lagian kau sudah ... sudah melakukan—" Clara terdiam, sedikit bingung karena belum memilah milih kata untuk melanjutkan dengan kalimat yang cocok, tiba-tiba saja pipinya sudah dijalari warna kemerahan yang tampak kontraks dengan kulit putihnya yang rapuh. Ciuman Lucas berpindah pada cuping telinganya yang sensitif, menggodanya disana hingga Clara terpaksa meremas gaunnya untuk menyalurkan rasa geli yang terasa nikmat. "s*x maksudmu?" Lucas berhenti mencumbuinya, menatap Clara melalui pantulan diri mereka dari cermin. "Tidak adakah kata yang lebih lembut?" Clara bertanya jengkel. "Kata yang lebih lembut?" Lucas balik bertanya, bibirnya kembali menyapu pada pipi hingga rahang Clara. Menjelajah disana dengan kecupan-kecupan seringan bulu. "Berikan aku contoh kata yang lembut yang kau maksud itu," sambungnya yang kini mulai menggerakkan tangannya di atas perut rata Clara yang masih tertutup rapat oleh gaun pengantinnya. Pandangan Clara mulai tidak fokus, matanya terarah ke sembarang tempat. "Hubungan suami istri lebih indah di dengar," ujarnya dengan usaha menahan desahan yang hampir tercetus. Lucas tertawa geli dengan nada mengejek yang tidak dapat disembunyikan, "Hubungan suami istri katamu? Hubungan suami istri banyak makna tidak harus menyangkut urusan ranjang, seperti kataku tadi, sex." Kembali di daratkan bibirnya pada pipi Clara lalu menjalar ke leher. "Aku lebih suka jika kau menyebutnya dengan bercinta." Clara bersikeras, ia menolehkan kepalanya kebelakang agar melihat Lucas. Dan tentunya itu pilihan yang salah karena Lucas meraup bibirnya dalam decapan hangat dan basah. Clara yang tekejut oleh ciuman dominan yang terjadi secara tiba-tiba itu mencoba mendorong Lucas, tetapi bukan dorongan yang kuat, melainkan dorongan refleks dari tangan mungilnya yang tentunya tidak menghasilkan apapun. Lucas melepaskan bibirnya, "Tetapi tidak ada cinta diantara kita." Perasaan aneh yang tidak dapat dijabarkan menyeruak hingga menusuk ke kedalaman hati Clara hingga menimbulkan perasaan kosong yang menyakitkan. Perkataan itu tidak salah, sungguh, benar-benar tidak salah tetapi mengapa terasa kosong seperti ini. "Apapun itu sebutannya kupikir tidak seharusnya kita jalankan, toh berbulan madu hanya untuk hal itu kan?" Mengabaikan dentaman asing yang terasa menggelitik, Clara mencoba kembali pada topik utama. Lucas menaikkan alisnya sebelah, sebelum mendaratkan kecupan ringan di bibir Clara yang basah ia berujar, "Kau berpikir bulan madu hanya untuk s*x doang?" Mengangkat kedua bahu dengan tatapan merenung. "Entahlah tetapi kupikir memang hanya untuk itu, dan menurutku tidak perlu menghambur-hamburkan uang hanya untuk bersenang-senang." Yah, meskipun dirinya sekarang sudah memakai nama Dobson di belakang namanya tetapi, sifat seorang gadis miskin di dalam dirinya masih terpatri jelas, mengikat kuat hingga melupakan bahwa uang bukanlah hal yang susah dalam hidup Lucas. Lucas mendaratkan ciumannya kembali ke bibir Clara, dengan tidak sabar menjelajahi lalu mengikat lidah Clara dengan lilitan lembut miliknya. "Bulan madu bukan untuk s*x, Clara. Kita bisa menghabiskan waktu disana untuk bermain dan kau—seorang wanita—pasti ingin berbelanja. Aku sudah terlalu lama mengurungmu dan kupikir tidak ada salahnya membiarkanmu bergerak bebas di negara lain yang tentu saja masih tetap berada dalam pengasasanku." Satu tangan Lucas yang berada di perut rata Clara naik ke bahunya, memutar tubuh wanita itu agar menghadap ke arahnya. Lalu tanpa aba-aba tangannya meraba naik hingga sampai pada gundukan kenyal yang masih tertutup rapat, menggerakkan tangannya untuk meremas gundukan itu dengan kuat. "Apa yang kau lakukan!" Clara sedikit panik tetapi tak urung dirinya meringis dengan hasrat yang perlahan mulai menampakkan diri ke permukaan. Lucas menunduk, mengecup ujung gundukan kenyal itu dari balik gaun milik Clara. "Apa yang kulakukan?" ujarnya mengulang pertanyaan Clara, "apa kau perlu ku beritahu apa yang ingin kulakukan saat ini? Tentunya kau tidak akan pernah lupa, bukan? Ritual pada malam pernikahan, meskipun bukan untuk yang pertama kalinya tetapi akan ku buat malam ini adalah malam yang terindah untukmu dari malam-malam sebelumnya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN