CH 4. Dicium Mantan Pacar

1526 Kata
Ruby mengerjapkan matanya sejenak, tatkala cahaya matahari pagi yang masuk melalui celah-celah jendela membuat pandangannya silau. Tubuhnya terasa berat dan tidak nyaman, seolah ada sesuatu yang tengah menindihnya. Sontak dia pun menoleh ke arah samping yang kemudian membuatnya terbelalak. Pantas saja terasa tidak nyaman, ternyata Zero tengah memeluk tubuhnya dan bahkan kakinya menjepit satu kaki Ruby. “Hey! Lekas bangun dan lepaskan tanganmu dariku!” Dengan sekuat tenaga, Ruby berusaha melepaskan lingkaran tangan Zero dari tubuhnya. Mencubit lengan pria itu, bahkan membenturkan kepalanya hingga pria itu mengerang pelan. “Ck! Tidak bisakah kau membiarkanku memelukmu sebentar saja? Aku bahkan tidak berniat melakukan hal lebih.” Ini kedua kalinya Zero merasakan jurus andalan Ruby yang membenturkan kepalanya. Padahal masih pagi, tetapi gadis itu sudah membuat keributan karena hal sepele. “Bukankah aku sudah membuat batas yang tidak boleh dilewati? Kau sudah melanggarnya dan bahkan berani menyentuhku tanpa izin!” Ruby memosisikan kedua tangannya memeluk tubuh, sedangkan kedua matanya menyipit. Omongan seorang pria memang tidak bisa dipegang. Padahal tidak tertarik, tetapi pria itu justru memeluknya dengan erat. Mendengar protes Ruby, sontak Zero mengerlingkan matanya ke arah lain. Tampaknya gadis itu tidak mengerti dengan maksud perkataannya. Yang dia maksud dengan tidak akan tertarik itu adalah merujuk pada berhubungan badan. Memeluk atau sekadar memagut bibir, dia pasti akan melakukannya dengan gadis itu. “Ternyata gadis kecil sepertimu memang tidak tahu apa-apa.” Setelah mengatakan itu, Zero pun menghela napas panjang yang kemudian membuat sudut bibir Ruby berkedut. “Apa maksudmu, Pria Tua? Bagaimana mungkin aku mengerti maksud dari pria tua sepertimu.” Merasa tidak terima karena diremehkan, akhirnya Ruby membalas perkataan Zero dengan ejekan. Tentu saja dia juga menjulurkan lidahnya ke hadapan pria itu yang langsung dibalas tatapan tajam. Zero menarik pinggang Ruby hingga d**a mereka saling bertabrakan, sedangkan kedua matanya menatap gadis itu dalam jarak yang sangat dekat hingga mampu merasakan deru napas masing-masing. Hal itu membuat Ruby menelan salivanya seketika. Pandangannya dialihkan ke arah lain, menatap apa pun, selain pria di hadapannya. Dia tidak bergeming, tangannya digunakan untuk mendorong d**a bidang pria itu meski tenaganya tidak cukup kuat untuk bisa melepaskan diri. “Lepaskan aku. Aku harus bersiap untuk pergi ke kampus.” Namun, Zero tak mengindahkan perkataannya. Pria itu justru lebih mendekatkan wajahnya yang tanpa sadar membuat Ruby memejamkan matanya dengan cepat. Seketika napasnya tertahan, begitu merasakan hembusan hangat dari pria itu di telinganya. “Ruby ....” Zero berlirih pelan di depan telinga Ruby yang langsung membuat gadis itu terlonjak dan menjauh. Ekspresi terkejut gadis itu sontak membuat bibirnya menyeringai tipis. Sejurus kemudian, dia beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Namun, sebelum benar-benar pergi, dia berbalik ke arah Ruby untuk mengatakan sesuatu. “Jangan pernah memanggilku pria tua. Usiaku baru 24 tahun.” Ruby mengambil bantal di sampingnya dan langsung melemparnya tepat ke arah kepala Zero, membuat langkah pria itu terhenti seketika. Dengan menghentakkan kakinya ke lantai, dia berjalan mendahului Zero untuk sampai ke kamar mandi. *** Tangan Ruby bergerak dengan sangat cepat, menyalin empat mata kuliah yang tertinggal kemarin. Beruntung karena dia memiliki teman yang sangat baik dan perhatian sehingga dia tidak perlu khawatir lagi jika nanti ada pelajaran yang tertinggal. “Sebenarnya kemarin kau ke mana? Tiba-tiba saja tidak masuk kuliah dan tidak ada pemberitahuan sama sekali.” Selama berkuliah, Ruby tidak pernah absen satu hari pun. Meski sedang sakit, dia tetap berangkat ke kuliah dan belajar dengan giat. Wajar saja jika Sheila—teman baiknya tersebut merasa aneh karena dia tiba-tiba membolos kuliah. “Saat berangkat kuliah kemarin, tiba-tiba perutku sangat sakit hingga rasanya ingin mati. Jadi, aku memutuskan untuk kembali ke rumah dan beristirahat.” Ruby tidak mungkin mengatakan kepada Sheila bahwa kemarin dia diculik dan dipaksa menikah. Berbohong adalah satu-satunya cara yang bisa dia lakukan saat ini meskipun sebenarnya dia tidak terlalu pandai dalam membuat kebohongan yang bisa menipu orang-orang dengan mudahnya. Sheila sontak menyipitkan matanya, menatap Ruby dengan tatapan penuh selidik. Pasalnya, Ruby mengatakan itu sembari mengedipkan matanya beberapa kali, bahkan pandangannya diarahkan ke tempat lain, membuatnya sedikit curiga. “Benar, kau sakit perut?” “T—tentu saja! Kemarin perutku sangat sakit hingga terus berbaring di tempat tidur.” Seketika Ruby mengutuk diri karena berbicara dengan tergagap. Bukannya terlihat meyakinkan, dia justru akan terlihat mencurigakan. Lagi pula, mengapa pula Sheila sangat ingin tahu kebenarannya? Temannya itu sudah seperti seorang detektif. Ruby menutup buku dan menyimpan peralatan belajarnya ke dalam tas. Kedua tangannya diangkat ke atas, berusaha meregangkan otot-otot tangannya yang terasa pegal. Sejurus kemudian, dia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Karena terlalu banyak catatan yang harus dia salin, akhirnya dia menghabiskan separuh waktu istirahatnya yang berharga. Gadis itu kemudian beranjak dari kursi dan kemudian menoleh kepada Sheila yang masih duduk bersandar sembari melipat kedua tangannya di depan d**a. “Aku lapar sekali. Mau ke kantin tidak? Aku ingin membeli sesuatu untuk mengisi perutku.” “Kau pergi saja sendiri. Aku sedang berhemat karena uang jajan bulananku nyaris tidak tersisa.” Jawaban Sheila sontak membuat Ruby menghela napas. Sheila berasal dari keluarga yang kurang mampu, tetapi dia bisa berkuliah di universitas bergengsi karena otaknya yang pintar sehingga membuatnya mendapatkan beasiswa. Selama berteman, Ruby nyaris tidak pernah melihat Sheila pergi ke kantin atau pergi jalan-jalan setelah pulang kuliah. “Terpaksa, sepertinya aku harus pergi sendiri.” Akhirnya Ruby melangkah keluar dari kelas. Karena waktu istirahat tidak tersisa banyak, jadi dia hanya akan membeli makanan ringan untuk mengisi perutnya yang terus memprotes. Baru saja Ruby berjalan beberapa langkah di koridor kampusnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang memanggilnya dari belakang, membuatnya menoleh seketika. “Ruby!” Suara itu berasal dari seseorang yang pernah mengisi kekosongan hatinya, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Karena sudah mengetahui siapa yang telah memanggilnya, sontak gadis itu memasang wajah datar. “Apa kita saling mengenal?” Pria yang diketahui bernama Joan itu sontak terdiam. Hatinya merasa terluka karena perkataan Ruby yang tiba-tiba menganggapnya orang asing. “Tolong jangan seperti ini, Ruby. Bukankah kita masih sepasang kekasih?” Sebenarnya, sudah dua minggu sejak Ruby menjauhinya. Ketika mereka tak sengaja berpapasan, gadis itu pasti berpura-pura tidak melihat dan mengabaikannya. Kejadian itu mengundang perhatian banyak orang di kampusnya, mengingat bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang selalu terlihat bersama dan sangat akrab. Namun, sekarang mereka tampak seperti musuh. “Sepasang kekasih? Aku bahkan tidak ingat jika kita pernah memiliki hubungan seperti itu.” Ruby sontak mendengus. Baginya, sudah tidak ada lagi perasaan yang tersisa untuk Joan. Semuanya telah berakhir karena kesalahan pria itu sendiri. Tangan Joan terulur ke depan, hendak menyentuh bahu Ruby. Namun, Ruby langsung menatapnya tajam sehingga dia hanya bisa menggenggam udara dan menyimpan kembali tangannya di sisi tubuh. “Maaf, Ruby. Aku tidak tahu jika kau akan semarah ini.” “Maaf? Apa hanya itu yang bisa kau ucapkan?” Rasa kecewanya tidak akan hilang hanya dengan sekadar permintaan maaf. Dia bukanlah orang yang murah hati. Selain itu, kesalahan Joan tidak bisa disepelekan. Ruby membelikannya tas bermerek yang ada di majalah karena pria itu tampak sangat menginginkannya. Namun, pria itu justru memberikan tas tersebut kepada gadis lain. Pernah suatu hari, saat Ruby dan Joan pergi ke pusat perbelanjaan, diam-diam Ruby melihat Joan yang tengah memilih beberapa hiasan kepala. Hal itu tentu saja membuatnya senang karena berpikir jika pria itu akan menghadiahkannya sesuatu. Namun, sampai saat ini pun dia tidak menerima hadiah itu. Sebaliknya, dia melihat teman satu jurusannya memakai hiasan kepala yang dipilihkan oleh Joan. Ruby menghela napas panjang, lalu berbalik memunggungi Joan. “Sudahlah! Tidak ada lagi yang ingin aku bicarakan dengan pria sampah sepertimu!” Lagi pula, Ruby berkencan dengan Joan pun karena pria itu memiliki wajah yang tampan dan otaknya yang cerdas. Namun, karena pria itu sudah menjadi bagian dari sampah masyarakat, tidak ada alasan lagi baginya untuk tetap mempertahankan pria itu di sisinya. Baru saja hendak melangkah, tiba-tiba Joan menarik pergelangan tangannya dan memagut bibirnya di hadapan para mahasiswa yang berkeliaran di sekitar koridor kampus. Kedua mata Ruby terbelalak, tak bisa menutupi rasa terkejutnya karena tingkah pria itu. “Lihat? Kau bahkan tidak bisa menolak bibir—“ Ruby segera melayangkan tamparan keras di sisi wajah Joan, sebelum pria itu sempat menyelesaikan ucapannya. Napasnya tersengal-sengal dan sorot matanya begitu tajam. Banyak siswa yang menyaksikan kejadian tersebut, tetapi dia tidak peduli. Joan memang pantas mendapatkan tamparan, bahkan seharusnya lebih dari itu. “Jangan. Pernah. Menemuiku. Lagi.” Sengaja Ruby berbicara seperti itu, menekankan setiap katanya dengan jelas, menandakan bahwa dia sangat kesal saat ini. “Apa kau sudah memiliki pria lain?” “Itu bukan urusanmu!” Berbicara mengenai pria lain, tentu saja Ruby sudah memilikinya. Bahkan, hubungan mereka bukan hanya sekadar sepasang kekasih, melainkan sepasang suami-istri. Namun, tidak mungkin dia membeberkan hal itu secara gamblang. Ruby melirik arloji miliknya yang kemudian membuatnya berdecak kesal. Joan sudah membuang-buang waktu istirahatnya yang berharga. Sebentar lagi jam pelajaran terakhir akan dimulai, tetapi dia sama sekali belum pergi ke kantin. Dengan memanfaatkan waktu yang tersisa, akhirnya Ruby berlari kecil menuju kantin, meninggalkan Joan yang masih berdiri di posisi yang sama. Joan tidak bergeming. Sebelum Ruby menghilang dari pandangannya, dia mulai berteriak kencang hingga teriakannya bisa terdengar oleh Ruby. “Siapa pun pria itu, aku akan merebutmu kembali darinya! Aku tidak akan melepaskanmu, Ruby!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN