CH 3. Malam Pertama

1156 Kata
“Dasar menyebalkan! Aku menyesal karena sudah setuju menikah dengannya!” Ruby terus mengumpat sembari berjalan dengan menghentakkan kaki. Pria itu sudah menodai bibirnya meski sebelumnya berkata tidak berminat. Apa semua pria memang seperti itu? Tindakannya sangat berbeda dengan ucapannya. Berhubung acara pernikahannya belum selesai sepenuhnya, Ruby terpaksa harus tetap tinggal hingga para kerabat yang datang mengangkat kakinya dari ruangan tersebut. Dia tidak berniat menyapa mereka dan lebih memilih menyendiri di salah satu meja yang tersedia. Setelah cukup lama menunggu hingga diterpa kebosanan, Ruby menghampiri kedua orang tuanya yang sejak tadi sibuk mengobrol dengan wajah bahagia. Para kerabat yang hadir sudah mulai bepergian, itu sebabnya dia berniat mengajak mereka pulang. “Ayah, Ibu, ayo kita pulang!” “Apa maksudmu, Sayang? Kau ‘kan sudah menikah, tentu saja kau akan tinggal dengan suamimu.” Mendengar perkataan sang ibu, Ruby yang hendak berjalan menuju pintu keluar pun langsung mengurungkan niatnya. Dia menyipitkan matanya, menatap kedua orang tuanya secara bergantian. “Apa kalian membuangku? Mana mungkin aku tinggal bersamanya!” Ruby memprotes sembari mengarahkan jari telunjuknya pada Zero, membuat kedua orang tuanya saling memandang penuh heran. Wajah pria itu memang tampan dan terlihat baik, tetapi itu semua hanya sebuah topeng. Zero Rerugen adalah pria yang berbahaya dan tidak boleh didekati. Thomas memijit pangkal hidungnya. Meskipun dia sudah berhasil membuat Ruby menikah, tetapi dia lupa jika putrinya itu masih belum dewasa. Hari ini dia sudah membujuk putrinya dengan susah payah, apakah lagi-lagi dia harus membujuk dan membuat putrinya tersebut mengerti akan situasi yang sudah terjadi padanya? Saat Thomas tengah kebingungan untuk mengatakan sesuatu kepada putrinya, Zero tiba-tiba datang menghampiri mereka. “Ayah dan Ibu pulang saja. Aku akan membawa Ruby dan menjaganya dengan baik.” Zero menarik pinggang Ruby agar mendekat. Meski dia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi sepertinya gadis di sampingnya tersebut sedang membicarakannya, mengingat gadis itu sempat menunjuknya secara terang-terangan. Tanpa banyak berbicara, akhirnya pasangan Benckiser pergi meninggalkan ballroom hotel yang nyaris sudah tidak ada orang. Mereka sudah melihat putrinya menikah, jadi tidak ada lagi yang perlu mereka khawatirkan. Ruby mendorong tubuh Zero menjauh. Meski sudah resmi menjadi pasangan suami istri, tetapi bukan berarti dia akan membiarkan pria itu dekat-dekat dengannya. “Jangan mendekatiku! Selain itu, cepat bawa aku pulang, aku ingin segera beristirahat. Hari ini sangat melelahkan.” “Baik, Princess.” Seketika Zero mengangkat tubuh feminin Ruby di depan dadanya, membuat gadis itu berteriak kencang karena terkejut. Tidak bergeming, Ruby menendang-nendangkan kakinya di udara, berusaha lepas dari gendongan Zero. Padahal dia sudah memperingatkan pria itu, tetapi perkataannya tidak dihiraukan. “Apa yang kau lakukan? Turunkan aku!” “Jangan berisik! Kau membuat semua orang menatap ke arah kita.” Ruby sontak menutup mulutnya, bahkan menenggelamkan wajahnya di d**a bidang pria itu. Dia nyaris lupa kalau dirinya masih ada di dalam hotel yang notabene selalu ramai oleh pengunjung. *** Malam menyapa. Sekarang Ruby tengah duduk di sisi ranjang besar sembari memeluk guling. Dia pulang ke apartemen mewah yang diberikan keluarga Rerugen sebagai hadiah pernikahannya dengan putra mereka. Namun, yang menjadi masalah adalah ... apartemen mewah itu hanya memiliki satu kamar tidur! Ruby duduk dengan perasaan gelisah. Beberapa menit yang lalu, dia sudah beradu mulut dengan Zero mengenai masalah tempat tidur. Dia tidak ingin satu ranjang dengan pria itu sehingga menyuruhnya tidur di sofa. Namun, pria itu justru menolaknya dengan tegas. “Hey! Bukankah seharusnya kau mengalah pada seorang gadis? Aku tidur di ranjang, sedangkan kau tidur di sofa.” Sekali lagi, Ruby berusaha membuat Zero pergi dari ranjang besar yang sedang ditempatinya. Sejak tadi pria itu terus membaca buku sembari duduk dengan kaki terjulur lurus ke depan, sedangkan punggungnya bersandar pada headboard. “Hn? Aku tidak mau pergi. Lagi pula, kita berdua itu suami-istri, jadi wajar saja jika tidur bersama.” Entah suami istri atau apa pun itu, Ruby sama sekali tidak peduli. Dia tidak ingin tidur di sofa, tetapi juga tidak ingin tidur satu ranjang dengan Zero. Selain itu, mengapa pria itu sangat keras kepala dan tidak berniat untuk mengalah? Ruby menghela napas panjang. Tubuhnya sangat lelah dan kedua matanya pun terasa berat. Namun, dia tidak boleh sampai tertidur di samping pria berbahaya seperti Zero. “Kau tidak akan melakukan apa-apa, bukan?” Menutup buku yang dibacanya, Zero langsung menarik lengan Ruby dan menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Sontak dia memosisikan dirinya di atas, menatap gadis itu seraya menyeringai. “Apa maksudmu dengan tidak akan melakukan apa-apa?” Rona merah muncul menghiasi wajah Ruby. Setelah menelan saliva-nya, dia mengalihkan pandangan ke arah lain, menghindari tatapan Zero yang sempat membuatnya berdebar. “S—seperti hal-hal m***m ....” Betapa malunya dia mengatakan hal itu. Dia yakin jika sekarang wajahnya sudah seperti kepiting rebus yang baru saja disajikan. Hal itu tak luput dari penglihatan Zero. Pria itu berpikir, betapa lucu dan menggemaskannya Ruby yang tengah menahan malu. Tampaknya menggoda Ruby akan menjadi hobi barunya. Gadis itu terlalu menghibur untuk sekadar diabaikan. “Kalau begitu, bagaimana jika kita melakukan hal m***m seperti yang sedang kau pikirkan?” “Apa— aku tidak memikirkan hal semacam itu!” Ruby meninggikan suaranya yang kemudian mendorong tubuh Zero agar menjauh. Rasa malunya sudah berganti dengan rasa kesal, apalagi ketika pria itu tertawa kecil untuk mengejeknya. “Tidak perlu khawatir dan tidurlah. Aku tidak akan tertarik dengan gadis kurus sepertimu. Seandainya kakakmu yang ada di sini, mungkin kami sudah bersenang-senang.” Zero mengatakan kalimat itu sembari menatap ke arah d**a Ruby yang tidak terlihat sama sekali. Tentu saja hal itu membuat Ruby melemparkan tatapan tajam, tetapi pria itu tidak peduli. Akhirnya Ruby menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Dia memasang pembatas dengan guling yang disimpan di tengah-tengah ranjang. “Ini adalah batas yang tidak boleh dilewati. Kalau begitu, selamat tidur!” Seharusnya Ruby senang jika pria itu tidak menyentuhnya, tetapi mengapa dia justru merasa kecewa? Gadis itu menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran aneh tersebut. Kecewa? Mana mungkin hal itu terjadi. Dia hanya merasa marah karena pria itu menyebut dirinya kurus sembari menatap dadanya yang rata. Melihat gadis di samping sudah terpejam, akhirnya Zero mulai mematikan lampu yang langsung membuat seisi kamar menjadi gelap. Dia kemudian berbalik ke arah Ruby yang tidur sambil memunggunginya. “Aku memang tidak akan tertarik padamu, setidaknya sampai kau lulus kuliah.” Zero berlirih pelan, sebelum akhirnya memejamkan mata. Dia hanya ingin mengatakan hal itu kepada istri kecilnya, tak peduli meski gadis itu mendengarnya atau tidak. Sementara Ruby langsung membuka kelopak matanya yang sempat terpejam. Sebenarnya dia masih belum tidur, dia bahkan mendengar kalimat terakhir Zero barusan, membuat pikirannya sedikit terganggu. Tidak akan tertarik sampai lulus kuliah? Bukankah itu artinya pria itu sedang menahan diri? Entah mengapa Ruby tidak bisa menahan senyumnya. Sepertinya pria di sampingnya itu tidak terlalu buruk, sengaja menahan diri untuk tidak menyentuh gadis yang masih berkuliah. Ruby menarik selimut hingga menutupi leher. Sekarang dia bisa tidur dengan tenang dan tidak khawatir jika pria itu akan menyerangnya secara tiba-tiba. Dalam beberapa detik, akhirnya dia pun memejamkan mata, tertidur lelap hingga pagi menyapa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN