Saran Cinta Dari Sang Adik

1348 Kata
Hari minggu berikutnya, Tama sudah berjanji untuk datang ke rumah Ayuna. Mereka akan mengadakan kompetisi masak nasi goreng. Siapa yang paling enak, dia yang akan menang. Pertandingan itu terjadi gara-gara saat saling berkirim pesan, Ayuna mengatakan pada Tama kalau ia sedang memasak nasi goreng, lalu Tama justru meledek Ayuna kalau masakannya lebih enak. Karena itulah, kompetisi masak ini terjadi. Tama berusaha tampil serapi mungkin. Dia ingin menunjukkan kesan pertama datang ke rumah Ayuna dengan berpakaian sopan dan rapi. Tidak lupa, Tama membawa buah untuk oleh-oleh. Di bandingkan dengan main ke rumah teman, Tama justru seperti terlihat sedang mengunjungi pacarnya. Di rumahnya, Ayuna sibuk mempersiapkan segala sesuatu ntuk menyambut kedatangan Tama. Tentu saja, kalau Tama hanya teman biasa, Ayuna tidak akan memperlakukannya dengan se-spesial itu. Doni yang sedang libur mengamati kesibukan kakaknya yang telah di mulai sejak setelah subuh. “Pacar Kakak mau datang ke rumah, ya?” tanyanya dengan mata dan tangan fokus ke permainan perang yang ada di ponselnya. “Nggak, pacar dari mana?” Ayuna justru balik bertanya. “Lah, jadi Kakak dari tadi sibuk, mau nyambut siapa? Mama kita pulang kah?” tanyanya lagi. “Nggak juga, Mama masih lama kok pulangnya.” Jawab Ayuna santai. Dia masih merapikan meja ruang tamunya yang sedikit berantakan karena ulah adiknya. “Terus?” Doni mulai sedikit kesal karena merasa tidak puas dengan jawaban Ayuna. “Yang mau ke sini itu, Tama. Inget kan, cowok yang ngasih aku boneka waktu itu?” Ayuna memandu adiknya untuk mengingat-ingat. “Oh, yang kasih boneka harga seratus lima puluh ribu itu, ya?” Doni masih ingat dengan jelas, satu-satunya orang yang memberi kakaknya hadiah akhir-akhir ini. “Nah, memang dia. Ternyata ingatan kamu bagus juga. Untung tidak pikun,” ledek Ayuna terkekeh. “Memangnya aku sudah tua? Kamu tuh, yang tua. Kapan mau nikah, Kak? Padahal, aku udah siapin hadiah spesial, kalau Kakak nikah.” kelakar Doni. “Memangnya hadiah dari kamu apaan? Sok iya, mau ngasih kado segala.” Sahut Ayuna sambil menyapu ulang lantainya yang dia rasa kotor kembali. “Boneka ulat bulu. Kamu kan suka mainan ulat bulu, jadi aku sudah siapkan hadiah yang paling tepat untuk Kakak.” Doni tertawa akibat ulah perkataannya sendiri. “Dih, di kira aku masih bocah, main boneka. Makanya, do’ain biar cepet dapet jodoh.” Katanya asal. “Aku do’akan, semoga Kakakku yang bawel berjodoh sama Tama, amin. Tuh, udah aku do’ain. Jangan lupa traktir makan bakso nanti malam.” Ledek Doni, masih di posisinya yang sama, seketika dia mendapat hadiah sebuah pukulan cantik dari gagang sapu yang di pakai oleh Ayuna tadi. “Kalau do’ain jangan ngasal. Tama udah punya pacar, mana bisa jadi jodoh aku.” Protes Ayuna. Memang seharusnya dia seneng karena di do’akan berjodoh dengan Tama, tapi melihat kenyataan yang terjadi sekarang, sepertinya dia tidak bisa berharap setinggi itu. “Siapa yang ngasal, aku beneran do’ain Kakak. Siapa yang bilang atau bisa pastikan kalau orang pacaran itu sudah pasti jodoh? Itu cuma teori Kak. Banyak kok, di luar sana yang jagain jodoh orang. Artis aja banyak contohnya, tuh. Pacaran sama siapa, nikahnya sama siapa, iya kan?” Doni mendadak sok dewasa. Tapi, Ayuna setuju dengan pemikiran adiknya itu, pacaran memang belum tentu berjodoh. Meskipun begitu, Ayuna tidak ada niat untuk merebut Tama dari Nada. Setiap orang punya alasannya sendiri untuk jatuh cinta. Ada yang terobsesi dan ingin memilikinya, ada yang pelan-pelan mendekat, ada juga yang memilih untuk mencintai dalam diam. Ayuna masuk kriteria yang ke tiga. Dia memang mencintai Tama, tetapi dia tidak ingin menjadi egois. Ayuna ingin menikmati setiap helai perasaannya tanpa memiliki. Baginya, dapat berdekatan dengan lelaki itu sudah lebih dari cukup. Sejak hari di mana ia pergi ke toko buku bersama Tama, sejak itu Ayuna menuliskan segala perasaannya pada Tama di buku diari yang di belikan Tama. Di sana, ia juga menempel hampir semua foto setiap mereka bertemu dengan caption perasaannya. Memang Ayuna tidak dapat mencurahkan perasaannya pada Tama, tetapi buku itu sudah mewakili perasaannya. “Ya, apa yang kamu katakan memang bener sih, tapi aku nggak mau berharap. Meskipun jujur, aku memang suka dia.” Ungkap Ayuna. “Tanpa Kakak bilang juga sudah kelihatan kalau Kakak Naksir sama Kak Tama. Sejak kenal sama dia, Kakak jadi lebih ceria, aku juga sering lihat kakak gunting-gunting foto dia sambil senyum-senyum. Kakak sadar nggak, kalau mencintai seseorang diam-diam itu bikin sakit hati. Mendingan Kakak ungkapin sama dia, kalau Kakak memang memiliki perasaan lebih dari sahabat.” Doni lagi-lagi sok dewasa dan bijak. “Nggak akan. Aku sudah nyaman seperti ini. Kalau aku mengungkapkan perasaanku, terus dia menjauhi aku, itu malah jadi mimpi buruk buatku. Aku bukan tipe orang yang terlalu terobsesi. Aku harus memastikan kalau hubungan kami akan tetap baik, meskipun ada perasaanku yang tumbuh di dalamnya,” kata Ayuna yakin. “Terserah Kakak sajalah, tapi ingat, jangan sampai Kakak menangis karena perasaan Kakak itu, atau aku yang akan bilang sama Kak Tama tentang perasaan Kakak.” Ancam Doni. Ayuna tersenyum, ternyata adiknya cukup peduli dengan perasaannya. Dia tidak akan pernah menangis, karena Tama tidak pernah menyakitinya, hanya dia dan dirinya yang membawa hatinya semakin jatuh ke dalam kubangan cinta lelaki itu. “Memangnya aku secengeng itu? Aku akan baik-baik saja, meskipun Tama menikah dengan kekasihnya.” Bersamaan dengan itu, sebuah sepeda motor sport berhenti tepat di halaman rumah mereka. Ayuna hapal sekali dengan sosok itu. Tama telah sampai. “Hwa! Aku mau mandi dulu, Kak.” Doni yang belum mandi kalang kabut ke kamarnya untuk membersihkan diri. Ayuna menyambut kedatangan Tama dengan senyum yang merekah. Tama yang berjalan ke arahnya juga mengembangkan senyum. Ayuna membuka pintu rumahnya lebar-lebar. “Akhirnya ketemu juga rumah kamu, Ayuna. Aku tadi hampir nyasar, terus nanya sama ibu-ibu yang nyapu di ujung gang sana.” Cerita Tama saat jarak mereka sudah dekat. “Mudah kan, cari rumah aku. Padahal aku sudah kirim lokasi kan di chat, kalau sampai nyasar, itu keterlaluan. Masuk, Kak.” Ayuna mempersilahkan Tama untuk masuk ke dalam rumahnya. “Terima kasih, Ayuna. Eh, mana adik kamu, kok sepi?” tanya Tama saat mereka berdua telah masuk ke ruang tamu milik keluarga Ayuna. “Adik aku lagi mandi, Kak. Dia dari tadi main game sambil ceramahin aku. Pas kamu dateng, langsung kabur dia.” Cerita Ayuna, Tama tertawa kecil mendengarnya. “Ini ada buah buat kamu. Maaf ya, aku nggak bawain kamu oleh-oleh, habisnya kamu di tanya nggak mau bilang pengen makan apa.” Tama menyodorkan buah yang ada di plastik putih di atas meja ke arah Ayuna. “Ini apa dong, kalau bukan oleh-oleh, suka merendah si Kakak. Makasih ya, Kak, udah repot-repot bawain aku buah.” “Bukan merendah, memang faktanya kamu nggak mau bilang, kan? Coba cek ponsel kamu, aku nggak bohong.” Protes Tama. “Iya, aku juga nggak bohong, memang nggak ada yang lagi aku pengenin. Memangnya harus di paksain, pengen sesuatu, gitu? Kakak aneh, tahu nggak?” kata gadis itu riang. Setiap berdekatan dengan Tama, setiap detik selalu memaksanya untuk tersenyum. Seperti kata Doni, kehadiran Tama sudah membuat hari-harinya berubah. “Iyain aja, deh, biar kamu seneng. Aku beberapa hari kemarin jenguk Nada. Mamanya sudah menyerah, sampai hari ini, belum ada donor ginjal yang cocok untuknya.” Tama mengawali ceritanya tentang kunjungannya di Rumah Sakit beberapa hari lalu. “Terus Kak, Kakak ada bicara, maksudku mengajak Kak Nada berinteraksi?” tanya Ayuna antusias. Jika orang lain jengkel saat mendengar orang yang disukainya menceritakan kekasihnya, Ayuna justru ingin mendengarkan ceritanya sampai tuntas. “Ya, seperti biasa, aku selalu mengajaknya bicara, meskipun dia tetap membisu. Karena ibunya telah menyerah, aku menjadi pesimis dan ketakutan. Bagaimana kalau Nada juga akhirnya menyerah?” Tama mencurahkan perasaannya, ada rona kesedihan yang mendalam dari caranya berbicara dan Ayuna memahami itu. “Kakak tidak boleh berprasangka buruk. Keajaiban Tuhan pasti ada, kita hanya perlu berdo’a dan berusaha. Aku yakin, Kak Nada pasti akan segera menemukan donor ginjalnya. Kakak juga harus semangat, Dong.” Kata-kata Ayuna itu menyejukkan hati Tama. Seolah gadis itu sedang menyiramkan air kepadanya yang berada di tengah padang gurun tandus yang panas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN