Hari minggu pagi, jam dinding menunjukkan pukul delapan lewat empat puluh tiga menit. Ayuna telah rapi, semua pekerjaan rumahnya telah selesai. Dia tengah memakai sepatu kets-nya yang berwarna putih. Dia sudah membuat janji dengan Tama untuk pergi ke toko buku yang berada dalam supermarket sekalian jalan-jalan.
“Astaga, bau parfummu terlalu menyengat, bisa-bisa Tama pingsan saat bertemu denganmu nanti.” Seperti biasa, Doni selalu menggoda Ayuna. Bukan Doni namanya kalau tidak berhasil membuat Ayuna terusik.
“Dasar anak nakal, kerjaannya ngerecokin melulu. Tama tidak mungkin pingsan, justru dia akan betah di sisiku karena aku semerbak seperti bunga yang bermekaran.” kelakar Ayuna.
Doni menatap ke arah kakaknya dengan pandangan tidak yakin.
“Dih, dasar kepedean akut. Semerbak bunga apaan? Bunga kantil? Haha, kakak kunti jalan-jalan.” Doni masih saja menggoda Ayuna, membuatnya kesal dan memanyunkan bibir.
“Adik yang nggak jelas! Sudahlah, mending aku berangkat sekarang, daripada ngurusin kamu. Oh ya, makanan udah siap, kamu tinggal makan aja, jangan lupa cuci piring. Semua sudah bersih, jangan bikin rumah jadi berantakan. Awas nanti, kalau sampai ada satu bulu ayam yang tercecer di lantai, kamu harus membersihkannya sampai mengkilap.” pesan Ayuna sebelum pergi.
“Iya, bawel!” sahut Doni, seraya menutup pintu.
Ayuna menuju ke taman, di mana ia dan Tama sepakat untuk bertemu. Ayuna sudah memastikan dirinya telah cukup rapi untuk bertemu dengan sahabatnya itu. Di perjalanan menuju taman, Ayuna bisa melihat beberapa orang menghabiskan hari minggunya dengan jalan bersama pasangan mereka masing-masing, tetapi dirinya justru jalan dengan kekasih orang. Ayuna tertawa kecil, ia menertawakan dirinya sendiri.
Seharusnya, sekarang dirinya pergi seorang diri untuk sekedar menghibur diri atau berkesempatan untuk mendapatkan kenalan yang mungkin bisa ia jadikan sebagai kekasih kemudian hari. Sekali lagi, jarinya seperti distel otomatis, dengan sendirinya ia mengirim pesan pada Tama untuk menemaninya pergi.
Ayuna tidak habis pikir, mengapa semenjak mengenal Tama, dirinya selalu mengandalkan lelaki itu. Dia selalu merasa tenang, saat ada Tama di sisinya. Seolah-olah, dia selalu bersembunyi di punggungnya, punggung lelaki yang bukan miliknya. Terkadang, Ayuna merasa, dia terlalu nyaman dalam bayang-bayang Tama dan mengabaikan Nada yang berada di antara mereka.
Setibanya di Taman, Ayuna melihat Tama duduk di bangku yang sama dengan saat mereka ngobrol sebelum festival boneka beberapa minggu yang lalu. Dia menggunakan kaos putih dan celana jeans, style Tama setiap bertemu dengan Ayuna memang selalu seperti itu. Ayuna menyimpulkan, Tama mungkin tidak menyukai kemeja.
Ayuna melangkah perlahan mendekati Tama. Ia sengaja mengendap-endap agar lelaki itu tidak menyadari kehadirannya. Semakin mendekati lelaki itu, jantung Ayuna berdegup semakin kencang. Ayuna mengutuk dirinya sendiri, bisa-bisanya dia bereaksi seperti itu pada seseorang yang telah memiliki kekasih. Gadis itu merasa ada yang salah dengan dirinya.
“Dor!” Ayuna menepuk punggung Tama lumayan kuat dengan kedua tangannya dan sukses membuat lelaki itu terkejut.
“Niat banget ngagetinnya. Untung jantungku nggak copot.” Kelakar Tama. Ayuna segera berjalan ke arah depan dan duduk di samping Tama. Selain tas kecil, Ayuna sudah pasti membawa kameranya. Dia tidak ingin melewatkan pemandangan yang bagus untuk di abadikan.
“Tenang, nanti kalau jantung Kak Tama copot, aku tinggal ambil, terus aku kasih makan kucing, hihi.” Ayuna tertawa kecil, Tama juga menyunggingkan senyumnya.
“Tega kamu, ya!” katanya sambil menarik hidung gadis yang duduk di sisinya itu.
“Ahaha, aku pikir, Kakak nggak butuh jantung. Eh, Kak Tama udah sarapan belum?” Ayuna berubah serius.
“Belum sih, cuma minum teh aja tadi. Memangnya kenapa?” tanya Tama santai.
“Kebetulan, nih, aku bawa roti isi telur mata sapi, selada dan sosis. Nih, makan, Kak.” Ayuna mengeluarkan kotak bekal ukuran kecil berwarna ungu tua dan menyerahkannya pada Tama.
“Terima kasih, pasti roti isi buatan kamu juga seenak masakan kamu saat di rumah sakit. Beruntung banget, ya, nanti seseorang yang menjadi suami kamu.” ujar Tama seraya menerima kotak kecil yang di berikan oleh Ayuna dan membukanya lalu mengeluarkan isinya dari dalam sana dan memasukkannya ke mulutnya.
“Apaan sih, Kak. Main ngomongin suami aja, pacar aja belum punya.” Ayuna pura-pura menekuk wajahnya.
“Jodoh itu tidak ada yang tahu, Ayuna. Bisa jadi, besok tiba-tiba ada yang datang melamar ke rumah.” kata Tama sambil melanjutkan acara makannya. Apa yang di katakan Tama memang benar, kalau boleh berharap, Ayuna ingin Tama-lah yang menjadi jodohnya, tetapi Ayuna tahu itu mustahil, Tama telah memiliki Nada di sisinya.
“Ya, apa yang Kakak katakan memang benar. Jodoh itu misteri, tidak dapat diterka, siapa dan kapan datangnya.” sahut Ayuna. Untuk saat ini gadis itu tidak terlalu memikirkan siapa jodohnya. Dia hanya ingin menikmati kebersamaannya dengan Tama, itu sudah cukup untuk membuat hatinya berbunga.
“Memang seperti itu, Ayuna. Aku juga tidak tahu, apakah aku berjodoh dengan Nada atau tidak. Terpenting, aku selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk hubungan kami. Oke, aku udah selesai makannya, nih kotaknya. Ayo kita pergi ke supermarket.” Tama menyerahkan kotak bekal yang tadi di berikan oleh Ayuna.
“Kalau gitu, Kakak minum dulu, abis makan wajib minum, nih.” Ayuna mengeluarkan botol kecil dari tasnya, menukar kotak kosong itu dengan botol minuman yang ada di tangannya.
“Terima kasih, Ayuna. Kamu perhatian banget.” Tama meneguk air putih yang ada di botol itu, lalu menyerahkannya kembali pada Ayuna. Gadis itu memperhatikan wajah Tama.
“Kak, ada serpihan roti tuh di wajah Kakak.” Ayuna memberitahu Tama kalau ada sisa makanan yang menempel di pipinya.
“Mana? Udah belum?” Tama berusaha mengusap wajahnya untuk menghilangkan serpihan roti yang di katakan oleh Ayuna, tapi sayangnya tidak hilang juga.
“Biar aku saja, maaf, Kak,” Ayuna mengulurkan tangannya, ia membersihkan serpihan roti yang menempel itu dengan ibu jarinya perlahan. Telapak tangannya dan jadinya yang lain menempel di pipi lelaki itu, tanpa sengaja mereka bertatapan, jantung Ayuna kembali bereaksi, ia segera menarik tangannya.
“Maaf, Kak.” Ucapnya sekali lagi dan buru-buru memandang ke arah lain. Tama tersenyum, tanpa disadarinya, lelaki itu memegang pipinya yang tersentuh oleh Ayuna. Sentuhan kecil gadis itu mengingatkannya dengan Nada.
“Oke, tidak masalah. Aku harusnya berterima kasih padamu karena sudah membersihkan wajahku. Nih botolnya, yuk kita berangkat. Mau naik apa? Angkot atau taksi?” tanya Tama seraya menyerahkan botol kecil di tangannya lalu memakai jaket yang tadi dilepas da ditaruhnya di atas bangku.
“Naik angkot aja, Kak.” Ayuna mengambil keputusan. Ia memasukkan kembali botol minumnya ke dalam tas.
Mereka berdua berjalan ke luar area taman menuju ke pinggir jalan Raya. Keduanya berjalan santai dan berdampingan. Tama memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya, sementara Ayuna, seperti biasa, dia memotret apa yang menurutnya menarik. Tentu saja Tama tidak lepas dari beberapa jepretan kameranya.
Keduanya segera masuk ke dalam angkot, Tama memilih tempat duduk berdampingan dengan Ayuna, dia ingin mengobrol dengan leluasa di samping gadis itu.
“Sebelumnya, kamu sering pergi ke toko buku? Maksudku, sebelum kenal sama aku,” selidik Tama.
“Nggak terlalu sering, sih Kak. Paling, pas aku lagi pengen aja. Biasanya aku ke toko buku kalau aku lagi ada yang pengen di beli. Misalnya sekarang, aku lagi pengen beli buku harian baru.” Kata Ayuna jujur. Buku hariannya sebenarnya masih ada, tapi yang satu ini nantinya isinya beda. Ayuna ingin mempunyai buku diari yang khusus untuk perasaannya dengan Tama.
“Buku harian? Yang isinya tentang curhat sehari-hari gitu?” Tama mengoreksi pengetahuannya mengenai buku harian.
“Nah, bisa di bilang begitu. Biasanya aku selalu menulis kegiatan sehari-hari aku. Jadi kalau pas lagi santai atau bosen, biasanya aku membaca ulang yang aku tulis di sana dan itu biasanya membuat aku terhibur, Kak.” curhat Ayuna.
“ Memang seru, sih. Kadang, kita mengalami hal-hal konyol dan di tulis begitu saja. Anehnya, pas nulis berasa biasa saja, tapi pas di baca ulang, ternyata itu sangat lucu. Dulu aku pernah begitu, nulisnya tapi di buku biasa.” Tama tersenyum lebar saat mengingat masa lalunya.
“Ternyata Kakak pernah nulis diari juga, beneran nggak nyangka.” Ayuna tertawa kecil, meledek Tama.
“Memangnya kalau cowok, nggak boleh nulis diari?” tanya Tama.
“Boleh sih, hanya saja kurang umum. Biasanya, cowok lebih suka cuek, jarang yang sampai menulis diari gitu.” Ayuna tersenyum, menutup mulutnya.
“Tapi aku kan beda dari cowok kebanyakan. Aku merasa, perasaanku hampir mirip dengan cewek. Mudah sedih dan terharu. Biasanya aku nggak pernah cerita ini pada orang lain, tapi nggak tahu kenapa, aku pengen cerita ini ke kamu.” Kata Tama serius. Ayuna yang tadinya memandang ke arah lain, sekarang dia agak mencondongkan letak duduknya ke Tama.
“Kakak serius? Tapi menurut aku itu bagus, jarang loh, ada cowok yang berhati lembut seperti Kakak.” Ayuna senang, Tama terbuka dengannya. Hal itu membuat dirinya merasa lebih spesial sekarang. Setidaknya, Ayuna merasa menjadi sahabat terdekat Tama.
“Terima kasih, Ayuna. Aku awalnya takut buat jujur sama kamu, karena ada juga cewek yang nggak suka dengan sifat cowok sepertiku.” Tama terlihat sedih, raut wajahnya berubah.
“Aku kan sahabat Kakak, aku seneng malah, kakak mau terbuka sama aku, Bagaimanapun sikap dan kepribadian kakak, selama Kak Tama baik, aku tetap akan menjadi sahabat kakak.” Ayuna tersenyum tulus ke arah Tama. Dia memang menerima Tama apa adanya, baik sebagai teman, atau lebih dari teman. Bagi Ayuna, sikap Tama adalah nilai lebih baginya.