SWFA-Janji Jangan Pergi

1879 Kata
Aira dan Jodie saling menatap untuk beberapa saat. “Siapa Jod?” “Mana aku tahu juga Ra, yang pasti bukan kang ojol. Karena aku belum memesan makan siang untuk hari ini,” sahut Jodie. Yah namanya juga anak Kost, kalo malas masak pasti akan pesan makanan. Aira memanyunkan bibirnya, lalu segera beranjak dari tempat duduknya dengan malas, ia segera mengangkat kain jarik yang membalut kakinya, agar dia bisa berjalan dengan leluasa. “Dasar aneh, kenapa kamu nggak lepas aja sih Ra, risih tau lihatnya,” kata Jodie, sambil ngedumel kepada sahabatnya. Aira berbalik, menatap Jodie, “shuuut, jangan ribut!” kata Aira ragu. Ceklek! Pintu kamar di buka sedikit oleh Aira, dia nampak kesulitan menelan Saliva-nya kali ini, setelah melihat siapa yang berdiri di hadapannya. “Mampus nggak nih aku?” gumam Aira. Setelah netranya beradu dengan pria, yang kini berdiri sambil meletakkan tangannya satu, di kusen pintu. Aira memberikan senyuman terbaik yang dia miliki, lalu segera berancang-ancang untuk menutup kembali pintunya. Namun pergerakan Aira segera di ketahui oleh Andri. “Mau sembunyi ke mana lagi kamu?” tanya Andri menaikkan sebelah alisnya. Bahkan pria yang berstatus sebagai suaminya itu kini menahan pintu agar tidak tertutup. Kali ini Aira tidak bisa lari lagi. “He ... he anu, aku eh ... saya cuma.” “Ayo, ikut aku sekarang!” titah Andri. Lalu menarik pergelangan tangan Aira. “Tunggu!” Aira melepaskan tangan Andri lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Apa lagi?” “Aku pamit dulu sama temenku, ya kali masak langsung main pergi aja,” sahut Aira berusaha mencari alasan. Andri mengembuskan napasnya, jengah, “jangan mencoba untuk kabur!” “Hem,” jawab Aira singkat. Aira segera menutup kembali pintu kamar Jaodie dengan keras. “Punya istri model begini amat,” gumam Andri. Lalu berjalan keluar menuju ke parkiran mobil. “Laki kamu Ra?” “Iya, aku pamit dulu ya Jod. Nanti aku kabarin lagi,” kata Aira lalu meraih tasnya. “Oke.” Jodie terlihat ikut beranjak, mengikuti Aira. “Stop, Kamu nggak usah lihat!” kata Aira menahan Jodie. Entah mengapa dia tidak ingin suaminya dilihat oleh orang lain. “Ya Elah, pelit amat Ra. Aku kan penasaran, kayak apa muka suami kamu,” sahut Jodie. “Yang jelas manusia, hidup dan bernapas menggunakan paru-paru,” sahut Aira sebelum keluar. “Kalo pakai insang, namanya ikan kali Ra,” dumel Jodie. Entah mengapa setelah menikah otak sahabatnya malah semakin konslet. Mungkin efek guncangan ketika berlari untuk kabur, pikir Jodie. “Iya terserah deh. Kamu pokoknya nggak usah liat dulu!” cegah Aira. “Kenapa? Suami kamu ada tompelnya?” goda Jodie. “Ish, udah nggak usah lihat deh pokoknya. Semakin kamu mau keluar, aku semakin lama di sini,” ancam Aira. “Iya deh, iya. Sana pergi, kasian suami kamu. Kamu kacangin di luar,” kata Jodie. “Awas kamu keluar!” ulang Aira. Aira terlihat mengambil ancang-ancang untuk menghirup udara sebanyak mungkin. Lalu segera mengembuskannya. “Bismillah,” lirih Aira lalu segera keluar. Aira segera menutup kembali pintu kamar sahabatnya. Ternyata Andri sudah tidak ada di depan kamar. Dia sudah berpindah menunggu di depan kost. Aira nampak bernapas lega. Aira berjalan perlahan-lahan mendekati Andri yang kini bersandar di pintu mobilnya. “Kenapa lama sekali? Tadi waktu lari dari acara kamu cepet banget," sindir Andri. Aira hanya terdiam, mendengar ucapan suaminya. “Begini aja di protes, gimana nanti kalo aku nggak bisa jadi istri yang bener coba?” gumam Aira di dalam hatinya. “Mikir apa kamu?” tanya Andri karena melihat Aira termenung. “Enggak ada,” sahut Aira cepat. Andri segera membukakan pintu mobil untuk Aira. Suasana di dalam mobil terlihat canggung, meskipun Aira sudah mengenal Andri dari kecil. Namun, entah mengapa setelah berpisah selama bertahun-tahun dan kembali bertemu setelah dewasa, rasanya sudah tidak seperti dulu. Canggung dan aneh. Begitulah menurut Aira. Meskipun tidak ada yang berubah dari sifat Andri yang dulu dengan yang sekarang. Entah mengapa Aira merasa ada jarak, jika dulu Aira selalu bersikap sok kenal dan sok dekat. Meskipun Andri menolak untuk dekat dengan Aira, namun Aira selalu menempel kemanapun Andri pergi. Kini dirinya lebih memilih untuk menjaga jarak kepada Aira. Sesekali Aira terlihat melirik Andri dari balik ekor matanya. Seketika itu juga, Aira teringat ketika pertama kali bertemu dengan Andri. Saat itu Orangtua Andri membawa Andri berkunjung ke rumah Aira di kampung, sebelum dia dan kakeknya pindah ke kota. Flashback on. Empat belas tahun silam. Saat itu Andri sudah menginjak usia 17 tahun dan Aira masih 8 tahun. Andri remaja duduk di bawah pohon sembari membaca buku tebal. Saat itu Andri sudah duduk di bangku SMA, sedangkan Aira masih di bangku SD. Aira kecil yang mengenakan dress ala pengantin kecil berjalan mendekati Andri, membawa permen berbentuk cincin. “Kak Andri?” “Hem,” sahut Andri singkat. Karena dia masih fokus membaca buku. Meskipun merasa terganggu, namun Andri selalu menjawab perkataan Aira. “Kak Andri, kita menikah yuk?” ajak Aira. Andri terlihat kaget, namun ia masih bersikap sok cool. Ia menatap Aira sekilas, lalu segera kembali fokus pada bukunya. “Nggak mau!” sahut Andri cepat. “Tapi aku mau kok,” kata Aira dengan begitu polosnya. Aira meraih tangan Andri lalu menyematkan sebuah cincin permen yang dia miliki. “Nah kan, keren. Kalo begini kita sudah resmi menikah,” kata Aira dengan polosnya. “Tidak mau,” tolak Andri. Aira nampak kesal, “kenapa tidak mau?” Andri mendekatkan dirinya hingga terlihat akan mencium Aira. Bahkan Aira sampai terduduk ke arah belakang. Jantung Aira berdebar-debar seolah hendak keluar dari tempatnya. Pipi gembul Aira terlihat merona karena malu. Andri terlihat menyerigai. “Karena kamu masih bau biskuit bayi,” bisik Andri lalu segera beranjak mengambil bukunya. Dia segera bergegas meninggalkan Aira. “Enak aja. Aku sudah besar!” teriak Aira. Flashback off. “Ck, katanya dulu nggak mau menikahi-ku,” dumel Aira. Yang tanpa dia sadari didengar oleh Andri. Andri hanya meliriknya sekilas dari balik ekor matanya. Setelah perjalanan beberapa menit menuju ke rumah sakit. Akhirnya kedua pengantin yang masih sama-sama mengenakan setelan kebaya dan juga beskap itu sampai. Andri berjalan mendahului Aira masuk ke rumah sakit. Sementara Aira terlihat nampak kesulitan berjalan karena terlalu ribet dengan stelan kebaya-nya. Andri terlihat mengingat di mana letak ruangan Kakek Aira. Andri berhenti secara mendadak, hal itu membuat Aira yang berjalan tanpa melihat menabrak punggung Andri. Menyadari hal itu dengan cepat Andri berbalik lalu meraih tangan Aira, agar dia tidak terjatuh ke lantai. Netra mereka neradu untuk beberapa detik. “Jalan yang benar!” kata Andri lalu melepaskan tangannya, lalu meninggalkan Aira. “Ma, Pa. Kakek?” tanya Andri saat berpapasan dengan kedua orangtuanya. “Ada di dalam sayang, kalian masuk saja,” kata Sinta, ibu dari Andri. Sinta segera memeluk Aira. “kamu jangan menangis ya, di depan Kakek kamu harus kuat,” bisik Sinta. Mendengar hal itu, netra Aira terlihat mengembun. Dengan cepat Aira mengangguk mengerti. Andri membukakan pintu untuk Aira. Melihat sang kakek sudah terbaring di bed rumah sakit dengan selang oksigen yang sudah terpasang. Tiba-tiba saja, butiran-butiran kristal bening berjatuhan membasahi pipi Aira. Andri yang menyadari hal itu segera mengulurkan sapu tangannya kepada Aira. “Jangan terlihat sedih di hadapan kakek!” bisik Andri. Sesegera mungkin Aira mengusap pipinya yang basah. Aira lalu mendekat kepada sang Kakek. “Kakek,” bisik Aira. “Aira, kamu sudah datang?” ujar Satya. “Kakek, ini bukan prank lagi kan?” tanya Aira sembari terkekeh pelan. Karena sang kakek sering kali membohongi dirinya jika sedang sakit. “He he, maafkan Kakek sayang. Selama ini Kakek selalu menyembunyikan penyakit Kakek. Mungkin ini sudah saatnya Kakek pergi,” lirih Satya. “Nggak! Kakek nggak boleh pergi!” kata Aira dengan tegas. Siapa yang mau ditinggalkan begitu mendadak, apalagi oleh orang terkasih. “Bisa tinggalkan Kakek Sebentar, ada yang mau kakek bicarakan dengan Andri,” kata Satya memberi kode kepada Aira untuk pergi sebentar. “Tapi Kek?” Aira terlihat menolak untuk meninggalkan sang kakek. Namun, Satya terlihat meyakinkan Aira agar mau meninggalkannya. Aira segera keluar dari ruangan inap kakeknya, menunggu di luar bersama ibu mertuanya. “Aira sayang, maafkan kami ya. Mungkin kamu belum siap dengan semua ini. Tapi ini adalah amanah yang harus segera dilaksanakan,” kata Sinta. Aira hanya mengangguk mengerti. Entah mengapa saat ini dirinya sangat takut jika sewaktu-waktu dirinya ditinggalkan oleh Kakeknya. Mungkin rasanya akan terasa begitu berat dan menyakitkan. Mengingat hanya Kakeknya–lah yang dia punya selama dia hidup. Andri terlihat keluar dari ruangan. “Masuklah!” kata Andri kepada Aira. Aira segera berlari mendekat kepada sang Kakek. “Kakek, cepat sembuh ya,” bisik Aira. “Aira, maukah kamu berjanji kepada Kakek?” lirih Satya. “Iya, Aira dengar apa kata Kakek. Asalkan kakek segera sembuh.” “Sekarang kamu sudah menjadi seorang istri. Kamu harus patuh kepada suamimu. Menjadi istri yang berbakti, jangan kekanak-kanakan lagi. Janji ya, jangan kabur-kabur lagi,” kata Satya sambil terkekeh. “Iya Aira janji, tapi Kakek harus sehat. Kenapa kakek dari tadi menutup mata terus, Kakek nggak lagi nge-prank Aira kan?” Aira mengenggam tangan Satya dengan erat. “Kakek sudah ditunggu oleh nenekmu Aira. Sekarang tugas Kakek sudah selesai. Ingat pesan Kakek, cintailah dia yang mencintaimu. Jika sekarang kamu belum mencintai Andri, kakek yakin suatu hari nanti kamu mencintainya,” lirih Satya. Satya terlihat membuka netranya lalu menagap Aira sembari tersenyum. Di saat bersamaan Satya mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. “Kakek, jangan bercanda Kek. Lihat Aira Kakek!” jerit Aira sembari memeluk tubuh Satya. Andri yang mendengar jeritan Aira segera berlari masuk menghampiri istrinya. Aira tergugu sembari memegangi tangan kakeknya. Andri segera memanggil dokter untuk memeriksa keadaan kakeknya. “Maaf Pak, tuan Satya sudah pergi dengan tenang,” jelas dokter. “Innalillahi wainnailaihi rojiun,” lirih semua yang ada di ruangan. Termasuk kedua orangtua Andri. “Tidak, tidak mungkin Kakek pergi. Kalian bohong ‘kan? Kak Andri, kakek masih hidup kan. Jawab Kak!” teriak Aira sembari memegangi kerah jas yang dikenakan oleh Andri, menggenggamnya dengan erat. Menatap netra Andri dengan penuh harap. Andri menarik napas berat, dia menggelang pelan. “Kakek, jangan tingglin Aira Kek. Hanya Kakek yang Aira punya!” kata Aira memeluk erat tubuh Satya. “Aira, sudah!” bisik Andri sembari memegangi tubuh istrinya. . . Satu per satu pelayat meninggalkan makam Satya. Aira masih termenung di depan gundukan tanah basah yang di dalam sana sudah terbaring tubuh kaku sang kakek. “Hah, katanya Kakek akan menemani Aira sampai Aira lulus, menikah dan punya anak. Tapi kakek bohong,” lirih Aira disertai dengan isakan. Andri masih setia memayungi istrinya di bawah teriknya sinar matahari. “Aira, kita pulang ya,” ajak Andri. Aira hanya menggeleng pelan. Ia tak tega meninggalkan kakeknya sendiri. “Lihatlah, sebentar lagi akan turun hujan,” bisik Andri. Melihat Aira yang rapuh membuat Andri semakin tak tega. “Jika aku pergi, kakek akan kehujanan dan kedinginan sendiri, tidak. Aku tidak akan pergi,” ujar Aira. Andri dengan sabar menunggu Aira dari terik panas hingga hujan turun dengan lebat. “Kakek, Aira akan menemani Kakek. Pasti dingin ya Kek,” racau Aira. Aira menggigil karena hujan begitu lebat. “Aira, hujannya semakin lebat. Kita pulang ya?” ajak Andri. Namun Aira masih tak menghiraukan ajakan suaminya, hingga dirinya mulai terlihat limbung kehilangan kesadarannya. “Aira!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN