Lintang Ditemukan

1009 Kata
Kedua mata pria itu membulat sempurna saat mendengar kabar bahwa Lintang meninggalkan ruangan tanpa sepengatahuan siapapun. "VIP kabur?!" pekiknya. Apa lagi ini? Kenapa mendadak wanita itu terus mengusik ketenangan milik Arthur? Tidak bisakah sekali saja membiarkan dirinya tenang sebentar? "Lokasi terakhir, bukankah Nona Lintang masuk ke dalam?" Arthur berujar serak. "Bahkan CCTV memperlihatkan VIP masuk ke kamarnya!" "Benar, ta-tapi saat aku memberi makanan ini dan masuk, Nona sudah tidak ada," terang salah seorang pelayan, gemetar takut. "A-aku tidak tahu Nona pergi ke mana!" "Kamar jendela terbuka, Kapt," ucap bawahan Arthur, mengatakan cara Lintang kabur. "Ada tali yang dibiarkan terurai sampai bawah," tambahnya, melampirkan bukti itu ke hadapan Arthur. "Yang digunakannya kabur pergi dari sini," cicit Arthur. "Kemana sebenarnya Nona Lintang pergi?" bisik pria itu, mengusap dagunya tegang. Tanpa ba-bi-bu, Kapten tim itu langsung segera pergi. mengikuti instingnya, menebak di mana keberadaan sang VIP dengan memusatkan pokus, mengibaratkan jadi Lintang seseorang yang baru saja dikabarkan menghilang. "Bukan kemana Lintang pergi, tapi alasannya pergi. Pikirkan sesuatu, Arthur!" Tekannya pada diri sendiri, cemas, pria itu tak bisa menyia-nyiakan waktu jika tidak ingin hal yang buruk sampai terjadi. Semakin lama Lintang menghilang, akan semakin berbahaya untuknya, nyawa wanita itu mungkin terancam. Apalagi jika hilangnya VIP itu dikarenakan niat jahat seseorang. "Tidak ada yang melihatnya pergi melewati gerbang utama, Kapten. VIP pergi lewat pintu belakang." Bram menjelaskan, wajahnya menegang. "Pintu belakang?" ulang Arthur, menimpali pernyataan rekan setimnya. "Apa yang Nona cari di hutan belantara?" Kediaman Adiwilaga memang unik. Rumah besar bagai istana itu diapit perbukitan, dimana wilayah belakangnya adalah hutan yang tembus langsung lautan lepas. Arthur terdiam untuk beberapa saat, berpikir apa yang kali ini mungkin dipikirkan Lintang. "Apa kita harus mencarinya ke dalam hutan, Kapt?" Bram memastikan sekali lagi, tak salah dengar ucapan yang baru Arthur lontarkan. "Perlu anggota tim tambahan?" "Saya akan masuk untuk cari Nona Lintang. Tim Alfa akan berpencar sesuai instruksi." Ini bukan pertama kalinya Lintang berulah. Akan tetapi, baru kali ini wanita itu pergi tanpa Arthur di sisinya. Membuat pria itu khawatir. Sesuatu pasti terjadi. "Kita harus segera menemukannya sebelum malam. Mengerti?!" Aba-aba Arthur sebelum benar-benar masuk, melakukan pencarian. Tidak pergi dengan tangan kosong, pria itu memilah senjata yang bisa ia gunakan lebih dulu. Bahayanya bukan saja manusia, hewan buas juga bisa ditemui selama mencari Lintang di dalam sana. "Nona!" "Nona Lingtang, anda dengar saya?!" Langkah kaki Arthur terus menyisiri hutan, mengedarkan pandangannya ke setiap sudut. Barangkali bisa menemukan jejak atau petunjuk kecil yang berguna. Earpiece miliknya kembali mengeluarkan suara, tanda bahwa anggota tim pencari mencoba menghubunginya. "Apa sudah ada tanda-tanda Nona Lintang kalian temukan?" "Belum, Kapt. Daerah utara, bersih." Arthur memejamkan matanya, memijat pelipis. Tekanannya semakin besar, apalagi matahari mulai tenggelam. Cuaca akan berubah jadi gelap beberapa saat lagi. Apa Lintang akan baik-baik saja? Bagaimana jika wanita itu gagal ia temukan? "Nona!" "Hiks, hiks!" Gerakan kaki Arthur terhenti, rerumputan kering yang ia injak menimbulkan suara gemerisik. "Saya salah dengar atau memang seperti ada yang menangis, ya?" Di dekati, perlahan tapi pasti Arthur melihat sebuah bayang wanita bergaun di balik pohon rindang. Dekat tebing besar yang mengarah ke lautan. "Nona Lintang?" panggil Arthur, kala tahu siapa yang ia temui diantara gurat senja. Duduk di tebing dengan menyembunyikan tubuh mungilnya, meringkuk gemas. Mengais jejak tanah dengan tangisan kecil. "Kapten! Kenapa lama sekali!" pekik wanita itu, terdengar lega. "Aku menunggumu sejak tadi." "Astaga. Syukurlah! Syukurlah saya bisa melihat anda di sini." Arthur juga mengutarakan kegelisahan hatinya, ikut merapalkan sebuah kalimat syukur. "Bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini?" Lintang bertanya, matanya masih menatap lurus hamparan rumput yang terlihat menyegarkan, sisi lain dari arah barat tebing. Pemandangan cantik itu jadi penyelamatnya sebab tidak harus bersinggungan langsung dengan mata tajam Arthur. Sang kapten mendekat, memposisikan diri di sebelah Lintang. "Yang terpenting, saya di sini sekarang," balasnya, datar. "Anda harus kembali, Nona. Semua orang-" "Bisakah bicara biasa saja denganku, Ar?" sela wanita itu, memotong cepat kalimat Arthur. "Aku sangat tidak nyaman dengan caramu bicara. Begitu formal," kata Lintang, tidak ragu sama sekali. Ia terlihat jengah, sikap terlalu kaku dan formal yang ditunjukkan oleh Arthur begitu menegaskan jarak diantara mereka. Lintang hanya ingin diperlakukan layaknya seorang teman, jika memang pria itu menolak memiliki hubungan yang lebih. Sementara Arthur tidak bisa memberikan apa yang wanita itu pinta. "Bagaimana Nona bisa sampai di sini?" "Panggil aku dengan namaku, Arthur. Apa kamu tidak dengar apa kataku tadi? Kita sedang tidak berada di rumah." "Lantas apa yang membuatmu bisa masuk ke hutan seperti ini?" Kali ini, Arthur mengoreksi kalimatnya dengan baik. "Bagaimana jika terjadi sesuatu. Ini bukan tempat yang bisa didatangi sembarang orang, seorang diri," lanjutnya, khawatir. Jangan tanya bagaimana cara Arthur menatap Lintang, begitu sendu. Matanya sampai berlinang saat membayangkan tidak bisa melihat wanita itu lagi. Persis seperti seseorang yang bahkan rela memberikan segalanya, bahkan berkorban nyawa, demi kebaikan dari wanita yang ia cintai. "Aku yakin kamu bisa menemukanku jika aku menghilang. Lalu apa yang aku khawatirkan?" Lintang bergantung pada Arthur, mengandalkan pria itu dalam segala hal. Entah itu hatinya, hidupnya. Sementara pria yang masih memandang teduh wanita berkulit putih itu tidak mampu berkata-kata. "Tetapi tetap saja-" "Kamu berjanji akan menemukanku, dimana pun. Bahkan di ujung dunia sekali pun, Ar," potong Lintang, tiba-tiba. "Aku berpegang pada ucapanmu. Jadi kali ini mencoba membuktikannya," terangnya, penjelasan tak masuk akal itu hanya dibalas helaan napas panjang dari pria di hadapannya. Senyuman melengkung di wajah indah itu membuat Arthur terpaku beberapa saat. Lintang memiliki wajah yang mungil, namun begitu nyaman dilihat. Bibir ranumnya bergerak, melantunkan melodi dengan intonasi yang lembut. "Terima kasih sudah menemukanku di sini," ucap VIP yang terus menyulitkan Arthur ini, tulus. "Aku mungkin akan bermalam sendirian jika tidak ditemukan." "Apa terjadi sesuatu, Nona?" "Wajahku terlihat sekali sedang bermasalah, ya?" tanya balik Lintang, terkekeh pelan. Memainkan jemarinya saat gugup, menghembuskan napas. Arthur tidak membalas, hanya diam mendengarkan. Ia tahu butuh waktu bagi Lintang mengutarakan apa yang sebenarnya tengah membebani hatinya. "Arthur?" "Ya?" "Kalau aku bilang aku menyukaimu, apa yang akan terjadi diantara kita?" Bersamaan suara hewan nokturnal yang sedang berpesta, pernyataan cinta itu dilontarkan dengan nada tenang oleh Lintang. Wajahnya serius, "Apa aku bisa tetap memiliki perasaan ini padamu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN