Membenci Arthur

1012 Kata
Butuh sepersekian detik bagi Arthur mencerna kalimat tersebut. Baru berujar serak, "Te-tentu saja," jawabnya, dengan nada terputus-putus. "Boleh?" tanya Lintang memastikan, maju mendorong pria itu ke belakang. Arthur mengangguk. Gemas sekali, sangat berbeda dengan aura kapten tim yang nampak menakutkan beberapa waktu yang lalu. Bertemu dengan bola mata indah wanita di hadapannya membuatnya salah tingkah, membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu tidak bernyali saat menatap Lintang, jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari sebelumnya. "Kan Nona yang menyukai saya, sayanya tidak." "Dasar!" Lintang memukul d**a bidang itu, mendorong jauh. "Kenapa ada orang semenyebalkan dirimu, sih?" "Memang saya menyebalkan? Tapi kamu suka!" Arthur membela diri, diam-diam tersenyum tipis sebab berhasil menggoda Lintang dan membuat wajah manis itu seketika merona. Mereka saling diam dan tenggelam pada pikiran masing-masing. Membiarkan diri larut pada kehangatan sore yang terlihat menakjubkan, jauh dari hiruk pikuk dunia. "Kenapa orang seperti Nona menyukai saya?" celetuk Kapten Arthur, tiba-tiba. "Orang sepertiku?" balik bertanya, Lintang melirik pria di sebelahnya. "Hm, orang seperti Nona. Yang punya segalanya, yang sempurna," ucap Arthur, menjelaskan soal sudut pandangnya dalam menilai apa yang dimiliki Lintang. "Kenapa menyukai seseorang yang tidak punya apapun seperti saya?" "Bukankah ini terdengar tidak normal? Tidak ada yang menarik dari saya, Nona." Sementara wanita yang diajaknya bicara melamun sebentar, sedetik kemudian melirihkan jawaban. "Karena mencintai seseorang tidak perlu alasan, Arthur," ujarnya, pelan. Menurut Lintang perasaan suka pada lawan jenis datang tanpa mampu dikontrol. Terjadi begitu saja. Dan, dia tidak bisa menentukan targetnya. Hati yang bertugas melakukan hal itu. "Aku menyukaimu pada setiap versi yang ada. Saat kamu gembira, saat kamu sedih, bersemangat, juga yang biasa saja . Aku suka caramu memandang cara bertahan hidup." "Aku menyukai semua yang ada padamu, Ar. Dan akan aku buktikan bahwa perasaan ini bukan sesuatu yang sederhana dan bertahan sebentar saja, tapi untuk waktu yang lama." Guratan senja perlahan berganti, selaras suksesnya misi Lintang dalam mengatakan apa yang telah lama ia pendam. Bagi wanita itu, mencoba dengan hasil yang tidak pasti jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Ia tidak ingin sampai menyesal, karena mungkin tidak akan memiliki kesempatan sebaik ini di masa depan. Berbeda dengan jalan dan pola pikir Arthur. Menurut pria itu, daripada menimbulkan masalah, lebih baik merahasiakan mengenai perasaannya dan memendamnya dalam-dalam. Dia tidak ingin menyulitkan Lintang. Benar, Arthur juga merasakan hal yang sama. Seperti apa yang dirasakan oleh Lintang, dia juga punya kekaguman yang diam-diam timbul dan perlahan tumbuh diantara tugasnya ini. "Jika saya mengakui ini lebih dulu dari anda, pasti akan sangat mengejutkan bukan?" Arthur mendadak mengatakan itu dengan sudut bibir terangkat. "A-ah, dasar pengecut sekali." "Saya harusnya melakukannya lebih dulu," lanjut pria itu, menimpali kalimatnya. "Padahal sudah bertekad." Lintang terpaku, bibirnya terkatup sempurna. "Me-mengatakannya lebih dulu?" "A-aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan, Kapten. Kenapa kamu ingin mengatakannya lebih dulu. Jangan bilang—" "Saya juga menyukai anda, Nona," potong pria itu, memberi sahutan cepat sebelum Lintang selesai mengatakan kata tanyanya. "Siapa yang tidak tertarik pada orang sebaik anda. Berhati lembut, selalu mementingkan orang lain dan menjaga semua orang dengan baik. Akan tetapi-" "Kenapa harus ada kata tetapi?" Lintang menyahut. "Aku hanya ingin dengar perasaanmu tanpa kekhawatiran lain, Kapten." "Kamu merusaknya dengan menambahkan kata tetapi," sambung wanita itu, menunduk kecewa. Arthur tetap kekeuh menjelaskan alasannya. "Orang seperti kita tidak akan pernah ditakdirkan bersama, Nona. Terlalu banyak perbedaan yang membuat dinding pembatas besar diantara kita." Dinding pembatas. Pria itu, Kapten Arthur, terlalu takut dan menggelari dirinya pengecut sebab tidak mau mengambil resiko besar dengan menjalin hubungan bersama Lintang merasa perbedaan diantara keduanya terlalu kentara berakhir membuat batasan. Bukan tidak beralasan, ia tidak ingin Lintang sampai harus terjebak bersama dengan orang seperti dirinya. Di dunia ini, sosok sesempurna wanita itu pasti ditakdirkan bersama orang hebat. Yang bukan Arthur. "Dari tadi kamu selalu menyinggung tentang orang sepertiku dan orang sepertimu, seakan kita tidaklah sama. Apa yang membuatmu bisa sampai berpikir demikian?" tanya gadis itu. "Tuhan saja tidak membeda-bedakan umat-Nya, sejak awal itu hanya bentuk kekhawatiranmu saja," lanjutnya. "Lagipula, perasaan menyukai orang lain bukan sebuah dosa, benarkan Kapten?" Lintang meraih tangan Arthur, menuntutnya memberi jawaban yang masuk akal. "Tolong beri aku pernyataan lain. Yang jujur, yang berasal dari hatimu." Kenapa mereka harus dipaksa menyerah atas hubungan ini hanya karena perbedaan status gelar keluarga Lintang yang terlalu tinggi untuk disentuh Arthur alih-alih memperjuangkannya sekali saja? Arthur menggunakan tangan yang lain untuk menyingkirkan genggaman tangan Lintang dari sisinya. "Sudah saya bilang, Nona, ini tidak akan berhasil." "Maaf, maafkan saya." "Kamu menolakku?" Lintang memastikan sekali lagi. "Saya hanya tidak ingin Nona menghabiskan waktu yang berharga dengan melakukan hal yang sia-sia ini, terlibat bersama orang yang—" "Aku tidak mau dengar!" sanggah wanita itu, "Jika kata-kata yang akan kamu lontarkan hanya berupa kalimat merendahkan diri, aku menolak untuk mendengarnya!" tegas sosok tersebut. Mata Lintang merah, berlinang. Terlihat menyedihkan melihatnya menahan tangis seperti itu. Tetapi apa yang bisa Arthur perbuat? Menarik ucapannya? Memeluknya? Jelas tidak! Tidak sama sekali. Pria itu tidak punya pilihan lain selain memberi penolakan lebih awal. Daripada hubungan ini terus berlanjut dan justru akan berakhir saling menyakiti satu sama lain nantinya, Arthur memilih tidak meneruskannya. *** "Aku ingin tinggal di sini saja. Aku tidak mau pulang!" Lintang terus berceloteh asal, mengalungkan tangannya lebih erat pada Arthur. Kedua kakinya yang lecet akibat alang-alang dan rumput hutan membuat Lintang tidak mampu berjalan, mau tidak mau dibantu berjalan, digendong Arthur kembali pulang. "Tadi katanya takut gelap," sahut pria yang terlihat nyaman menggendong wanita mungil di pundaknya itu, berbisik lembut sekali. "Jangan bicara padaku!" tegas Lintang, sebal. Serba salah. Arthur tidak tahu harus dengan cara apa ia bisa mengembalikan mood wanita yang jadi tanggung jawabnya ini. "Aku sangat membencimu, Ar. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah melupakan tentang hari ini, hari dimana kamu menolakku!" "Aku akan terus ingat! Pokoknya, aku akan terus mengingatkan kejahatanmu padaku. Aku tidak akan pernah memaafkanmu, tidak akan mengampunimu!" Kata-kata yang terlontar dari bibir Lintang membuat hati Arthur pilu, sesak mendengarnya. Andai ia punya pilihan. Andai Yasmin tidak memberinya ancaman. Pasti hari ini akan berakhir berbeda, bukan? Pasti pernyataan cinta Lintang akan dibalas dengan jawaban menyenangkan yang membuat keduanya bersatu, jadi sepasang kekasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN