Berdamai

1341 Kata
Keberanian bisa muncul kapan saja, bahkan saat dirinya merasa terancam akan keadaan. Aina menekankan dalam hatinya untuk berani. Ia tak boleh lemah mengenai hal ini. Aina menatap Mbok dan si kembar dengan tatapan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. "Siapa?" "Ya kita gak tahu, Ai. Pokoknya seseorang!" "Kira-kira siapa yang sudah berani mengganggu ketenangan aku ya, Kak?" "Boleh gak sih kalau aku marah? Marah karena kehadirannya itu justru membuat hidupnya terasa seperti terancam?" "Haaahh … kenapa semua ini selalu terjadi padaku ya, Kak? Kok aku merasa seperti kebahagiaan itu jauh sekali dari hidupku dan mungkin memang Allah tak ingin aku bahagia?" "Nyonya, jangan bicara seperti itu," tegur Mbok. "Lalu, aku harus bicara seperti apa dan bagaimana, Mbok? Memang kenyataannya seperti itu, bukan?" "Tidak, Nyonya. Ini hanya secuil masalah dari masalah besar lainnya. Allah itu baik, jika memberikan sebuah ujian, itu artinya sedang mempersiapkan sesuatu yang indah untuk, Nyonya." "Mbok benar, Ai. Kamu gak boleh terlalu beranggapan bahwa Allah tak suka melihat kamu bahagia. Allah itu selalu ingin kebahagiaan untuk hambanya, hanya saja mungkin berbeda-beda waktunya." "Allah menguji seseorang tidak diluar batas kemampuan seseorang itu, kok. Jika Allah memberikan ujian, itu artinya percaya bahwa kamu bisa melewati semua ini." "Hei, kamu itu adalah wanita yang luar biasa sangat tegar! Mental kamu sudah kuat dan terbentuk kokoh dengan kejadian di masa lalu. Jadi, kenapa kau terlalu mengkhawatirkan sesuatu hal sekarang?" "Ah, aku hanya takut, Kak." "Akan ada pelangi setelah badai yang datang. Percayalah," ucap Ama tersenyum. Ai mengangguk dan membalas senyum tulus itu. Semua yang dikatakan oleh Mbok dan Ama itu benar, tapi bukankah hal yang wajar jika Ai tetap merasa bahwa keadaan seakan tak menginginkannya bahagia? Sebab, ya bagaimana lagi? Baru merasa bahagia tapi sudah ada saja masalah yang datang menghampiri. *** Mobil Mimi memasuki pekarangan, ia melihat ada seseorang dengan jaket kebesaran dan memakai kupluk berjalan cepat keluar dari tempat persembunyiannya. Mimi mempercepat laju mobilnya, lalu keluar dan berteriak, "Woi! Siapa itu!" "Kak Mimi? Ada apa itu, Kak?" tanya Ai khawatir saat mendengar teriakannya. "Mbok! Tolong jaga Ai! Kunci pintunya!" Ama memberikan perintah pada Mbok. Ia melangkah keluar rumah dan menghampiri Mimi yang sedang mengejar sesuatu tapi tak dapat. "Kak? Ada apa? Kenapa teriak-teriak?" "Ama, apa semua baik-baik saja?" "Kenapa memangnya?" "Aku melihat ada seseorang yang keluar dari sini! Tapi gila cepet banget larinya." "Cewek atau cowok?" "Gak tahu, tutup rapat seluruh tubuhnya itu. Aku sama sekali tak bisa melihat walaupun hanya dari perawakannya saja." "Ya sudah, ayo kita masuk. Bicara di dalam. Ada hal penting yang Ama mau sampaikan." Mereka berdua masuk ke dalam rumah, tak lupa mengunci pintu dan memastikan juga semua aman. Mereka ini antara waspada dan parno beda sedikit, ya bagaimana lagi? Mereka dulu juga ikut merasakan apa yang dirasakan Ai saat menghadapi pelakor. "Tadi memang ada penyusup," ucap Ama tiba-tiba saat mereka baru saja mendaratkan bokongnya di atas sofa. "Hah? Penyusup? Kok bisa? Jangan mengada-ngada, Ama!" "Sumpah, Kak! Demi Allah, Ama gak bohong. Jadi, ceritanya begini …." Belajar dari sebuah pengalaman hingga membuat insting mereka berjalan dengan cepat. Ketika merasa ada sebuah kecurigaan yang terdengar di telinga, langsung mengambil tindakan. Sama seperti saat ini, mendengar ada sesuatu yang mencurigakan membuat Ama dan Mbok sigap memindahkan Ai. Dan, entah itu pikiran dari mana tiba-tiba terlintas ide gila untuk mencampur bubuk cabai dengan air. Dalam pikiran mereka, air campur bubuk cabai itu akan membantu apalagi jika tersiram ke wajah dan itu akan membuat mereka bisa gerak untuk memergoki tapi sayangnya seseorang itu terlalu gesit untuk berpindah tempat. Situasi tersebut langsung terbaca cepat olehnya sehingga secepat kilat langsung pergi menghilang. Padahal, Ama dan Mbok sudah siap untuk menyergap. Mereka berdua sudah membawa pentungan dan lain sebagainya untuk memukul. Kecewa? Pasti, tapi setidaknya mereka sudah berhasil membuat seseorang itu kepanasan karena ulah mereka. "Bagus! Kalian cepat tanggap! Berarti aku gak bisa meninggalkan kalian begitu saja kalau begini," ucap Mimi. "Tapi, Kak. Jika ada kakak di rumah, belum tentu juga dia datang dan berulah seperti tadi. Ah, sialnya dia bersembunyi entah dimana! Padahal, aku sudah siap-siap bawa pentungan dan stik golfnya Angga, loh." "Kita perlu perketat penjagaan gak sih, Kak?" "Sepertinya belum perlu, Ama. Kita yang menjaga juga cukup kok, hanya kita harus tersusun rapi sekarang untuk menjaga, Tata." "Maksudnya, Kak?" "Kita belum perlu orang lain, karena memang kita juga masih sanggup. Maka dari itu, kita harus mengubah cara penjagaan." "Oh begitu. Ya sudah, nanti kita bahas sama Angga aja, Kak." "Iya, sekarang lebih baik kita istirahat." Mereka kembali berkumpul dalam satu kamar, semua ini karena untuk kebaikan bersama. Agar si kembar juga lebih fokus menjaga Aina. *** "Ini foto dan namanya. Aku tak mau tahu, kau harus bisa membuat hatinya luluh!" ucap seseorang. "Mudah saja, tapi bayarannya gimana?" "Kerja saja belum! Sudah memikirkan bayaran! Memang kau ingin bayaran berapa? Aku bisa membayar berapapun asal kau bisa membuatnya benar-benar luluh padaku!" "Baik. Dalam dua hari kau akan mendapatkan efek dari yang aku kerjakan. Bayar saja dulu uang mukanya." "Nih, cukup?" tanya seseorang menyodorkan beberapa gepok uang warna merah. "Lebih dari cukup! Senang sekali bekerja sama denganmu." "Hm. Aku pergi dan tolong segera kerjakan semuanya." "Beres!" *** Angga sedang duduk santai di kantin, rasa kantuk menyerang diri. Ia baru saja selesai sarapan dan saat ini sedang minum kopi hangat. Sabrina menatap Angga dari kejauhan, ingin rasanya ia berdamai dengan lelaki itu tapi ragu terus menyergap jiwa. Ia tak ingin mempunyai musuh maka dari itu berharap sekali bisa berdamai dengan Angga dan Aina. Entah, ia baru saja kesurupan setan mana sehingga berniat untuk berdamai. Menurutnya, lebih baik berdamai daripada harus saling menghina dan memaki seperti sebelum-sebelumnya. Ia juga khawatir jika sampai belum sempat untuk minta maaf dan ternyata ajal lebih dulu menjemput. "Angga," sapanya. "Ngapain kamu kesini? Pergi sana! Aku gak mau ya pagi ini berantakan karena melihat wajahmu!" sergahnya. "Tenang, Ngga. Aku gak ada niat buruk, kok," jawabnya tenang. Angga menatap heran wanita di hadapannya itu, menaikkan satu alis karena memang merasa bingung dengan perubahannya. Merasa ada yang aneh, ia memajukan wajahnya menatap lekat wanita itu. Sabrina yang di tatap begitu lekat membuat hatinya, bertalu-talu layaknya musik jedag-jedug. "Kamu ngapain sih, Ngga?" "Kamu habis darimana, sih? Kesurupan?" "Ya Allah! Gak, Ngga! Aku benar-benar ingin kita berdamai dengan masa lalu. Aku merasa terlalu banyak salah padamu di masa lalu. Maka dari itu menjaga berdamai, lagi pula mau sampai kapan sih Ngga kita macam musuh seperti ini? Apa salah jika menempuh jalan damai?" "Hm … bagaimana ya," ucap Angga ragu sambil memainkan jarinya di atas meja. "Ayolah, Ngga. Aku lelah terus seperti ini. Aku ingin kita sama-sama berdamai dengan masa lalu dan hidup dengan tenang bersama pasangan masing-masing." "Kamu yakin? Gak akan mengganggu aku lagi?" "Yakin. Bahkan, aku ingin sekali berkenalan dengan istrimu. Maaf jika beberapa waktu lalu aku tak menerima uluran tangan darinya. Aku masih merasa terkejut karena mendengar kau sudah menikah." "Untuk apa? Gak usah! Yang ada nanti ribet. Dan, sudahlah jangan diingat lagi, yang lalu biarkan berlalu." "Iya, Ngga. Tapi karena kita 'kan sudah berdamai, lebih baik saling mengenal satu sama lainnya agar tidak ada salah paham lagi dikemudian hari. Kesalahpahaman beberapa waktu yang lalu cukup jadi pelajaran berharga untuk kita agar tidak terulang lagi di suatu hari dalam masalah yang sama." "Baiklah kalau begitu. Nanti akan kusampaikan pada Aina kalau kamu ingin berdamai bersama kami." "Alhamdulillah, itu artinya kamu sudah mau bersedia damai denganku?" "Hm." "Makasih, Ngga. Ah iya, ini aku buatkan kalian kue. Cobain ya," ucap Sabrina menyodorkan satu kotak brownies. Angga menatap kotak tersebut bergantian dengan menatap Sabrina. Ia ragu namun aroma yang menguar dari kotak kue tersebut membuatnya ingin mencoba. Ia yakin, rasanya masih tetap sama. "Tenang saja, tidak ada racun di dalamnya," seloroh Sabrina membuat Angga jadi tak enak hati. "Makasih ya." "Iya sama-sama. Aku pergi dulu ya, dan kabarin kalau Aina mau berdamai denganku. Bye," ucapnya melambaikan tangan dan melenggang pergi. Angga hanya mengangguk lalu kembali menatap brownies di hadapannya, ia tergoda juga dengan aroma harum dari brownies tersebut dan langsung mencobanya. "Rasanya masih sama dan tak tergantikan. Ini adalah rasa yang tak pernah sama dengan yang dibuat oleh orang lain," gumamnya memuji brownies buatan Sabrina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN