Cinta itu memang sangat luar biasa. Ia mampu merasakan apa yang sedang dirasakan oleh pasangannya. Aina seakan merasakan bahwa posisi Angga saat ini sedang terancam, ia juga merasa bahwa rumah tangganya akan mulai menghadapi ujian hebat.
"Mas Angga!!" teriaknya.
Teriakan Ai terdengar sangat menggelegar membuat si kembar terkejut dan berlari menuju kamar. Mereka berdua melihat Ai sedang terduduk di atas ranjang dan wajahnya penuh dengan keringat.
"Ai ada apa?"
"Kak, Angga mana?"
"Belum pulang, mungkin macet. Sabar ya, sebentar lagi pasti sampai rumah," ucap Ama menenangkan.
"Kamu kenapa? Kok mendadak pucat begini? Terus kamu tidur kok kayak orang mandi sih, Ai?" tanya Mimi mengintrogasi.
"Ai mimpi buruk, Kak. Ai takut banget, takut kalau ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi," jawab Ai dengan bibir bergetar.
"Hei, tenang! Semua pasti akan baik-baik saja, kamu ini kenapa? Ayo cerita!" tuntut Mimi.
Ai menceritakan apa yang sudah terjadi di dalam mimpinya itu. Ia pokoknya merasakan ketakutan yang sangat luar biasa hingga tak mampu lagi kudu harus berpikir positif yang seperti apa lagi. Sejujurnya, ia tak ingin mempunyai pikiran-pikiran buruk, tapi entah kenapa semua pikiran buruk itu seakan-akan didukung oleh sebuah kejadian-kejadian atau mimpi-mimpi yang tak mengenakkan.
Ia hanya ingin mengetahui siapa gerangan yang ada di dalam mimpinya itu. Ai sama sekali tak bisa mengenalinya sebab, sosok itu memakai pakaian yang kebesaran dan juga memakai penutup kepala. Sepertinya memang sosok itu sudah sangat prepare akan segala sesuatunya. Tapi, Ai seakan mengenal dan tahu sosok itu walaupun ia sendiri sedikit tak yakin.
Hatinya tak tenang dan khawatir dengan suaminya, ia seakan mendapat bayangan bahwa akan terjadi sesuatu pada suaminya dan itu tak boleh terjadi. Jika ini berkaitan dengan suaminya maka ia akan berdiri paling depan untuk menjaga dan menjadi tameng. Ia memang terlihat lemah, namun dengan berjalannya waktu berusaha untuk tidak lemah dan kuat karena keadaan.
"Sudah Ai, tenang. Itu hanya bunga tidur saja, insya Allah tidak akan terjadi sesuatu pada kalian," ucap Ama menenangkan.
"Ai juga pengennya gitu, Kak. Gak mikirin setiap kali punya pikiran buruk apalagi didukung sama mimpi-mimpi buruk juga tapi entah kenapa ada rasa takut yang sangat luar biasa, disini," ucapnya menekan d**a.
"Tenang, semua itu wajar. Refleks karena perasaan manusia, tapi lebih baik tak usah berlarut-larut. Tak baik juga selalu memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Semua itu akan membuat pikiran kamu semakin kacau dan kondisi kesehatan kamu semakin menurun," jawab Mimi menenangkan.
"Kak Mimi benar, Ai. Kamu gak bisa begini terus. Perlahan deh, buang semua pikiran buruk itu. Walaupun memang terpikir, buat semuanya masa bodo saja! Gak baik terus-terusan dipikirkan, kasihan badan kamu, kasihan adik bayi juga," ucap Ama.
"Ayo, Sayang. Jangan bersikap egois seakan-akan kamu hanya hidup sendirian tanpa memikirkan calon bayi yang ada di dalam perut kamu. Semakin kamu memikirkan maka kondisi kesehatan kamu semakin menurun, susah makan, pusing, mual berlebihan dan itu akan mempengaruhi perkembangan calon bayi," lanjut Ama.
"Bukan, Kak. Ai bukan maksud egois, tapi--"
Ucapannya terpotong saat mendengar suara deru mobil memasuki pekarangan rumahnya. Si kembar tersenyum menatap Aina, kecurigaan dan kekhawatirannya ternyata hanya sebatas itu saja. Buktinya, tidak terjadi sesuatu pada Angga dan saat ini justru lelaki itu sudah kembali lalu melangkah pasti menuju kamar.
"Kekhawatiran kamu tidak beralasan dan Angga menjawab semuanya dengan kehadiran dalam keadaan baik-baik saja,* ucap Mimi tersenyum hangat.
"Assalamualaikum, loh ada apa ini? Kok pada ngumpul?"
"Amih, kamu kenapa?" tanyanya menatap sang istri. Ai hanya menggelengkan kepala lemah.
Angga beralih menoleh pada si kembar menanyakan sesuatu melalui bahasa isyarat mata. Mimi hanya membalasnya dengan senyum saja, itu artinya Angga tak perlu khawatir. Angga langsung memasang infus di tangan Ai, ini semua kulakukan demi kesehatan anak dan istrinya.
"Alhamdulillah, semoga dengan cara ini kesehatan kamu semakin membaik ya, Sayang."
"Aamiin."
"Ya sudah, kalau begitu aku pamit berangkat kerja ya, Mih."
"Tapi, Pih--" tatapan Ai bertemu dengan si kembar, mereka menggeleng lemah, memberi isyarat jangan melarang.
"Tapi kenapa, Sayang? Ada apa lagi?"
"Gak pa-pa. Hati-hati berangkatnya ya."
"Iya, Sayang."
"Kembar, titip Aina ya."
"Siap!" ucap mereka berdua.
Angga mengambil barang-barang yang akan diperlukannya lalu mengecup lembut kening istrinya dan perut yang masih rata lalu melenggang pergi. Keduanya benar-benar sangat amat saling mencintai, sehingga sepakat untuk tidak saling menceritakan apa yang sudah terjadi. Itu semua semata-mata dilakukan agar tak menimbulkan kecemasan yang luar biasa.
***
Satu jam berlalu, si kembar masuk kembali ke dalam kamar utama untuk melihat keadaan Ai dan meminta izin untuk keluar sebentar cari cemilan dan pulang ke rumah mengambil beberapa berkas yang tertinggal. Tapi, saat mereka berdua membuat pintu kamar, Ai sedang tertidur dengan pulas-nya.
"Ai tidur, Kak."
"Iya, gimana ini? Gak mungkin juga kalau kita bangunin dan lebih gak mungkin kalau kita pergi gak pamit."
"Hm … atau begini saja, Kak. Ama tetap disini bersama Mbok dan Ai, lalu kakak pergi sendiri pulang ke rumahnya."
"Duh, aku di jalannya sendirian dong?"
"Ya bagaimana lagi dong, Kak?"
"Atau, kakak besok saja ambil berkasnya sekalian berangkat kerja."
"Takut telat dan malah terburu-buru nantinya, Ama."
"Ya terus gimana dong, sekarang?"
"Ya sudah, aku pulang sendirian saja. Kamu disini jaga Ai sama Mbok. Gak pa-pa, 'kan?"
"Gak pa-pa, Kak. Aman!"
"Ya sudah, aku pamit pulang dulu. Kunci semua pintu dan jendela!" perintahnya. Ama mengangguk paham dengan perintah sang kakak.
Mimi melenggang pergi meninggalkan rumah tersebut, seseorang dari jauh sudah menunggu waktu itu tiba. Ia tersenyum sinis saat melihat mobil Angga dan si kembar pergi. Ia berpikir, di dalam hanya ada Mbok dan Ai, namun salah di dalam rumah ada Ama yang ikut berjaga.
Ama dan Mbok duduk santai diruang keluarga, telinga gadis itu seakan mendengar sesuatu yang mendekat. Suaranya terdengar sangat jelas sekali, ia yakin ada suara langkah kaki yang mendekat ke arah jendela di ruang tamu. Ama dan Mbok saling menatap, rupanya Mbok juga mendengar suara langkah kaki.
Mereka berdua bergegas berdiri dan berjalan dengan cepat menuju kamar Ai. Tanpa ba bi bu, keduanya bekerja sama untuk menggendong tubuh Ai, namun sebelumnya Mbok lebih dulu mengunci rapat jendela kamar, Ai. Mereka menggendong Ai ke salah satu kamar yang lainnya.
"Loh ini ada apa, Kak? Kenapa Ai di gendong? Berat kak, turunkan!"
"Gak pa-pa, sebentar lagi, sampai," jawab Ama dengan ngos-ngosan.
Sesampainya di kamar yang lain, Mbok dan Ama segera merebahkannya kembali. Mbok berjalan ke arah jendela dan memastikan jendela di ruangan kamar tersebut aman dan tak ada masalah.
"Ada apa?" tanya Ai bertanya pada Ama.
Ama langsung mengangkat jarinya dan menempelkan di bibir, menandakan Aina harus diam tak bersuara. Ama dan Mbok berjalan menuju kamar utama. Ditangan Mbok sudah membawa sebuah gayung berisi air dan siap menyiram apabila ada hal-hal yang tidak diinginkan.
Benar saja jendela kamar pintu utama seperti ada yang berusaha untuk membukanya. Ama dan Mbok bersiap-siap untuk menyiram, setelah pintu jendela terbuka. Mbok langsung menyiramkan air dalam gayung yang ternyata sudah dicampur dengan bubuk cabai. Seseorang itu berteriak histeris karena perih dan panas di wajahnya. Sigap, Ama langsung menutup kembali jendela tersebut dan menguncinya.
Mereka berdua ber-tos ria, lalu berjalan ke ruang tamu mengambil stik golf punya Angga, berjalan mengendap-ngendap keluar rumah untuk memergoki siapa gerangan yang berani datang seperti tadi. Namun sayang, saat mereka berdua menghampiri, sosok itu sudah lebih dulu menghilang dan pergi.
Padahal, sosok itu tak benar-benar pergi. Ia bersembunyi di dekat pohon besar. Tubuhnya tak terlihat karena dalam keadaan malam hari, ia masih mencoba membersihkan wajahnya yang panas dengan baju setelah itu akan keluar dari persembunyiannya saat Ama dan Mbok masuk kembali ke dalam rumah.
"Kalian dari mana? Ada apa?" tanya Ai saat Mbok dan Ama masuk ke dalam kamarnya.
"Habis menyiram hama. Iya 'kan, Mbok?"
"Iya benar, Non Ama."
"Hama? Yang benar saja! Mana mungkin ada hama malam-malam seperti ini, Kak!" sungut Ai.
"Ye gak percaya, yaudah gak pa-pa. Memang kenyataannya kita baru saja mengusir hama, kok," jawab Ama acuh.
"Mbokkk," ucap Ai.
"Yang dikatakan Non Ama benar, Nyonya. Kami baru saja mengusir hama yang berniat jahat pada keluarga ini."
"Hah? Tapi siapa?"
"Seseorang itu."
"Siapa, Mbok?"