Bertutur katalah yang baik agar tak menyakiti hati siapapun. Jika seseorang terluka akibat tutur kata kita yang salah, maka ia akan selalu mengingatnya sepanjang waktu. Aina selalu berusaha untuk menjaga lisan agar tidak menyakiti orang lain. Bahaya jika seseorang merasakan sakit karena sebuah lisan yang tak bisa kita jaga.
"Nyonya, sarapan Tuan sudah Mbok hidangkan," ucap Mbok saat melihat Ai berjalan menghampirinya.
"Bereskan kembali saja, Mbok. Mas Angga sudah sarapan diluar," jawabnya.
"Loh? Tumben sekali?"
"Iya, tadi katanya ban mobilnya pecah jadi terpaksa sarapan sambil menunggu beres."
"Oh ya sudah. Nah bener 'kan kata Mbok, Tuan pasti baik-baik, saja. Nyonya jangan berpikir berlebihan," ucap Mbok.
"Tapi ada yang aneh, Mbok."
"Aneh gimana, Nyonya?"
"Ada aroma parfume di kemejanya."
"Masa iya? Mungkin itu parfume salah satu orang tua pasien yang gak sengaja berpapasan, Nyonya."
"Apa mungkin, Mbok?"
"Ya mungkin saja. Sudah, ah jangan terlalu banyak memikirkan hal yang tidak baik."
"Iya, Mbok."
***
Hari ini Angga lepas dinas dan menghabiskan waktunya di rumah. Tapi, ia seakan enggan keluar kamar karena masih merasa marah sama istrinya itu. Ia menghabiskan waktu sepanjang hari dengan tidur dan memainkan ponselnya. Ai merasa ada yang aneh dengan sikap suaminya itu. Sikapnya sungguh tak seperti biasanya namun ia enggan menegur karena khawatir kena marah lagi seperti tadi pagi.
"Angga, kamu lagi apa?"
"Eh, Sabrina. Loh nomor kamu masih yang lama?"
"Iya, aku ganggu, gak?"
"Gak, kok. Ada apa?"
"Kamu hari ini dinas apa?"
"Aku lepas dinas, Sab. Kenapa? Rindu ya? Hehe."
"Kok tahu? Tapi, aku gak berani rindu karena kamu sudah menjadi milik orang lain."
"Ah, Sab, andai saja dulu kau tak menyakitiku. Mungkin, hingga saat ini kita berdua masih hidup bersama."
Angga mulai berandai-andai, benar-benar otaknya sudah dipenuhi oleh nama Sabrina. Ia seperti merasakan tergila-gila pada wanita itu, sampai bingung harus menahannya seperti apa dan bagaimana.
"Yang lalu, biarkan berlalu, Angga. Kita masih bisa menjalani semuanya kembali kok."
"Bagaimana bisa?"
"Jika kamu, menginginkan aku menjadi istri keduamu. Aku tidak akan mempermasalahkannya."
Gila! Mana mungkin aku mendua dan beristri dua! Apa tanggapan Mami dan Papi? Bisa-bisa aku di coret dari daftar waris mereka! Lagi pula, aku tak pernah berpikir untuk mempunyai istri dua. Istri satu saja sudah bikin pusing kepala, ini apalagi menawarkan jadi istri kedua. Tidak! Aku tidak akan pernah berpikir untuk ke sana, ucapnya dalam hati.
"Angga? Kok diam? Kenapa pesanku tak dibalas lagi? Maaf ya kalau ucapan aku lancang."
Ah sudahlah, jangan dilanjutkan chat-nya. Gak akan beres! Aku lapar sekali. Cari Aina, aaahhh, gumamnya.
Angga beringsut turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur mencari dimana gerangan istrinya itu. Ternyata Ai sedang duduk manis ngemil buah.
"Mih," panggilnya.
"Iya, Pih? Lapar ya?"
"Huum. Mau makan, hidangkan ya."
"Iya, Sayang. Bentar ya."
Ai bergegas menghidangkan makan untuk suaminya itu. Dalam hatinya ia merasa senang sekali karena sikap Angga sudah kembali seperti semula.
***
Di sebuah ruangan yang temaram, ada dua orang yang sedang duduk berhadapan. Keduanya saling menatap satu sama lainnya, sibuk dengan pikiran masing-masing dan belum ada yang memulai pembicaraan.
"Bagaimana sudah sampai mana tugas yang aku berikan?" tanya seseorang yang berbadan sedikit berisi itu.
"Ya kamu saja sudah merasakan belum perubahannya? Aku masih memberi bumbu-bumbunya, tapi kurasa efeknya sudah mulai bekerja," ucap seseorang kurus itu.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Wajahmu!"
"Hah? Kenapa dengan wajahku?"
"Tak bisa dibohongi."
"Aku perhatikan, wajahmu semakin hari semakin berseri-seri saja. Sepertinya, perlahan kau mulai masuk kembali padanya?" ucap seseorang berbadan kurus dengan mengedipkan mata.
"Hahaha, bisa saja kamu. Ya masih wajar saja, sih. Belum terlalu intens, aku sangat berhati-hati untuk masuk kembali sebab tak semudah, dulu. Sekarang, banyak sekali penghalangnya," jawabnya.
"Halah, penghalang segitu doang kamu takut? Payah! Padahal, kamu bisa berbuat lebih dari itu! Dan didukung dengan kerjaku, pasti akan mudah membuatnya masuk ke dalam genggaman tanganmu!!"
"Keras-kan lagi kerja kerasmu agar secepatnya ia masuk ke dalam genggaman tanganku!"
"Kau tahu? Rasanya, aku sudah tak sabar sekali bisa kembali bersamanya. Bercerita banyak, memeluk tubuhnya, menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya. Hm, rasanya seperti candu sekali jika sudah bertemu dengannya dan menghirup aroma tubuh."
"Gila, kamu!"
"Bahkan aku sudah tergila-gila padanya sejak, dulu. Tapi, ada seseorang yang menjadi pengacau dan membuat semuanya menjadi runyam!"
"Kalau begitu, tunggu apalagi? Rebut semua yang seharusnya menjadi milikmu!! Jangan mau kalah pada, dia. Kurasa, ia tak ada apa-apanya jika dibandingkan denganmu!"
"Pasti! Memang tak bisa dibandingkan! Sangat jauh sekali jika ada yang ingin membandingkan! Aku lebih segalanya!
"Ini yang aku suka darimu. Tingkat percaya dirimu itu tinggi sekali sehingga membuat aura kamu itu semakin berkobar. Aku tak sabar melihat kamu menggenggamnya.'
"Tenang, sebentar lagi. Ya, sebentar lagi aku akan merebut semua yang seharusnya menjadi milikku!!" ucap seseorang tubuh berisi itu dengan sorot mata yang berkobar.
***
Kehamilan Ai sudah masuk usia kandungan tiga bulan, perut yang sebelumnya rata sudah mulai memperlihatkan jati dirinya. Ia merasa bahagia sekali dengan kehidupannya itu. Semakin bertambah usia kandungannya, ia semakin menikmati masa-masa menjadi ibu hamil.
Semenjak Angga tak mau menuruti beberapa keinginannya dengan alasan itu hanya keinginan dia bukan adik bayi membuatnya tak lagi menginginkan sesuatu dan jika benar-benar menginginkan sesuatu, pasti akan mencarinya sendiri atau meminta Mbok yang mencari.
Sikap Angga itu membuatnya sangat bingung, kadang baik benar-benar baik, perhatian dan sangat mencintai tapi terkadang uring-uringan dan marah-marah gak jelas. Jika sudah bersikap seperti itu, maka Ai harus pintar-pintar menata hati dan menekan dadanya agar tak sakit karena mendengar kata-kata menyakitkan dari mulut Angga.
Sore ini, sepulangnya si kembar dari kantor mereka akan pergi berbelanja bulanan. Angga tak bisa ikut menemani karena katanya harus lembur menggantikan temannya itu. Ai dan Mbok sudah bersiap-siap dari tadi, jadi ketika kembar datang mereka akan langsung menuju supermarket terdekat.
Lima belas menit berlalu, si kembar datang, Ai dan Mbok bergegas keluar rumah dan tak lupa mengunci pintu. Mereka berangkat menuju supermarket terdekat, setengah jam berlalu akhirnya sampai juga di salah satu supermarket terdekat. Mbok, Ai dan Ama turun terlebih dahulu dan membiarkan Mimi mencari tempat parkir.
Ama seperti melihat seseorang yang dikenalnya di masa lalu. Dari perawakannya terlihat sangat jelas sekali, ia benar-benar mengenalnya. Dia, adalah Vian-mantan suami Ai- namun ia tak ingin membuat Ai menjadi gelisah jadi tak memberitahu apa yang sudah dilihat olehnya. Mereka melangkah masuk mulai memilih barang-barang sambil menunggu Mimi menyusul.
Saat itu, Ai memisahkan diri dari yang lain karena ia merasa ingin membeli beberapa cemilan. Namun, matanya melebar saat melihat sosok yang sangat dikenalnya. Memang terlihat dari jauh, tapi hatinya tak pernah salah. Ia melihat suaminya bersama seorang wanita yang tak terlihat jelas.
Tertawa dan bercanda bersama. Dadanya tiba-tiba sesak, lututnya terasa lemas. Perlahan ia mencubit pipinya, berharap ini semua hanya mimpi tapi kenapa rasanya sakit? Itu artinya, saat ini dia tidak sedang bermimpi. Rasa sakitnya sama seperti dulu melihat Vian b******u dengan seseorang tepat di hadapannya.
Ya Allah … sakit sekali! Kenapa kejadian ini harus terulang lagi? Semoga itu hanya mirip dan bukan Mas Angga, gumam Ai menenangkan hatinya.
Seseorang yang mirip dengan suaminya itu menarik pinggang wanita itu dengan sangat posesif dan mereka berjalan menjauhi, Ai. Sedangkan wanita hamil itu masih menata hati karena terkejut dan mulai menguatkan diri. Lalu, berjalan dengan terburu-buru ingin memastikan apakah itu benar-benar suaminya atau bukan.
Brakkk.
Sedang terburu-buru, pandangan matanya fokus pada pria yang mirip suaminya sehingga ia tak menyadari bahwa menabrak seseorang sampai membuat semua barang seseorang itu berantakan.
"Kalau jalan lihat pakai mata dong, Mbak!" sungut seseorang itu.
Deg.
Detak jantung Ai berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia merasa sangat mengenali suara itu, suara seseorang yang pernah singgah di hati dan kehidupannya di masa yang lalu. Perlahan, Ai menunduk dan ingin memastikan apakah suara itu benar-benar milik seseorang di masa lalunya.
"Mas Vian," gumamnya membuat lelaki itu mengangkat wajahnya.
"Aina!" pekiknya.
Keduanya sama-sama terkejut dan tidak menyangka akan bertemu di tempat ini. Vian bergegas membereskan barang-barangnya yang masih berantakan. Ai mencoba membantunya namun Vian menepis tangan Ai lembut.
"Tak usah, Ai. Aku bisa sendiri."
"Ma-maaf, Mas. Maaf, Ai tak melihat sampai-sampai nabrak Mas Vian."
"Iya gak pa-pa, santai saja. Lain kali hati-hati ya kalau jalan, kamu masih sama saja seperti dulu, ceroboh!"
"Maaf, Mas."
"Ya gak pa-pa. Sudah aku maafkan. Sudah, jangan minta maaf terus, kita tidak sedang lagi lebaran."
"Iya, Mas."
"Kamu, gimana kabarnya?" tanya Vian mengulurkan tangannya. Ai menatap uluran tangan itu, dengan ragu ia menyambutnya.
"Baik, Mas. Kalau Mas Vian sendiri gimana kabarnya?"
"Ya seperti sekarang ini. Kamu bisa lihat sendiri," ucapnya terkekeh.
Ai mulai memperhatikan mantan suaminya itu dari atas hingga bawah. Berantakan, satu kata yang bisa disimpulkan. Vian tidak se-rapi dulu saat bersamanya, jelas dulu sangat rapi, karena Ai benar-benar mengurusnya sepenuh hati.
"Oh iya, kamu kesini sama siapa? Kok sendirian? Suami kamu mana?"
"Sama si kembar dan Mbok, Mas. Mas Angga sedang dinas."
"Oh, mana si kembar? Lama juga tak berjumpa, bagaimana mereka sekarang? Apa sudah menikah?" Aina menggeleng lalu tersenyum.
~
"Ai kemana, sih? Kebiasaan banget kalau belanja pasti aja menghilang!" sungut Mimi.
"Mungkin lagi cari cemilan atau buah, Kak."
"Ya kemana? Ini kita dari tadi sudah muter, tapi belum ketemu juga."
"Sabar, ayo cari lagi."
"Eh, Kak, tadi aku lihat Vian."
"Hah? Apa? Dimana? Kapan?"
"Disini, tadi pas baru masuk tuh."
"Apa Ai melihatnya juga?"
"Kayaknya gak deh, Kak."
"Kok, aku jadi khawatir Ai bertemu dengan Vian ya? Ayo deh, Ama, cepat!" ajak Mimi menuju salah satu rak makanan ringan yang paling depan.
"Mampus! Sama siapa itu, Ai?"
"Vian, Kak!"
"Kamu yakin?"
"Iya! Aku ingat kok pakaiannya!"
"Ayo, cepat!"
Begitu khawatirnya si kembar mengetahui Ai bertemu dengan Vian. Iya, memang mereka sangat khawatir karena paham betul bagaimana usaha Ai bangkit dari sebuah keterpurukan. Walaupun, mereka tahu saat ini Ai sudah berdamai dengan masa lalu tapi tetap saja rasa khawatir menyeruak hingga relung hati yang paling dalam.
"Ai!" panggil Mimi dan Ama.
"Tuh, yang diomonginnya datang. Panjang umur sekali," ucap Ai terkekeh.
Mimi dan Ama heran melihat Ai terkekeh, mereka mempercepat langkahnya.
"Ah iya, mereka akan selalu ada dimana pun kamu berada. Dimana ada kamu, pasti ada mereka," jawab Vian yang menatap lekat Ai.
Ini adalah pemandangan yang sangat langka, setelah beberapa tahun akhirnya ia bisa kembali melihat wajah ayu, senyum indah dan tawa renyah Ai lagi. Ada rasa rindu yang menyelinap masuk ke hatinya, membuat degup jantungnya semakin berdegup kencang.
Rasa rindu benar-benar menari-nari di hatinya. Menyampaikan hingga kalbu, rasa rindu itu sampai hingga sorot matanya dan mata itu benar-benar memancarkan sebuah kerinduan yang terdalam. Untuk sesaat, Vian menikmati keindahan istri orang lain di hadapannya itu.
"Vian?" panggil Mimi dan Ama.
Panggilan dari si kembar membuat semua lamunannya sirna. Tak melepaskan senyum bahagianya, mereka menatap si kembar dan tersenyum manis lalu mengangguk.
"Hai, apa kabar?"
"Baik," jawab mereka serempak.
"Ai, dicari kemana-mana gak ada! Eh malah beli cemilan disini! Kamu jangan kebanyakan makan seperti ini deh! Gak baik untuk kandungan kamu!" tukas Ama.
"Iya heran! Kita beli buah, makanan sehat eh dia malah beli makanan beginian!"
"Ai sedang hamil?" tanya Vian dengan suara tertahan. Ia menatap perut Ai.
"Iya, Mas. Doakan ya selalu sehat dan lancar hingga persalinan."
"Aamiin. Semoga anakmu lahir dengan selamat dan sehat."
"Aamiin."
"Tidak seperti kedua kakaknya yang sebelumnya," ucapnya lirih. Sangat lirih sekali hingga hanya Ai yang mendengar karena berada tepat di sampingnya. Sesaat, Ai menegang namun ia berusaha untuk tetap tenang agar tidak merusak suasana.
"Ah iya, Mbok mana? Katanya sama Mbok juga?" tanya Vian mengalihkan pembicaraan.
"Biasa, sama saja kayak Ai, suka menghilang!" seloroh Ama.
"Kita cari ayo, boleh 'kan aku bertemu Mbok? Sudah lama juga gak ketemu."
Ketiga wanita itu saling menatap satu sama lainnya lalu mengangguk dan berjalan mencari Mbok.
~
Mbok yang sedang memilih beberapa bahan dapur menatap heran pada seseorang. Ia seperti melihat majikan lelakinya sedang bersama seorang wanita.
"Tuan Angga? Loh? Sama siapa itu? Bukannya Tuan katanya lembur?"
"Tapi, benar Tuan Angga bukan ya? Ah, Mbok deketin saja deh."
Mbok berjalan ke depan ingin menghampiri seseorang itu namun dari arah samping ada yang berteriak memanggilnya.
"Mbok!" teriak Vian. Mbok menoleh, terkejut melihat siapa yang sudah berteriak memanggilnya itu.
"Tuan Vian," gumamnya.
Ia menoleh lagi ke arah dimana tadi melihat sosok majikan bersama wanita lain. Namun ternyata sudah menghilang.
Apakah tadi benar-benar, Tuan Angga? Kenapa terlihat sangat mesra sekali dengan wanita itu? Apa Tuan Angga selingkuh? Ya Allah … jangan berikan lagi ujian yang menyakitkan hati Nyonya Ai, ucapnya dalam hati.
Vian, Ai dan si kembar mendekati Mbok yang masih terbengong dan sibuk dengan pikiran sendiri.
"Mbok!" sentak Vian.
"Tuan Vian, apa kabar?" tanya Mbok saat tersadar dari lamunannya.
"Baik. Mbok sendiri gimana kabar? Kok tadi dipanggil ngelamun saja, sih? Hehe. Kaget ya ketemu aku disini?" seloroh Vian.
"Hehe, iya maaf, Tuan. Mbok tadi pikir siapa, soalnya Tuan berubah banget."
"Mbok, jangan panggil Tuan, panggil Mas saja. Sekarang, aku bukan majikan Mbok lagi."
"Ah iya, baik, Tuan. Eh, Mas Vian hehe."
"Mas Vian, kok berubah drastis seperti ini? Mbok sampai tidak bisa mengenalinya tadi, bahkan sempat berpikir siapa panggil-panggil Mbok tapi kok rasanya suaranya kenal," lanjutnya.
"Berubah jadi jelek ya, Mbok?"
"Ah gak, masih tampan hanya hm … sedikit berantakan, hehe," ucap Mbok meneliti dari atas hingga bawah.
"Capek, nih. Lapar juga, cari resto kuy," ajak Ai.
"Ya sudah ayo."
"Mas Vian, mau ikut gak?"
"Memangnya boleh, Ai?"
"Boleh dong! Memangnya siapa yang melarang? Sudah gak pa-pa, gabung saja," ucapnya semangat.
Tapi, Vian justru melirik ke arah si kembar dan Mbok.
"Apa lirik-lirik? Hah?" ucap Mimi ketus.
"Kak, gak boleh kasar-kasar, ah," tutur Ama mengingatkan.
"Gak pa-pa gabung saja, Vian. Kalau Ai memperbolehkan, gak masalah kok," lanjut Ama menatap Vian.
"Makasih ya."