Sepintar-pintarnya menutupi bangkai, suatu saat pasti akan terbongkar juga. Angga sudah mulai mengibarkan bendera perang sekaligus bermain api yang panas. Itu artinya, ia sudah siap untuk terbakar di dalamnya. Tak terpikir olehnya, bahwa apa yang dilakukan olehnya itu dapat membuat rumah tangganya berantakan.
Angga menarik wanita yang bersamanya, sebab ia sempat mendengar teriakan yang memanggil nama Mbok dan benar saja saat ia menoleh ternyata ada Mbok Darmi di sekitar mereka. Ia langsung mengajak Sabrina untuk bersembunyi karena khawatir ketahuan. Mereka bersembunyi dibalik rak sabun-sabun.
"Ada apa sih?"
"Ada Ai dan yang lainnya."
"Hah? Serius? Dimana?"
"Tuh disana, sudah ayo pergi! Nanti kita ketahuan!" ajak Angga menarik lengan Sabrina dan mereka bergegas pergi dari sana setelah membayar.
Di dalam mobil Angga menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan, ia merasa lega karena tak ketahuan tapi ada sedikit rasa khawatir di hatinya. Ia takut salah satu dari mereka melihatnya bersama Sabrina, tapi ia berusaha menyakinkan diri bahwa mereka tak melihat.
"Kamu kenapa sih, Ngga? Kok takut banget sama Ai?"
"Bukan takut, aku hanya tak ingin menyakiti hatinya saja."
"Loh? Bukankah dengan kita jalan berdua sembunyi-sembunyi seperti ini juga sudah menyakitinya?"
"Ya bagaimana lagi? Kan kamu juga yang ngajak berbelanja disini! Padahal aku sudah bilang dari awal untuk cari tempat lain!"
"Kok, kamu jadi menyalahkan aku, sih?" ucap Sabrina merajuk.
"Duh, bukan maksud menyalahkan tapi 'kan memang kenyataannya tadi seperti itu."
"Ah, sudahlah! Terserah kamu saja, Angga!!"
"Hm … jangan ngambek dong, Sayang. Nanti cantiknya hilang," goda Angga.
"Ya abis, kamu menyebalkan!"
"Iya, maaf. Tadi aku kalut banget pas lihat Mbok Darmi."
"Ya sudah! Tidak usah bahas istri kamu yang kampungan itu! Bikin malas!"
"Iya, gak usah bahas lagi! Aku juga muak kalau terus-menerus bahas dia! Lebih baik membahas kita berdua saja, gimana?"
"Bahas apa dong kalau tentang kita?"
"Apa kamu masih sayang aku?"
"Selalu, Angga! Dari dulu hingga sekarang, rasa sayang ini akan selalu melekat di hati dan hanya untukmu seorang saja!" ucap Sabrina dengan sorot mata berbinar.
"Uhuk, aku tersanjung sekali."
"Angga," panggilnya saat mobil keluar dari pelataran supermarket.
"Apakah kamu tak berniat untuk punya istri dua?"
"Hah? Mana bisa, Sab! Aku tak akan pernah berniat mempunyai istri lagi. Selama hidup, aku hanya ingin punya istri satu dan tidak punya niat mempunyai istri dua."
"Kenapa?"
"Karena aku tahu perjuangan Ai seperti apa dan bagaimana!"
"Tapi, aku juga sudah memperjuangkan kamu, Angga!"
"Perjuanganmu tak ada apa-apanya, Sabrina!"
"Dari awal sudah aku tegaskan, bukan? Kita tak masalah bermain seperti ini, tapi aku tak pernah punya niat untuk menikah denganmu! Istriku satu dan ibu dari anak-anakku hanya, Ai. Kamu juga sudah setuju dengan perjanjian kita di awal bukan?"
"Ya, memang betul. Tapi, perasaan tak bisa dicegah, bukan? Semakin kesini aku semakin menyayangi dan mencintaimu, Angga! Aku … aku juga tak tahu mengapa perasaan ini semakin dalam saja."
"Angga, sungguh aku tak ingin merasakan lebih tapi hati ini tak bisa berbohong."
"Jangan terlalu banyak bermimpi, Sabrina! Ayo bangun! Atau kita sudahi permainan gila ini! Aku tak suka jika kau terus memaksa untuk dinikahi apalagi minta jadi istri kedua! Tak akan pernah!" ucap Angga tegas.
"Kenapa kamu bicara seperti itu? Ucapanmu itu seakan-akan menunjukkan bahwa kamu jijik padaku!" sergah Sabrina.
"Bukan! Bukan itu sebabnya! Pokoknya aku tak akan mungkin bisa menikah denganmu apalagi menjadikanmu itu istri kedua aku."
"Sudahlah, Sabrina! Kamu itu semakin kesini semakin banyak menuntut! Bisa gak kalau tidak terlalu banyak menuntut? Atau mungkin kau ingin menyudahi semua ini? Aku tak masalah jika memang mau kamu seperti itu!"
"Tidak! Aku tak ingin berpisah denganmu lagi, Angga! Dulu, berpisah denganmu sangat membuatku tersiksa!"
"Ya sudah, kalau begitu lebih baik kamu, diam! Tidak usah terlalu banyak bicara! Tidak usah terlalu banyak menuntut! Sebab, aku tak suka dengan wanita yang terlalu banyak bicara dan menuntut! Kamu paham akan hal itu, bukan? Seharusnya kamu paham, karena lebih dulu mengenal karakter dan sikapku!"
Hening. Tak ada lagi obrolan yang keluar dari mulut mereka berdua. Sabrina membuang muka ke samping menatap luar jendela sambil mulutnya mengucapkan mantra dan menoleh kembali pada Angga.
"Angga," panggilnya. Angga masih tetap fokus nyetir dan tak menoleh ke arahnya.
Sial! Angga sama sekali tak mau menoleh, aku tak boleh kehilangan akal! Bahaya kalau sampai Angga marah besar, semua yang sudah kulakukan sia-sia nantinya, umpat Sabrina dalam hati.
"Angga, maaf," lirihnya. Lelaki itu mau tidak mau menatap ke Sabrina.
Wanita itu langsung meniup wajah Angga dan tak lupa senyum manis ia tunjukkan.
"Maaf, Sayang," ucapnya lagi membelai dan bermain di tangan Angga.
"Maaf untuk apa?"
"Untuk kata-kata aku yang mungkin sudah menyinggung perasaanmu."
"Tak apa. Kita lupakan saja semuanya ya, aku akan tetap menjadi milikmu dan selalu menjadi milikmu," ucap Angga mendadak lembut.
Berhasil! Kau memang sudah seharusnya masuk ke dalam genggaman tanganku, Sayang! Aku akan mengambil kamu kembali! Ini adalah janji dari Sabrina, ucapnya dalam hati penuh keyakinan.
Ia bergelayut manja di tangan Angga sambil menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Angga terbuai dengan bujuk rayu Sabrina, ternyata wanita itu berhasil dengan mudah membuat Angga kembali menjadi lembut. Angga mengantarkan Sabrina ke apartemennya, dan wanita itu memaksa Angga untuk ikut.
Merasa tak enak dan waktu bertemu dengan wanita itu kurang, akhirnya Angga mengalah dan ikut masuk ke dalam. Sesampainya di dalam apartemen, Sabrina langsung menutup pintu perlahan dan menguncinya. Ia menyergap Angga dengan agresif, mencumbu dan melumat liar bibir mungil lelaki itu.
Dasar lelaki buaya, ia begitu terlena dengan permainan Sabrina sampai tak ingin melepasnya. Angga justru menikmati bahkan semakin menikmati lumatan demi lumatan yang diciptakan oleh Sabrina. Ia terbuai hingga menembus kalbu bahkan membalas kecupan itu lebih liar.
Sabrina tersenyum puas karena berhasil membawa Angga masuk ke dalam permainannya. Saat Angga sudah berada di atas awan dan menginginkan lebih, wanita itu justru melepaskannya. Ia melepaskan diri dari dekapan erat Angga dan membawanya menuju sofa lalu mendudukkannya.
"Aku haus, kita minum dulu ya."
"Tapi, aku gak minum alkohol, Sab."
"Aku tahu, Sayang. Kita minum jus instan saja ya," tawarnya.
"Makasih."
Sabrina berjalan menuju dapur tak lupa ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Berjalan santai, menuangkan jus pada dua buah gelas dan dalam salah satu gelasnya ia memasukkan sebuah obat tidur sekaligus ramuan khusus dari orang kepercayaannya. Menurut orang kepercayaannya itu, dengan ramuan tersebut akan membuat Angga terbang melayang hingga langit ke tujuh.
Dan sengaja dicampurkan dengan obat tidur, agar di dalam mimpinya lelaki itu bermimpi sedang b******u dengan Sabrina. Ia tak sabar menunggu efek dari ramuan tersebut, dan ia akan memulai permainan baru.
Sabrina meletakkan kedua buah gelas tersebut, ia sungguh pintar karena sudah memberi tanda mana yang harus di minum oleh Angga. Wanita itu mengajak Angga untuk bersulang, dengan senang hati pria itu menyambutnya hangat. Mereka bersulang dan lelaki itu mulai minum jus khususnya secara perlahan.
Mata Sabrina tetap fokus pada isi gelas tersebut, berharap Angga langsung menghabiskannya dan harapannya terkabul. Sepertinya, keadaan saat ini sedang berpihak padanya, sebab Angga langsung minum jus khusus itu hingga tandas. Senyum manis semakin terukir indah di bibir Sabrina.
Lima menit berlalu, Angga terus saja menguap, sepertinya rasa kantuk mulai menyergap matanya. Ia beberapa kali memejamkan mata saat terlibat obrolan dengan Sabrina. Wanita itu tersenyum bahagia saat tak mendengar lagi suara Angga dan yang terdengar hanya suara dengkuran halus saja.
Sabrina menyeret tubuh Angga masuk ke dalam kamar dan susah payah menggendongnya hingga naik di atas ranjang. Ia melucuti satu persatu kancing kemeja lelaki itu, lalu mencium setiap inci tubuhnya. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh yang selama ini menjadi candu dalam hidupnya.
Kali ini, ia seakan tak ingin melepaskan momen luar biasa tersebut. Sabrina memuaskan diri dengan aksinya mencium, melumat dan lainnya pada lelaki itu. Dalam keadaan tak sadarkan diri, Angga seakan merasakan apa yang dilakukan oleh Sabrina di dalam mimpinya. Ia merasa bahwa tubuhnya terasa sangat hangat bercampur dingin karena merasa ada air liur yang membasahi seluruh tubuhnya.
Dalam tidurnya, Angga melihat tubuh Sabrina yang terbalut indah dalam sebuah piyama tidur yang sangat tipis sehingga membuat kegagahannya tak sanggup lagi menahan diri untuk tidak mencicipi hidangan yang sudah terhidang itu. Angga menarik tubuh Sabrina hingga jatuh ke dalam pelukannya, kedua insan itu di dalam mimpi Angga saling melilit satu sama lainnya sehingga tak meninggalkan sedikitpun celah untuk menghindar.
Angga semakin berani untuk berbuat jauh, dalam hati dan benaknya hanya ada Sabrina. Ia seakan melupakan Ai walaupun hanya dalam mimpi, ia tak ingin melewatkan hidangan saat ini. Sabrina sudah menjadi miliknya dan Angga menuntut lebih. Ia juga melucuti pakaian Sabrina dan saat ini mereka sudah sama-sama tak memakai satu benang pun yang melekat di tubuhnya.
Tanpa persiapan lebih, Angga langsung naik menduduki Sabrina dan mengarahkan kegagahannya pada inti tubuh surga dunia wanita itu. Ritme yang dimainkan tak bisa pelan, sebab Sabrina terus saja menggoda dengan caranya sendiri. Angga seakan tak sanggup lagi menahan gejolak di dalam dadanya, ia ingin menuntaskan gejolak cinta yang sedari tadi berusaha ia tahan namun sepertinya akan bobol juga.
Angga semakin mempercepat gerakannya menuju sebuah telaga biru yang terasa sangat hangat dan mendamaikan. Ia benar-benar melayang hingga langit ketujuh, berpegangan tangan bersama Sabrina untuk menuntaskan dahaganya. Semakin lama atmosfer di dalam ruangan semakin terasa panas, membuat gejolak cinta keduanya tak sanggup lagi tertahan.
Akhirnya, setelah perjalanan panjang menuju langit melayang-layang hingga sampai di langit ketujuh, keduanya bersama-sama meneguk dahaga hingga tandas dan merasakan hangatnya sebuah cinta yang tercurahkan dari masing-masing tubuh intinya. Keduanya merasakan lelah yang sangat luar biasa dan memilih untuk beristirahat sambil berpelukan.
Itu adalah gambaran yang terjadi di dalam mimpi Angga, tapi dalam kenyataannya Sabrina tak berani menyentuhnya lebih. Ia hanya berani sebatas mencumbu bagi-bagian lain saja dan menghirup aroma tubuh yang selalu membuatnya rindu. Setelah itu ia juga melepaskan pakaian atasnya dan hanya menutupi dengan selimut lalu mengambil beberapa foto kebersamaannya dengan Angga.
***
Ai, Vian, Mbok dan Si kembar saat ini sedang berada di salah satu resto untuk makan yang sudah kesorean. Mereka memilih tempat yang pojok agar lebih nyaman untuk ngobrol. Masing-masing langsung memesan makanan dan sambil menunggu makanan terhidang mereka terlibat obrolan.
"Oh ya, kamu masih kerja di tempat lama, Vian?" tanya Mimi.
"Gak, Mi. Sekarang aku punya usaha sendiri. Capek kerja sama orang lain, dituntut harus sempurna terus, gak bisa santai."
"Nah, betul itu! Kenapa gak dari dulu saja?" tanya Ama.
"Hehe, iya nih sayang banget akunya baru sadar sekarang. Tapi gak pa-pa, daripada gak sama sekali, 'kan? Hehe."
"Mas Vian sekarang tinggal dimana?" tanya Mbok mulai kepo.
"Bolak-balik Jakarta-Bandung saja, Mbok. Sekarang Ayah dan Ibu tinggal di Jakarta tapi aku usaha di Bandung."
"Wah keren ya," puji Mbok.
Ketika mereka sedang asik berbincang, Ai hanya diam saja. Raganya memang berada bersama mereka namun hatinya terasa sangat gelisah. Entah apa sebabnya yang membuat hati ibu hamil itu merasa sangat amat gelisah. Dadanya terasa sangat sesak dan degup jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.
Matanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu yang mungkin saja dapat membuat hatinya tenang. Tiba-tiba pikirannya terlintas tentang suaminya itu, saat mengingat Angga, hatinya semakin sesak.
"Ai, kamu kenapa?" tanya Ama yang sejak tadi memperhatikan tingkah aneh adiknya itu.
"Ah gak pa-pa, Kak."
"Yakin? Apa kamu gak enak badan? Kita pulang saja?" tawar Mimi.
"Jangan, Kak. Aku lapar. Mungkin karena lapar jadi aku tak tenang rasanya."
"Kamu selalu seperti itu sejak dulu," kekeh Vian.
"Mungkin adik bayi lapar, Ai," seloroh Ama.
"Mungkin, Kak."
"Permisi."
Pranggg.