Tidak akan Bisa Kabur Dariku!

946 Kata
Michael, yang tampaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh kemarahan Vania, hanya menatapnya dengan sinis. "No problem," desisnya, "Benci aku dan esok kita bukan siapa-siapa. Kau hanya wanita yang melayani banyak laki-laki, jadi jangan jual mahal di hadapanku!" Dengan tatapan menantang dan nada yang merendahkan, Michael mengabaikan segala bentuk kemarahan dan kesedihan Vania. Dalam kegelapan malam yang memenjarakan Vania dalam ketidakberdayaan, suasana kamar hotel semakin menegangkan. Michael Alexsio, dengan tubuhnya yang terhuyung-huyung akibat mabuk, terus meracau dengan kemarahan dan kepahitan yang menumpuk. Suaranya yang penuh makian menghantui setiap sudut kamar, menambah berat beban yang sudah dirasakan Vania. Beberapa menit setelah Michael marah-marah dan memaksa mencium bibir Vania, ia akhirnya jatuh di atasnya, seolah semua kemarahannya tersalurkan dalam tindakan kasar itu. Vania memekik, tubuhnya terasa kaku di bawah beban tubuh Michael yang berat. "Kau tahu, wanita," Michael merungut dengan nada penuh kebencian, "Malam ini aku sangat muak dengan semua orang. Esok pagi, aku akan bertunangan dengan wanita yang tidak aku sukai. Sialan dengan perjodohan ini!" umpatnya, menyembunyikan wajahnya yang penuh emosi pada caruk leher Vania. Jantung Vania berdetak cepat, rasa takut dan marah bercampur aduk dalam dirinya. "Ka ... kau akan lebih menyesal esok pagi, Michael. Aku pastikan kau dihukum untuk semua kesalahanmu!" serunya dengan semangat marah, meskipun suaranya bergetar menahan sakit. Michael mengangkat kepalanya, menatap wajah Vania dengan mata yang sedikit sayu. "Anak buahku tidak salah memilihkan wanita untukku, kau sangat cantik dan menggemaskan. Kau akan mendapatkan lebih malam ini dariku," bisiknya dengan nada yang meremehkan, sebelum kepalanya kembali tertunduk di samping Vania. Vania merasakan tubuhnya yang kecil benar-benar tidak sebanding dengan kekuatan lelaki itu. Ketidakberdayaannya terasa lebih dalam saat tangan Michael bergerak mengusap pucuk kepalanya dengan penuh nada menggoda. "Apa kau tidak pernah melayani laki-laki? Apa ini baru pertama untukmu? Aku merasakan detak jantungmu ... tidak baik-baik saja," bisik Michael dengan nada yang menyentuh batas keterlaluan. Kedua mata Vania menatap Michael dengan ketidakpercayaan dan ketakutan yang mendalam. Setiap kata yang keluar dari mulut Michael seperti belati yang menusuk lebih dalam ke dalam jiwanya. Vania merasa sakit yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, menyadari bahwa ia berada di bawah kendali seorang pria yang sama sekali tidak peduli dengan perasaannya. "Ya, bagaimana bisa, aku baik-baik saja. Kau salah orang! Ini salah dan—" Vania mencoba untuk berbicara, namun kata-katanya terhenti ketika Michael semakin mendekat, mengabaikan segala bentuk penolakan. Vania menjerit tertahan, nyawanya seperti melompat dari tubuhnya saat Michael terus memaksakan kehendaknya. Bibirnya yang tertutup oleh tangan Michael seolah menjadi penutup dari semua harapan dan kebahagiaannya. Sakit itu terasa tajam, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa begitu hancur dan tidak berdaya. "Kau! Kau jahat! Kurang ajar!" pekik Vania, marah besar di sela tangisnya yang tak tertahan. Michael, dengan mata tertutup, perlahan membuka matanya dan menatap gadis cantik yang kini menangis histeris di bawahnya. "Ka ... kau masih perawan?" tanya Michael dengan suara dalam, seolah pertanyaan itu adalah suatu penegasan yang harus ia ketahui. "Tidak lagi setelah kau mengambilnya," jawab Vania lirih, penuh isakan dan kesedihan. Suaranya hampir tidak terdengar, tertelan oleh rasa sakit yang menguasai tubuhnya. Michael menyeringai dengan tatapan gelapnya, menyaksikan tangisan dan kehancuran yang ia timbulkan. "Apa pun yang sudah menjadi milikku, tidak akan bisa kabur dariku. Salah satunya kau, malam ini dan seterusnya, kau tidak akan lepas dari seorang Michael Alexsio." ** Malam itu terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir bagi Vania. Michael Alexsio, yang baru saja mengekspresikan kekejamannya, kini bangkit dengan sikap penuh ketidakpedulian, meninggalkan gadis yang terluka di sampingnya. Cahaya pagi menyelinap melalui sela-sela gorden, menciptakan bayangan samar di kamar hotel yang sepi. Michael membuka matanya dengan tatapan penuh penilaian, mengamati sosok Vania yang meringkuk di tempat tidur. Senyum sinis menghiasi sudut bibirnya, seolah kemenangan atas penderitaan orang lain adalah hal yang patut dirayakan. "Cantik, sayang sekali di usia yang masih muda, kau harus menjual dirimu. Aku akan menemukanmu lagi, gadis manis," bisiknya lembut sambil mengusap lembut pipi bulat dan putih Vania dengan ibu jarinya. Suara deringan ponselnya yang mengganggu kesunyian membuat Michael beranjak, namun raut wajahnya berubah menjadi kemarahan saat melihat siapa yang menelepon. Anak buahnya, yang seharusnya sudah tahu waktu dan tempat, telah memutuskan untuk mengganggu malamnya. "Jangan ganggu aku sekarang!" umpat Michael saat menolak panggilan itu. Ia berusaha untuk menenangkan diri dan segera melanjutkan aktivitasnya. Namun, ketika ia melihat tali dasi merah yang masih terikat di pergelangan tangan Vania, kemarahan yang baru saja mereda kembali memuncak. "Ck! Apa yang aku lakukan?" geramnya, mengeluarkan pisau kecil dari saku celananya untuk memotong tali tersebut. Michael melepaskan tali itu dengan kasar, seolah membuang semua tanggung jawab yang menyertainya. Setelah bergegas membersihkan dirinya di kamar mandi, Michael keluar dengan pakaian yang sudah rapi—kemeja putih berlengan panjang yang digulung sampai siku dan celana hitam panjang. Ia meraih cek dari saku kemejanya dan meletakkannya di atas nakas dengan sikap acuh tak acuh. Arloji miliknya yang berkilauan menjadi tanda akhir dari ritual pagi yang penuh kekacauan itu. Ketika Michael hendak melangkah pergi, wajah Vania tiba-tiba terngiang dalam pikirannya. “Gadis ini,” gumamnya dengan nada penuh keraguan. Tanpa menoleh lebih jauh, ia meninggalkan kamar dengan langkah tergesa-gesa, meninggalkan Vania yang masih terbaring di ranjang. Pintu kamar yang tertutup dengan keras menyebabkan Vania terbangun. Ia mendengar setiap kata yang Michael ucapkan, membekas dalam ingatannya. Dengan tubuh yang lemah dan hati yang hancur, Vania mengeluarkan isakan tangis yang tak tertahan. "Sht! Ya Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini?" gumamnya, meremas selimut putih yang membungkusnya. Tubuhnya terasa mati rasa, seolah tidak mampu bergerak. Ketakutan akan hari esok membayangi pikirannya, terutama saat menyadari kenyataan pahit bahwa Michael, calon suami kakaknya, telah merampas segalanya darinya. "Tuhan, kenapa kau kejam sekali padaku? Dia ... dia calon suami kakakku, apa yang harus aku lakukan?" tangisnya, bingung dan putus asa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN